Sebuah lagu dari band Satu Per Empat sukses menggegerkan dunia musik LGBT. Lagu ini tak sekadar karya seni, tetapi juga cerminan kelam nasib tragis yang dialami Mira, seorang transpuan yang dibakar hidup-hidup di Jakarta Utara.
Peristiwa tragis yang menimpa Mira menjadi refleksi keras akan diskriminasi yang terus menghantui komunitas LGBT. Dengan lirik penuh emosi dan aransemen yang menyayat hati, lagu Mira membawa pendengar dalam kisah nyata yang menggugah.
Band Satu Per Empat dikenal dengan eksplorasi musiknya yang mendalam dan sarat makna. Dalam album mereka, Semoga Beruntung Nasib Buruk, lagu Mira menjadi salah satu yang paling mencuri perhatian. Dengan pendekatan musik yang lebih lembut, lagu ini justru semakin menguatkan pesan tragis yang ingin mereka sampaikan.
Menurut vokalis Satu Per Empat, Bismo Satriaji, lagu ini bukan hanya sekadar kisah Mira, melainkan representasi lebih luas dari penderitaan komunitas LGBT.
“Gue merasa perlu menyuarakan hal ini, karena isu seperti ini jarang sekali diangkat,” ujar Bismo.
Keputusan Satu Per Empat untuk menjadikan lagu Mira sebagai lagu andalan di album mereka bukan tanpa alasan. Kisah ini menjadi pengingat bahwa diskriminasi masih nyata dan bisa menimpa siapa saja, termasuk di luar komunitas musik LGBT.
Lirik lagu Mira disusun secara kronologis, menghadirkan cerita nyata yang sulit diterima dengan akal sehat. Keputusan untuk tidak menambahkan narasi tambahan menunjukkan kehati-hatian Satu Per Empat dalam membawa pesan ini.
Bismo menyadari bahwa dirinya bukan seorang pahlawan atau aktivis, sehingga ia memilih menyampaikan kisah ini dengan cara yang paling jujur—menceritakan fakta tanpa berlebihan.
“Nyanyiin lagu Mira bikin nangis, sesek, dan pikiran jadi nggak bisa kosong.”
Tak hanya dari sisi lirik, instrumen dalam lagu ini pun dikurasi dengan sangat hati-hati. Penggunaan piano sebagai elemen utama, dibandingkan gitar yang biasanya mendominasi, menciptakan nuansa melankolis yang lebih dalam.
Sebuah fakta menarik terungkap dalam wawancara dengan Bismo. Ia mengungkapkan bahwa kisah Mira tidak hanya menyentuhnya sebagai seorang musisi, tetapi juga secara personal. Kisah ini mengingatkannya pada sang paman yang merupakan seorang queer.
Ketika pamannya akhirnya berani mengungkap identitasnya, itu menjadi momen yang sangat emosional bagi keluarga. Namun, bagi Bismo, itu adalah pengingat akan betapa sulitnya menjadi bagian dari komunitas LGBT di tengah norma yang menekan.
“Hidup di dunia dewasa yang kacau ini, kalau kehilangan empati, gue nggak tahu lagi apa maknanya.”
Kisah Mira melalui lagu Satu Per Empat bukan hanya sekadar karya seni, tetapi juga simbol perjuangan yang terus berlanjut. Mira tidak sendiri. Ia ada dalam setiap nada, dalam setiap lirik, dan dalam hati para pendengar yang peduli.
🔥 Apakah lagu Mira bisa menjadi titik balik kesadaran akan diskriminasi? Bagikan pendapatmu di kolom komentar! 🔥
Mira Jadi Pintu Masuk Memahami Satu Per Empat
Suatu sore, saya menerima pesan dari seorang teman bahwa Satu Per Empat membuat lagu transpuan bernama Mira. Malang tak dapat ditolak, Mira meninggal dunia usai dibakar hidup-hidup di Cilincing, Jakarta Utara tahun 2020 silam.
Sejenak saya menghela nafas panjang sambil membaca pesan yang muncul di layar ponsel. Meski praktik kekerasan terhadap kelompok minoritas ini bukanlah suatu hal asing di telinga, namun batin saya tetap merasa sakit, perih dan dan tak percaya mendapati kabar tersebut.
Penyangkalan menghampiri saya. Namun, kenyataan itu terlalu sulit diabaikan. Hingga pada akhirnya, saya memberanikan diri mendengarkan lagu yang diberi judul nama transpuan yang dibakar hidup-hidup.
Mira dituduh mencuri dompet dan ponsel. Mira mengelak. Tapi laki-laki yang hanya tahu cara memukul dan berlaku bengis tak menerima pengakuan Mira. Berkali-kali ia diinterogasi, dipukul, disiram bensin, dipaksa mengakui perbuatannya. Mira tetap mengelak.
Tak ada heroisme yang dilakukan Mira dan tindakannya sangat sederhana: berpegang teguh pada kebenaran bahwa ia bukanlah pencuri. Mira sempat meminta tolong kepada warga setempat. Namun, kobaran api lebih cepat menyambar, sampai pada titik menghentikan nyawa Mira. Mirisnya, dari enam pelaku penganiayaan dan pembakaran Mira, baru tiga yang tertangkap, dan tiga lainnya masih buron sampai hari ini.
“Gak habis pikir lagi, seorang transpuan, yang jelas termasuk dalam kelompok terpinggirkan dan seharusnya dilindungi, seakan dianggap layak dihabisi secara brutal,” batin saya.
Tanpa sadar, tangan saya terkesiap menyeka air mata yang sudah tak terbendung lagi menggerayangi pikiran, persis pada setiap paragraf dalam berita dan lirik lagu Mira yang dibalut musik penuh getir oleh band alternative rock Satu Per Empat. Butuh proses tersendiri meyakinkan diri, bahwa Mira nyata, dan bukanlah suatu cerita imajinasi semata.
Berangkat dari kesedihan inilah yang membikin saya akhirnya bertemu vokalis band Satu Per Empat Bismo Satriaji. Kala itu, ia bakal segera hadir di salah satu cafe daerah Fatmawati, Jakarta Selatan. Selepas hujan, Bismo yang berambut gondrong sambil menggendong tas ranselnya menghampiri saya di dalam cafe.
“Rani kan ya? Kita ngobrol di luar aja yuk kalau gak keberatan, ngerokok juga kan?,” ujar Bismo. Saya menyambut ajakan itu.
Kesan pertama bertemu Bismo ialah ia orang yang cukup tertutup. ”Saya harus bisa memantik obrolan agar dia luwes bercerita,” kata saya dalam hati. Saya melontarkan beberapa topik obrolan ringan untuk mencairkan suasana. Di luar dugaan, Bismo menyambut hangat dan mempersilahkan saya untuk menyampaikan berbagai pernyataan yang selama ini terendapkan seputar Mira.
“Kasih tahu aja ya Ran, kalau lu udah siap tanya-tanya tentang Mira,” kata Bismo.
Bismo bercerita, Mira adalah salah lagu di album kedua Satu Per Empat berjudul Semoga Beruntung Nasib Buruk yang sangat membekas di benaknya, sehingga tanpa berpikir panjang dimasukan dalam track kedua (B-side) dan dijadikan lagu andalan diantara 9 lagu lainnya di dalam album ini. Saking istimewanya, proses perilisan lagu Mira dilakukan bersamaan dengan launching album keseluruhan pada 29 November 2024.
“Gue merasa perlu menyuarakan hal ini di lagu-lagu Satu Per Empat, karena menurut gue isu seperti ini jarang sekali diangkat,” ungkap Bismo.
Bismo mengungkapkan bahwa album ini sengaja dibuat tidak hanya untuk mewakili kisah pribadi mereka, tetapi juga untuk menyuarakan cerita seperti Mira, yang harus menghadapi represi dan diskriminasi. Ia menekankan bahwa jika tidak dihentikan, kondisi semacam ini bisa saja menimpa siapapun, bahkan di luar komunitas ragam gender LGBTQ di masa mendatang.
"Kami sudah cukup satu kepala untuk di band, kami juga nggak bilang kami ingin mewakili siapa pun, ini lebih ke bentuk kepedulian sesama manusia saja," ujar Bismo.
Kemudian, saya menyampaikan rasa penasaran terkait lirik lagu Mira yang begitu kronologis kepada Bismo. Saya menyangka kesan lagu ini sengaja dibikin lirik lagu kronologi dan cukup triggering (berisiko) pas mendengarkan. Tanpa pikir panjang, Bismo langsung mengamini asumsi saya. Sebagai penulis lirik, sejak awal ia sudah mendesain lirik Mira sengaja dibikin kronologis.
"Iya, gue memang kayak lagi bacain berita aja. Kenapa? Ya gue merasa bukan kapasitas gue untuk memasukkan pemikiran sendiri ke dalamnya,” ujar Bismo.
Dari jawaban Bismo, kita tahu ia sangat hati-hati dalam menyanyikan lagu ini. Ia sadar ia bukan mesiah atau ustad yang sekonyong-konyong datang sebagai pahlawan. Ia tak patut berteriak. Pendekatan yang dila pilih ialah bernyanyi dengan vokal yang lembut, seolah berbisik. Dengan segala ikthiar, ia mencoba mengungkapkan perasaan perempuan dalam tubuh laki-laki.
"Nyanyiin lagu Mira bikin nangis, sesek, dan pikiran jadi nggak bisa kosong," katanya.
Mira Ternyata Tak Sendiri
Di luar jalanan semakin malam. Obrolan dengan Bismo makin dalam. Bismo hanyut bercerita soal bagaiamana lewat Mira, ia dan kawan-kawan mengeksplorasi berbagai elemen musik dengan lebih mendalam. Tak hanya hanya dari sisi vokal, tetapi juga dari instrumen. Di lagu ini, untuk pertama kalinya gitar dimainkan lebih sedikit, dan piano menjadi instrumen utama yang menambah keindahan tersendiri.
Menurut Bismo, tak sedikit pendengar, baik yang lama maupun yang baru, menginginkan lagu Mira dibawakan secara langsung. Namun, suasana suram yang tercipta dalam rekaman menjadi tantangan tersendiri untuk mereplikasi perasaan tersebut dalam versi live.
Tanpa diduga, Bismo mengungkap alasan lain di balik pikirannya yang selalu penuh saat melantunkan lagu Mira. Sambil menghela napas dan memandang jauh ke jalanan, ia menjelaskan bahwa selain membayangkan kisah transpuan Mira yang begitu menyentuh dan mengambil alih kendali emosinya, ingatannya akan cerita pelik pamannya, yang merupakan seorang queer, juga turut berdampak.
Jadi pada suatu waktu, pamannya secara terang-terangan berani mengungkapkan identitas gendernya sebagai queer di hadapan keluarga besar. Kabar ini menjadi sangat mengejutkan bagi keluarganya. “Di titik itu, gue kayak, gila, seberapa lama dia nahannya?” tanya Bismo.
Selama ini, pamannya yang berprofesi sebagai dosen menjalani hidup sebagai seorang queer secara diam-diam. Bismo sadar, tak pernah ada waktu yang benar-benar tepat untuk membuka hal-hal seperti ini. Apalagi buat bangsa seperti yang kita yang diselimuti nilai-nilai ketimuran itu. Intinya, ia bersepakat dengan keputusan pamannya. Ketika ia mendengarkan lagu Mira, ia melihat kebahagiaan di wajah pamannya,
“Pas gue memberikan lagu ini, dia seneng dengerin lagunya.”
Bismo juga menyampaikan rasa terima kasih kepada pamannya dan teman-teman transgender yang telah membantu membuka sisi empati dalam dirinya. Ia menyadari bahwa dengan membuka diri dan berdialog dengan orang-orang yang memiliki perspektif baru, lambat laun berbagai stigma terhadap transgender dapat terkikis. Hal ini juga menumbuhkan empati yang lebih mendalam terhadap perjuangan mereka.
“Bagi gue, hidup di dunia dewasa yang kacau ini, kalau kehilangan empati, kayaknya gue nggak tahu lagi apa maknanya,” tutup Bismo dengan penuh keyakinan.
Dan di luar, jalanan semakin malam. Kita akhirnya tahu bahwa Mira tak sendiri. Ia bersama Satu Per Empat dan pendengarnya yang mungkin akan terus meluas. Obrolan Mira membawaku di titik bagaimana band ini serius memperlakukan karyanya. Mira membuatku ingin mengenal Satu Per Empat lebih dalam.