Minimarket

Minimarket
Arkan Tanriwa
TL;DR
Di sebuah kota pasca-perang, Arkan Tanriwa melakukan perjalanan ke minimarket untuk membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari. Di sana, dia menemukan kembali minuman kopi favoritnya dari masa lalu

“Ke Amerika?” tanya petugas pos itu, air mukanya bosan.
“Betul, Pak.” jawabku.
“Alamatnya?”
Aku segera mengeluarkan secarik kertas yang sudah kusiapkan dari rumah. Di atasnya tertulis sebuah nama berhuruf kecil semua dan alamat domain yang dipisahkan dengan tanda @. Nama adikku. Si petugas pos bosan menerima alamat itu, mengetik ke dalam terminal komputernya, lalu menagihku.
“Lima rupiah,” katanya.
Sigap, selembaran lima rupiah pun kuserahkan kepadanya. Ia menerima lembaran oranye itu, memasukkannya ke dalam register, memencet Enter dua kali di dua komputer yang berbeda, lalu memberikanku secarik kertas cetakan yang menandai aku sudah membayar diikuti dengan status surelku. Lengkap dengan nama penuh dan alamat IP penerimanya.
“Surel Ibu sudah dikirim,” kata si petugas pos. “Menurut informasi routing, seharusnya sudah tiba di tujuan sekarang. Jika Ibu mendapat balasan, petugas kami akan memberitahu ke rumah Ibu.”
“Terima kasih,” kataku. Aku melengos keluar ruangan adem ber-AC yang berjuang mendinginkan sekitaran dua puluh orang itu — tidak semuanya mengirim surel — menuju panas ribut yang mencengkram leher di pinggir jalan. Proses ini dulu begitu mudah. Aku masih ingat iPhone, bahkan masih punya di salah satu laci lemari gudang. Aku masih ingat internet terbuka, sebelum infrastruktur kabel bawah samudra rusak akibat kesulitan listrik murah, dan berbagai perusahaan raksasa yang berulang kali mencoba, namun gagal, menyambungkannya kembali. Aku juga masih ingat komputer kuantum pertama, di Taiwan nun jauh, yang berhasil menjebloskan teknologi enkripsi ke abad pertengahan, membuat hidup sulit karena harga enkripsi paten menyebabkan transaksi finansial sehari-hari tidak segampang dulu buat wajib pajak non-pengusaha.
***
Terik hari ini begitu mencekik. Jaket UV-ku hanya bisa memotong radiasinya, bukan suhunya. Di seberang kantor pos ada minimarket, yang memang sudah aku rencanakan untuk datang, belanja minggu ini. Aku membuka payung, menyeberang jalan yang sepi, menutupi wajah dari debu tipis bau bangkai burung yang membikin batuk teruk, dan bergegas ke sana. Hujan gerimis mulai turun saat aku masuk.
“Bosan” belum jadi ekspresi yang tepat untuk menggambarkan muka Hasan, petugas minimarket yang berjaga di balik kasir, namanya terbordir di seragamnya. Aku menebak: meskipun kerjanya ber-AC, hari ini Hasan tampaknya tidak banyak pelanggan, seperti juga kemarin dan esok. Sudah lama tetanggaku tidak ada yang mampu membeli di tempat mewah ini. Aku hanyalah salah satu yang beruntung karena warisan kami mencukupi, setidaknya hingga nanti adikku meninggal. Juga karena ayah berhasil imigrasi ke Amerika, pas sebelum perbatasan ditutup total dan aku ketinggal. Plus karena ibu menang Nobel pertama Indonesia.
Apakah aku menyesal jadi orang yang ketinggal? Tidak juga. Dari surel-surel, adik bilang kondisi di Amerika tidak jauh lebih baik. Pemerintah sudah lama kelupaan rakyat, sama seperti di bagian dunia mana pun, para pejabat itu juga kepanasan. Mereka lebih sibuk dengan bunker hibahan para billionaire ex-industri teknologi. Bisa jadi di sini sedikit lebih mending. Kabar adikku setelah pindah ke Portland, Oregon: air ada, tetapi apartemennya mahal sekali.
Aku melangkahkan kaki ke rak-rak barang dagangan. Aku baru sadar, sedikit lucu sebenarnya: bagaimana perusahaan minimarket ini masih berupaya menciptakan ilusi barang yang melimpah. Semua rak ini rendah, dan masing-masing diisi dengan sejumlah SKU, yang hampir sederetannya adalah merek yang sama. Beberapa rak tersisa kosong, dan nyatanya Hasan tidak diberi SAP untuk mengembalikannya ke gudang.
Apakah dari dulu selalu begini? Sepertinya tidak. Aku masih ingat saat kulkas-kulkas minum berisi puluhan merek dari belasan perusahaan yang berbeda-beda. Perlahan-lahan, sepanjang tahun-tahun berlalu, mereka menghilang satu per satu. Persis seperti melihat air yang dipanaskan, orang tidak sadar sampai tiba-tiba sudah mendidih. Suatu hari, Sunbucks kalengan menghilang dari kulkas. Dua minggu kemudian Kopikre tiada. Di satu titik setelah lari pagiku, aku tidak lagi bisa menemukan minuman elektrolit murah favoritku, tinggal sisa versi mahal merek Jepang, tetapi asli pabrik Sukabumi.
Setelah mengambil sampo, sabun, dan pasta gigi, aku tertegun melihat sebungkus yang teronggok di sebuah rak minuman saset yang nyaris kosong. Di desain bungkusnya aku melihat bentuk yang nostalgik: cangkir putih mengelilingi cairan hitam. Segera aku mengambil bungkusan plastik itu. Ternyata Kopikre! Less sugar! Mereka masih jualan? Kedaluwarsa kapan ini? Tiga puluh? Tanyaku dalam hati. Kalau di minimarket besar perbatasan komplek elit seperti ini saja masih sisa satu… berarti…
Aku memutar bungkusan itu, terhenyak. Kedaluwarsa besok. Berarti masih ada waktu barang dua minggu, pikirku. Aku membaca daftar bahannya:
Komposisi: Gula, Kopi bubuk (3,85%), Perisa Kopi (96,15%)
Tanpa panjang pikir, aku masukkan sebungkus kopi itu ke dalam keranjang belanja plastik merah yang tergantung di lengan. Senang sekali rasanya, menghirup kembali kopi. Sudah lama engkau tiada, temanku. Ada masanya, satu masa hidup yang lalu, aku ini memang penggemar kopi. Terutama kopi Kalosi, sebelum kebakaran hebat khatulistiwa terakhir dan pabrik kopi harus impor segalanya dari Brasil. Habis itu, baik alam dan bea cukai membuat harganya astronomis, permintaannya menjurang, dan persediaannya menipis.
Aku menuju kasir untuk membayar. Hasan menyapaku dengan “Ini saja, Bu?” yang dipersembahkan dengan totalitas semangat seekor anjing kehausan hampir mati, mengidentifikasi barang-barangku (Kopikre terakhir di rak itu milikku!) lalu mencatatnya di bukunya. Ia menghitung perlahan, dengan kalkulator solar power tombol besar kebanggaan semua minimarket di kota ini. Ia lalu menyebut totalnya: “Lima ratus dua puluh, Bu.”
Setengah senang karena total belanjaku minggu ini ternyata tidak terlalu besar, tetapi juga setengah ketar-ketir karena harus kembali ke dunia nyata yang hujan tapi gerah, aku menyerahkan sepuluh carik kertas biru dan secarik kertas hijau kepadanya. Ia baru membuka mulut hendak memberikanku ucapan terima kasih penuh bosan yang sudah diberikannya kepada ratusan orang sejak awal sejarah kariernya, ketika aku teringat sesuatu—
“Mas, ada galon?”
Untuk pertama kali sejak kami bertemu, Hasan menatap tajam ke arahku. Ia mempertimbangkan sebentar sambil agaknya sedikit tidak sadar tangannya meraba bagian dekat perutnya. Kontur berbagai kunci dan gantungannya dapat aku lihat dari balik kemejanya, tergantung dari lehernya. Ia tampak sedikit lega setelah memverifikasi keberadaan kunci itu, lalu meletakkan tangannya kembali di atas bukunya.
“Ada. Boleh lihat KTP?”
Aku menyerahkan KTP.
“Berapa harganya?”
“Dua ratus untuk 35 liter, seratus untuk 19 liter, delapan puluh untuk 8 liter. Dapat cashback lingkungan kalau galonnya dikembalikan.” ujarnya sambil mencatat nomor KTP-ku dan nama yang tertera di atasnya.
Aku menatap balik Hasan dengan tajam. Kami sama-sama bergulat dalam intensitas perjuangan akan kebutuhan dasar ini. Orang ini mungkin menghabiskan 30% gajinya untuk galon setiap bulan. Itu kalau dia lajang dan tinggal sama orang tua. Atau mungkin ia dan keluarganya mengambil air dari truk air mingguan yang lewat di komplek kontrakannya, dengan harga yang jauh lebih murah ditambah infusi protein dalam bentuk cacing. Biar begitu, aku menghela nafas sedikit — mindfulness — dan berkata sehalus dan selembut mungkin, mencoba agar nadaku tidak menembuskan statusku: “Tolong yang tiga puluh lima liter.”
Entah upayaku berhasil atau tidak. Ia melengos, lalu berjalan ke belakang, menggunakan kuncinya, dan hilang di balik pintu besi yang dentumannya berat.
Aku, yang lega karena pertarungan itu akhirnya selesai, memandangi bungkus Kopikre. Di bungkusnya, aku baru menyadari sebuah slogan: “No Coffee, No Workee!”

Sukabumi, 3 Maret 2024