“Bapak pergi ke kantor. Ibu pergi ke pasar” adalah kalimat standar yang sering saya temui di buku pelajaran sekolah. Namun 12 tahun setelahnya, ternyata peran gender tersebut berubah: ibu pergi ke kantor, bapak mengurus rumah.
Fenomena bapak rumah tangga ini tak hanya fenomena terbatas. Ia merambah di kultur pop seperti The Way of Househusband yang menceritakan Tatsu, seorang mantan yakuza yang menjadi bapak rumah tangga untuk mendukung istrinya yang wanita karier, Miku. Premisnya yang tak konvensional justru berhasil menarik banyak fans.
Ada apa gerangan?
Bapak menyapu lantai, ibu sibuk di depan laptop
Pew Research mengestimasikan ada 2 juta bapak rumah tangga di Amerika Serikat pada tahun 2012. Puncaknya terjadi pada 2010, setahun setelah krisis ekonomi global berakhir. Kenaikannya memang bertepatan dengan krisis ekonomi, tapi tidak selalu karena menganggur. Setidaknya 21% beralasan mereka mengurus keluarga, 35% karena penyandang disabilitas, dan 22% karena sekolah/pensiun.
Tingkat pendidikan menjadi faktor terbesar laki-laki menjadi bapak rumah tangga. Mayoritas bapak rumah tangga adalah laki-laki yang tidak lulus SMA, diikuti oleh lulusan SMA, diploma, lalu sarjana. Rendahnya tingkat pendidikan membuat pilihan pekerjaan mereka sedikit. Namun hal yang serupa tidak begitu berlaku untuk bapak bertitel sarjana - mereka justru melihat bapak rumah tangga sebagai cara untuk mendekatkan diri dengan anak-anak mereka.
Keinginan para bapak untuk bisa lebih dekat dengan anak-anaknya tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, tuntutan feminis agar laki-laki lebih banyak berpartisipasi dalam urusan rumah tangga. Kedua, semakin banyaknya penelitian tentang betapa pentingnya peran ayah dalam kehidupan anak.
Tuntutan feminis ini tak hanya memaksa laki-laki untuk mencuci piring dan mengganti popok, tapi juga menuntut pemerintah agar memberikan serta memperpanjang cuti hamil dan kelahiran untuk para suami. Mengurus anak bukan hanya urusan ibu, tapi juga urusan bapak. Semakin cepat bapak ikut mengurus anak, semakin besar kemungkinan sang bapak akan mengurus anak di masa depan.
Beberapa negara yang mengimplementasikan ide feminis ini adalah negara-negara Skandinavia. Penerapan paternal leave atau cuti untuk para bapak yang istrinya baru melahirkan memang baru diimplementasikan di akhir tahun 1970-80an. Hingga sekarang orangtua di Skandinavia bisa mendapatkan minimal tiga bulan cuti berbayar.
Stigma terhadap bapak rumah tangga
Meskipun bapak yang rajin ngemong anak dan keluarga mulai menjadi tren, kebijakan cuti dan stigma masyarakat masih menghalangi mereka. Di Indonesia sendiri cuti melahirkan untuk bapak hanya dua hari. Ini kontras dengan cuti melahirkan untuk ibu yang berdurasi tiga bulan, menandakan bahwa urusan anak masih urusan eksklusif para ibu.
Stigma masyarakat terhadap bapak yang mengurus keluarga juga masih kencang. Mereka kerap dianggap aneh, pengangguran, atau gagal sebagai laki-laki karena tidak bekerja. Tentu stigma ini datang dari peran gender yang mengharuskan laki-laki sebagai pemimpin keluarga dan pencari nafkah utama.
Stigma masyarakat terhadap bapak rumah tangga didokumentasikan dengan baik oleh Suharmanto, et.al. (2020). Penelitian yang melibatkan 200 responden dengan 85 responden memiliki istri sebagai pencari nafkah utama menunjukkan bapak rumah tangga masih dipandang sebelah mata. Responden meyakini istri akan malu apabila memiliki suami seorang bapak rumah tangga dan merasa suami akan kehilangan harga diri karena tidak bisa memenuhi kewajiban sebagai pemberi nafkah utama. Padahal kenyataannya sekarang perempuan memiliki tingkat pendidikan dan jenjang karier yang lebih tinggi dari laki-laki. Sehingga bukan tidak mungkin tren bapak rumah tangga akan terus naik di masa depan.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk para bapak rumah tangga? Tentunya dengan lebih mengakomodasi mereka lewat peraturan yang ramah bapak rumah tangga. Apabila peraturan-peraturan ini sudah diimplementasikan, stigma terhadap mereka pelan-pelan akan menghilang.