Mungkinkah Cinta Bertahan Selamanya?

Mungkinkah Cinta Bertahan Selamanya?

 

Lebih kurang dua tahun lalu, saya match dengan seorang gadis di aplikasi kencan daring. Kami berkenalan dan membangun percakapan secara daring selama lebih kurang sebulan. Setelah satu sama lain merasa nyaman dan aman, kami pun memutuskan bertemu secara langsung di salah satu mal di Jakarta.

 

Saat itu pukul 11 siang ketika saya sampai di lokasi. Lebih lambat satu jam dari waktu yang kami sepakati. Saya telat bangun hari itu, karena malam sebelumnya seorang kawan menculik saya untuk nongkrong sampai dini hari. Syukur alhamdulillah gadis itu tak keburu pulang. Ia sabar menunggu di salah satu kafe di mal itu. 

 

Ketika saya menghampirinya, ia sudah memasang senyum ke arah saya dari kejauhan. Senyum termanis dan paling ceria yang saya lihat hari itu. Seketika pengar di kepala saya karena kurang tidur hilang. Tubuh saya menjadi segar dan bugar seperti orang yang baru saja berolahraga. Satu-satunya yang tak hilang hanyalah rasa lapar di perut saya. Satu hal yang ternyata juga ia sadari. Setelah kami bersalaman dan ngobrol sedikit, ia mengajak pindah ke restoran dan langsung saya iyakan. 

 

Kami memilih sebuah restoran Jepang. Atas rekomendasi darinya, saya memesan semangkuk ramen. Katanya, ramen di situ enak sekali dan memang begitu adanya. Sementara ia memesan beberapa macam dimsum. Untuk sejenak, kami makan dengan khidmat. 

 

Usai mengisi perut, kami mulai ngobrol. Kami bertukar cerita tentang masa kecil dan kejadian-kejadian lain yang belum sempat kami bicarakan sebelumnya secara daring. Di situ, saya tahu ia tipikal gadis yang pintar, sabar, lagi ceria. Saya pun larut dalam suasana yang sampai sekarang masih sulit dilukiskan lewat kalimat. Pokoknya, setiap kali melihat tingkahnya, mendengar ucapannya, dan melihat senyumnya, dada saya terasa hangat dan penuh. Hari itu, saya pulang dengan perasaan bahagia. 

 

Dua bulan setelah pertemuan itu, saya melamar gadis itu. Empat bulan setelah lamaran, kami menikah. Ya, gadis itu adalah istri saya. Sosok yang ketika saya menulis artikel ini sedang asik tidur sambil memeluk putri pertama kami.

 

Cinta Adalah Misteri, Tapi Jawabannya Ada di Kerja Otak

 

Dari pengalaman itu, saya membuktikan bahwa cinta dan jodoh tak bisa dinyana datangnya. Tak pernah sebelumnya terbayangkan di benak saya bakal mencintai seorang gadis yang hanya saya kenal lewat aplikasi kencan daring, apalagi sampai menikah. Kenyataan ini pula yang kemudian memunculkan pertanyaan dari kerabat dekat saya, “Kok bisa cepet nikah, emang beneran udah cinta?” 

 

Well, cinta adalah misteri. Tapi, studi menemukan sebagian besar jawaban dari misteri tersebut berada di otak. Dari analisis terhadap 2.500 hasil pindaian otak mahasiswa yang melihat foto orang tercintanya dibandingkan dengan melihat foto kenalan, menunjukkan foto orang yang mereka cintai secara romantis mengaktifkan area otak yang disebut neurotransmitter yang melahirkan perasaan baik dan kaya dopamin. 

 

Studi itu pun menemukan wilayah nukleus berekor dan wilayah tegmental ventral di otak menjadi aktif. Area pertama terkait dengan deteksi hadian dan harapan serta integrasi pengalaman sensorik ke dalam perilaku sosial. Sementara, area kedua terkait dengan kesenangan, perhatian terfokus, dan motivasi untuk mengejar dan memperoleh imbalan. 

 

Dalam reaksi tersebut, ketika jatuh cinta zat kimia yang terkait dengan sirkuit hadiah membanjiri otak kita. Hasilnya adalah berbagai respons fisik dan emosional, seperti jantung berdebar kencang, telapak tangan berkeringat, pipi memerah, perasaan haru, cemas, dan bergairah.

 

Di saat yang sama pula, tingkat kortisol atau hormon stres kita meningkat untuk mengatur tubuh mengatasi krisis. Sebaliknya, kadar neurotransmitter serotonin habis. Dampaknya, kita diliputi pikiran dan harapan yang bertubi-tubi. Fase ini mengarah pada istilah “tergila-gila ke pasangan.”  

 

Jatuh cinta ternyata juga menonaktifkan saraf pengontrol emosi negatif, seperti ketakutan dan penilaian sosial. Akibatnya, nalar kritis kita terhadap orang lain jadi mati. Begitulah kita juga akhirnya mengenal istilah “cinta itu buta.” 

 

Jadi, ya, saat itu memang saya telah jatuh cinta ke istri saya. 

 

Mungkinkah Cinta Yang Bergairah dan Penuh Romansa Bertahan Selamanya? 

 

Pertanyaan tersebut mengganggu saya akhir-akhir ini. Saya tak ingin perasaan dalam momen seperti yang saya ceritakan di awal tulisan ini hilang seiring waktu, sebagaimana kata banyak orang bahwa peliknya pernikahan bakal melunturkan cinta. Apalagi Oscar Wilde pernah bilang, “seseorang harus selalu jatuh cinta. Itulah alasan seseorang tidak boleh menikah.” 

 

Mengutip Psychology Today, sebuah studi ternyata menemukan aktivitas identik dari hasil pemindaian otak seseorang yang telah menikah dalam jangka panjang dan yang baru saja jatuh cinta. Wilayah nukleus berekor dan tegmental ventral di otak mereka sama-sama intens. Menunjukkan bahwa mereka yang lama menikah dan baru jatuh cinta sama-sama masih dalam fase tergila-gila pada pasangannya. 

 

Studi lain yang dilakukan Bianca Avedo dkk (2009) dari Departemen Psikologi Stony Brook University pun menemukan hasil serupa. Hasil pemindaian MRI menunjukkan aktivitas intens di area otak kaya dopamin pada orang yang telah menikah selama rata-rata 21 tahun dan yang baru saja jatuh cinta. Artinya, kegembiraan asmara tetap ada. 

 

Penyelidikan lanjutan studi tersebut pun memastikan bahwa seseorang terbukti tidak berbohong ketika mengatakan masih mencintai satu sama lain setelah 10-30 tahun menikah. Hal ini mengindikasikan bahwa seseorang sangat mengaktifkan kembali cinta penuh romansa dan gairah mereka ketika hubungan telah berjalan lama. 

 

Salah satu yang bisa mengaktifkan kembali perasaan romansa tersebut adalah aktivitas seksual. Dengan melakukan aktivitas seksual yang intens, seseorang meningkatkan kadar oksitosin dan mengaktifkan sirkuit penghargaan di otaknya. Sehingga, pasangan bakal lebih menginginkan satu sama lain. Cinta mereka pun selalu terbarui. 

 

Hal lain yang bisa dilakukan untuk menjaga gairah dan romansa cinta, adalah dengan mengurangi pandangan negatif terhadap pasangan. Ini sebagaimana hasil riset dari Lucy Brown, seorang profesor klinis di Einstein College of Medicine, New York yang meneliti fase-fase cinta dari tingkat euforia sampai lanjutan. 

 

Menurut Brown, salah satu ciri utama cinta yang penuh euforia adalah kemampuan menekan penilaian negatif terhadap pasangan ditandai dengan penurunan aktivitas di korteks prefrontal. Sehingga, bila seseorang ingin selamanya merasakan cinta penuh euforia bagian tersebut mesti terus ditekan. 

 

Tentu saja tak mudah melakukan dua hal tersebut secara konstan dari waktu ke waktu. Kesibukan pekerjaan, jarak, salah paham, dan lain sebagainya bisa mengurangi intensitas aktivitas seksual dan menciptakan pikiran negatif terhadap pasangan. Bukan tidak mungkin sebuah hubungan bisa terjerembab ke fase kritis dan kehilangan cinta. Tapi, seperti kata Meggy Z, percuma saja bercinta kalau takut sengsara. Petuah ini juga yang berusaha saya pegang dalam mengarungi bahtera pernikahan.