Kita Memang Belum Siap Jadi Tuan Rumah Piala Dunia
Yoga Cholandha
Dan skenario terburuk itu sungguh-sungguh terjadi. Piala Dunia U-20, event olahraga akbar yang semestinya jadi peninggalan pemungkas rezim ̶O̶r̶d̶e̶ ̶B̶a̶i̶k̶ Joko Widodo, akhirnya lepas dari genggaman. Melalui pengumuman resmi sepanjang 186 kata, FIFA—si empunya pergelaran—mencabut status tuan rumah yang sudah jadi milik Indonesia sejak 2019.
Rasanya, kronologi yang runtut tak perlu lagi diceriterakan. Semua yang terjadi masih begitu segar di ingatan. Rasanya, kita semua tahu bahwa hilangnya status tuan rumah Piala Dunia U-20 dari tangan Indonesia itu terjadi karena, well, pada dasarnya kita memang tidak layak jadi tuan rumah.
Di sini, yang jadi persoalan terbesar bukan soal infrastruktur. Toh, stadion-stadion terbaik Indonesia sudah direnovasi dan diinspeksi secara berkala. Bukan pula soal ketidakmampuan memberi jaminan keamanan kepada delegasi yang sudah ditolak bahkan sebelum mesin jet pesawat mereka dipanasi. Toh, perhelatan G-20 tahun lalu bisa berjalan lancar tanpa aral berarti.
Persoalan terbesar yang pada akhirnya membuat Indonesia urung menggelar Piala Dunia U-20 adalah ketidaksanggupan kita berhadapan dengan konsekuensi.
Dengan diberikannya kepercayaan menggelar turnamen sekelas Piala Dunia—walau "hanya" di level U-20, Indonesia berarti sudah menyatakan kesanggupan. Yakni, kesanggupan untuk menerima dan menjalani apa pun yang harus dilakukan tuan rumah, termasuk ketika negara yang tidak kita akui keberadaannya secara de jure, Israel, berhasil lolos ke putaran final turnamen sebagai salah satu perwakilan konfederasi Eropa.
Sudah menjadi tanggung jawab Indonesia sebagai tuan rumah untuk menerima semua peserta yang hendak bertanding. Semestinya, yang terjadi sesederhana itu. Akan tetapi, jika itu benar-benar terjadi, perjalanan sejarah Indonesia akan menjadi anakronistik. Akan muncul sebuah anomali yang, di kemudian hari, bakal memantik sebuah pertanyaan: Apa yang terjadi pada frasa "...bahwa sesungguhnya kemerdekaan ialah hak segala bangsa..." yang jelas-jelas termaktub dalam preambule UUD 1945?
Frasa itu sudah jadi pegangan kuat Indonesia sejak Israel diresmikan jadi sebuah negara pada 1947. Indonesia tahu persis bahwa pendirian negara Israel sudah melanggar kemerdekaan bangsa Palestina. Oleh sebab itu, Indonesia tak pernah secara terang-terangan mengakui eksistensi negara zionis tersebut. Indonesia dan Israel pun tidak pernah memiliki relasi diplomatik hingga detik ini.
Namun, seperti yang sudah disebutkan di atas, keengganan Indonesia mengakui Israel hanya berlaku secara de jure. Secara de facto, Indonesia dan Israel sudah kerap menjalin hubungan kendati seringkali dilakukan secara diam-diam.
Indonesia pernah membeli sepaket pesawat tempur Sky Hawk dari Israel. Sejumlah personel militer kita pernah mendapat pelatihan dari lembaga intelijen Israel, Mossad. Indonesia juga memiliki perangkat canggih buatan Israel bernama Pegasus yang pernah dipakai pemerintah menyadap para koruptor. Tak lupa, pada 1993, Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin pernah bersua Presiden Suharto dalam sebuah kunjungan semi-klandestin ke Indonesia.
Di ranah olahraga, Israel sebenarnya sudah beberapa kali mengirim delegasinya ke Indonesia. Misha Zilberman mewakili Israel di cabang bulu tangkis, Yuval Shemla hadir untuk menjajal peruntungan di panjat tebing, dan Mikhail Yakovlev datang sebagai gacoan Israel di balap sepeda. Kedatangan mereka ke Indonesia tak pernah menjadi persoalan. Nama mereka baru mencuat ke permukaan setelah isu penolakan terhadap Timnas Israel U-20 muncul.
Dengan kata lain, baru kali ini delegasi Israel menghadapi penolakan sedemikian masif. Padahal, semua bukti di atas bisa menjadi landasan bahwa semestinya kehadiran kontingen Timnas Israel U-20, yang lolos ke Piala Dunia U-20 sebagai finalis Piala Eropa U-19, tidak semestinya menjadi masalah. Sebab, jika memang istikamah dengan frasa "kemerdekaan ialah hak segala bangsa" tadi, Indonesia seharusnya tak pernah menjalin hubungan apa pun dengan Israel. Titik.
Namun, pada akhirnya, frasa dalam preambule konstitusi tadi dipolitisasi sedemikian rupa sehingga FIFA memutuskan bahwasanya kita tidak layak menggelar Piala Dunia U-20. Perlu dicatat, kelolosan Israel ke Piala Dunia U-20 sudah dipastikan sejak tahun lalu. Jika memang kehadiran anak-anak asuh Ofir Haim itu sedemikian problematik, mengapa penolakan tak disuarakan sejak jauh-jauh hari? Mengapa gelombang penolakan baru muncul dua bulan sebelum turnamen seharusnya digelar di Indonesia?
Dengan status tuan rumah, Indonesia punya tanggung jawab untuk menjamu semua negara member FIFA yang telah lolos ke putaran final lewat pelbagai jalur kualifikasi tanpa kecuali. Tengok saja bagaimana Qatar tetap menerima perwakilan negara-negara yang sebelum Piala Dunia 2022 senantiasa menggoyang reputasi mereka dengan berbagai isu Hak Asasi Manusia (HAM).
Ya, Qatar dan Piala Dunia 2022 lalu memang kotor. Namun, setidak-tidaknya, mereka tetap bertindak sebagai tuan rumah turnamen FIFA yang baik. Semua kontingen diterima meskipun sentimen-sentimen tetap tak bisa dilenyapkan sepenuhnya. Tapi, ya, itulah konsekuensi yang mesti dihadapi dan Qatar mau menghadapi serta menjalaninya.
Pemerintah—serta PSSI—sebetulnya sudah mau menunjukkan sikap seperti yang ditunjukkan Qatar. Akan tetapi, ada segelintir pejabat (baca: Gubernur Bali I Wayan Koster dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo) serta sejumlah organisasi yang kemudian "mbalelo". Mereka inilah orang-orang yang tak mampu menghadapi konsekuensi tadi. Mereka inilah yang, setidaknya sejauh khalayak ramai mengetahui, jadi biang keladi di balik batalnya Indonesia jadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023.
Bertolak dari sana, sesuai isi surat resmi FIFA, bisa jadi bakal ada hukuman yang dijatuhkan kepada Indonesia. Seperti apa bentuknya, sampai sekarang belum diketahui. Namun, hukuman ini mungkin takkan seberapa efeknya ketimbang hilangnya kepercayaan dunia internasional. Bisa jadi, karena ontran-ontran Piala Dunia U-20 ini, mimpi Indonesia jadi tuan rumah Piala Dunia 2034 dan Olimpiade 2036 bakal layu sebelum berkembang.
Meski demikian, barangkali Indonesia kehilangan status tuan rumah Piala Dunia U-20 karena, pada hakikatnya, kita memang belum layak. Lihat saja realitas penyelenggaraan olahraga di Indonesia seperti apa. Lihat saja bagaimana PSSI dan PT Liga Indonesia Baru (LIB) menjalankan roda kompetisi sepak bola. Jadwal berantakan, kepemimpinan wasit tak keruan, dan tentunya, yang sama sekali tidak boleh dilupakan adalah Tragedi Kanjuruhan.
Lebih dari 135 nyawa melayang dan keadilan belum bisa kita berikan kepada keluarga yang ditinggalkan. Para pembunuh divonis bebas karena hakim memilih untuk mengambinghitamkan angin. Semakin tampaklah kegagalan sistemik dalam penyelenggaraan olahraga serta sistem peradilan kita. Semakin jelas pula bahwa kita, Indonesia, memang belum layak merasakan hal terbaik yang bisa ditawarkan dunia.
Mungkin—sekali lagi mungkin, ketika tamparan Tragedi Kanjuruhan sudah membuat kita tersadar dan berbenah, barulah Indonesia bisa berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa besar lainnya. Mungkin, ketika Indonesia sudah belajar dari segala kesalahan dan kegagalan itu, barulah nikmatnya Piala Dunia bisa kita sesap dalam-dalam.