Istri saya pecinta teh boba dan hampir setiap hari membelinya. Saya khawatir kebiasaan ini akan membuatnya terkena diabetes. Namun, ia pintar berkelit, “Kan aku pesan yang less sugar.” Apa boleh buat, saya hanya bisa menjawab, “Yang penting kamu senang.”
Dari sekian banyak jenama teh boba yang beredar di pasaran, dulu istri saya paling sering membeli Chatime. Menu favoritnya hazelnut chocolate milk tea dan brown sugar milk tea dengan tambahan pearl. Kedua menu itu, katanya, punya perpaduan rasa susu, teh, gula, coklat, dan tekstur boba paling pas dibanding varian lain di Chatime. Begitu juga dibandingkan menu jenama lain, dan “harganya terjangkau.”
Sekitar enam bulan lalu, sebuah gerai Mixue buka di dekat rumah kami. Karena setiap kami lewat kami melihat badut berbusana manusia salju joget-joget, dan didorong rasa penasaran, istri saya mengajak mampir. Ia membeli smoothies dan teh boba. Setelah mencicipi keduanya, sambil membelalakkan mata seperti bocah yang terkesan dengan mainan baru, ia bilang “Nggak nyangka banget ini enak, lebih murah lagi dari Chatime.”
Hari-hari berikutnya, istri saya semakin sering membeli Mixue. Kadang beli es krim, teh boba, dan paling sering smoothies stroberi. Dalam dua bulan, ia telah sepenuhnya merdeka dari Chatime dan mulai kecanduan Mixue. Istri saya tentu saja tidak sendirian. Sebagai suami yang baik dan bertanggung jawab, saya juga turut serta kecanduan Mixue. Harus saya akui, dengan harga di bawah Rp20.000, es krim dan smoothies-nya cukup enak, sementara rasa teh bobanya masih sebelas dua belas dengan Chatime.
Belakangan, muncul istilah “dijajah Mixue” dan menjadi trending topic di Twitter. Gerai Mixue di Indonesia pun kian berjamur.
[embed twit ini https://twitter.com/risolmayonnaise/status/1606936394068529154]
Ekspansi Cepat Mixue
Mixue bisa dikatakan jenama teh boba global yang paling akhir masuk pasar Indonesia. Di bawah PT Zisheng Pacific Trading sebagai pemegang hak waralaba Indonesia, jenama asal Tiongkok yang didirikan Zhang Hongchao pada 1997 ini pertama kali membuka gerai di Cihampelas Walk, Bandung pada 2020. Tertinggal hampir dua dekade dibanding Hop-Hop the Bubble Drink asal Amerika Serikat yang membuka gerai pertamanya di Pasar Raya Grande pada 2001. Dari Chatime dan KOI Thé yang berasal dari Taiwan pun Mixue kalah cepat. Chatime masuk pada 2011 di bawah PT Foods Beverages Indonesia atau Grup Kawan Lama Sejahtera. Sementara, KOI Thé masuk pada 2014 di Mal Emporium Pluit dengan pemilik pertama bernama Alex Tan dan Teddy.
Meski demikian, ekspansi gerai Mixue sangat cepat di Indonesia. Mengutip Kompas, per Maret 2022 atau hanya dalam waktu dua tahun, Mixue telah memiliki 317 gerai. Jika dirata-rata, Mixue membuka 13 gerai baru setiap bulan. Tak heran jika Mixue disebut telah “menjajah” negeri ini.
Mari bandingkan dengan para pendahulunya. Setelah 21 tahun, berdasarkan situs resminya, saat ini Hop-Hop the Bubble Drinks hanya memiliki 43 gerai. Itu pun sebagian besar di Jabodetabek. KOI Thé sampai saat ini hanya punya 67 gerai. Chatime memang saat ini punya lebih banyak gerai dari Mixue di 472 lokasi, tapi mereka butuh hampir satu dekade untuk mencapai angka tersebut.
Tak hanya Indonesia, Mixue juga “menjajah” Asia Tenggara. Menurut laporan Momentum Works bersama Qlub, Mixue pertama kali menjangkau pasar Asia Tenggara di Vietnam pada 2018. Sejak saat itu, jumlah gerainya terus bertambah. Sampai akhir 2021 lalu, total Mixue memiliki lebih dari 1.000 gerai di Asia Tenggara. Angka ini menempatkan Mixue sebagai jenama teh boba dengan gerai terbanyak di kawasan, seperti bisa dilihat pada grafik di bawah ini:
(sumber: Laporan Momentum Works x Qlub)
Berdasarkan laporan yang sama, sebagian besar gerai Mixue berada di wilayah tier 3 dan 4 atau pinggiran. Satu hal yang mengindikasikan Mixue memang menyasar pasar kelas ekonomi menengah ke bawah–selain dari harga produknya yang murah.
Dengan kesuksesan di Asia Tenggara, menurut laporan Asia Nikkei, Mixue berencana melebarkan ekspansinya ke 30 pasar potensial. Beberapa di antaranya adalah Jepang, Eropa, Amerika Serikat, Kirgistan, dan Uzbekistan. Sementara, di Tiongkok telah terdapat lebih dari 21 ribu gerai dengan 7 ribu di antaranya dibuka sepanjang 2021. Pada akhir 2022, diperkirakan total gerai Mixue mencapai 30 ribu di seluruh dunia.
Hal itu menempatkan Mixue sebagai pemain teh boba utama di Tiongkok dan dunia dengan pendapatan mencapai 10,3 miliar yuan atau setara Rp 23,2 triliun sepanjang 2021. Mixue pun telah mengajukan penawaran umum perdana di Bursa Efek Shenzhen.
Resep di Balik Ekspansi Mixue
Apa rahasia balik kesuksesan ekspansi Mixue? Setidaknya ada tiga hal.
Pada 2010, Mixue menggandeng Zhengzhou Baodao Trading Co.,Ltd mengembangkan bisnis waralaba yang fokus pada pasar masyarakat menengah ke bawah. Harga waralaba Mixue lebih murah dari para pesaingnya. Di Indonesia, modal awalnya berkisar Rp 700-900 juta. Itu sudah termasuk biaya manajemen, deposit, biaya pelatihan, biaya peralatan, dan bahan baku gelombang pertama. Harga tersebut jauh lebih murah dibandingkan KOI Thé yang mencapai Rp 1,4 miliar di luar sewa ruko dan gaji pegawai. Dengan demikian, Mixue menarik perhatian lebih banyak orang untuk bergabung pada jaringan waralabanya.
Seperti telah saya singgung sebelumnya, harga produk Mixue sangat murah. Di tengah kondisi ekonomi yang sedang tak menentu akibat pandemi, konsumen bakal cenderung memilih Mixue ketimbang jenama teh boba lain yang harganya lebih mahal. Apalagi soal rasa tidak berbeda jauh, dan Mixue punya kekhasan di es krim sebagai jualan utamanya.
Untuk menjaga harga waralaba serta produknya tetap murah, Mixue membangun rantai pasoknya sendiri. Dimulai dengan membangun pusat logistik di Kota Jiaozuo, di Provinsi Henan, Tiongkok pada 2014. Dari situ, Mixue mengirimkan bahan mentah dan logistik lainnya ke seluruh gerai waralabanya di Tiongkok. Mixue bahkan mempunyai pusat pemrosesan lemon di Kota Ziyang, Provinsi Sichuan. Seluruhnya membuat ongkos material Mixue lebih rendah 20% dari pesaingnya. Sehingga, harga produknya bisa tetap kompetitif.
Dengan ketiga hal tersebut, Mixue pada akhirnya bisa menciptakan ekosistem bisnis yang kuat seperti digambarkan Momentum Works dalam grafik berikut ini:
(sumber: Momentum Works)
Pasar Indonesia Masih Besar Bagi Pemain Lain
Ekspansi Mixue yang cepat memang menjadi tantangan bagi jenama F&B lain yang menjual teh boba, termasuk jenama lokal seperti Kopi Kenangan yang kini telah menyandang status sebagai usaha rintisan unicorn. Namun, pasar Indonesia sebetulnya masih sangat besar untuk persaingan bisnis teh boba yang sehat.
Berdasarkan data Good Stats, Indonesia adalah pasar teh boba terbesar di Asia Tenggara dengan nilai mencapai Rp 23,74 triliun. Angka ini setara 43,7 persen dari total nilai pasar kawasan yang mencapai Rp 54,30 triliun. Selain itu, berdasarkan data Grab pada 2018 lalu, orang Indonesia rata-rata memesan 3 gelas teh boba per hari. Perlu dicatat, ini baru data dari Grab, belum aplikasi ride hailing lain.
Sementara, menurut survei Jakpat periode Mei 2022 terhadap 1.624 responden, sebanyak 65% di antaranya mengaku boba sebagai minuman paling sering dipesan lewat aplikasi ride hailing. Lebih tinggi dari kopi (56%) dan jus (46%) di urutan kedua dan ketiga.
Dari sisi pendekatan persaingan pasar terbuka, semakin banyak pemain yang terlibat bakal semakin menguatkan ekosistem dan menghindari monopoli. Bagi konsumen, monopoli sangat merugikan karena hanya diberi pilihan yang itu-itu saja dan bukan tidak mungkin mencekik secara harga. Ketika harga teh boba semakin mencekik, itu jelas pertanda buruk bagi kas keluarga saya!