Museum Kontemporer dan Art Exhibition yang Dianggap ‘Lebih’ Fancy dari Museum Lainnya
Setelah artikel resistensi museum kesejarahan kemarin, saya rasa, sekarang saatnya kita membicarakan soal museum kontemporer—atau art exhibition lainnya yang sering disebut dengan ‘kontemporer’. Saya dan teman-teman Jurno memilih Museum MACAN dan CANS Gallery sebagai objek tulisan ini.
Museum kontemporer sendiri memiliki makna museum yang mengusung konsep yang relevan dengan kehidupan masa kini. Berbeda dengan museum kesejarahan yang menampilkan pelestarian, dan pameran artefak, benda-benda, dokumen yang berkaitan dengan masa lampau.
Ramai Art Exhibition dan Klaim Mereka sebagai Museum
Saat mengunjungi Museum MACAN, kawan saya, John bertanya, “Museum kayak gini (Museum MACAN) bisa disebut museum nggak, sih?” Pertanyaannya langsung menggelitik saya, apa definisi museum sebenarnya adalah hal yang langsung terbesit di pikiran saya.
Saya pun mengobrol dengan Dian Sulistyowati M.Hum, Dosen Arkeologi UI. Layaknya murid kepada gurunya, saya terus bertanya, “Apa itu museum?” Mbak Dian menyarankan saya untuk mengacu pada PP RI No. 66 Tahun 2015. Bunyinya: museum adalah lembaga yang berfungsi melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi, dan mengkomunikasikannya kepada masyarakat.
Saya manggut-manggut mendengarnya. Namun Mbak Dian memberikan definisi yang bagi saya lebih progresif. Definisi itu mengacu pada International Council of Museum yang baru saja merumuskan definisi museum versi lebih segar pada 2022. Bunyinya seperti ini:
“A museum is a not-for-profit, permanent institution in the service of society that researches, collects, conserves, interprets and exhibits tangible and intangible heritage. Open to the public, accessible and inclusive, museums foster diversity and sustainability. They operate and communicate ethically, professionally and with the participation of communities, offering varied experiences for education, enjoyment, reflection and knowledge sharing.”
Nah, di sini letak kemajuannya. Kalau dulu museum didefinisikan sebagai lembaga nirlaba (non profit), sekarang berubah menjadi badan usaha (not for profit). “Dari dulu museum selalu disebut non profit, dianggap cari uang itu nggak boleh. Padahal maksudnya itu ‘not for profit’ artinya mereka bukan mencari keuntungan. Mereka boleh cari uang kok, tapi nantinya digunakan untuk operasional mereka lagi.” kata Mbak Dian.
Sampai di situ, saya memahami maksud Mbak Dian. Tapi pertanyaan yang mengganjal saya selanjutnya adalah, “Apakah museum layaknya Museum MACAN yang bentuknya art exhibition dan selalu bergonta-ganti tema, bisa disebut museum?”
Faktanya, semua museum pasti harus ada nomor registrasi yang mereka daftarkan ke Direktorat Perlindungan Kebudayaan. Mau dapat nomor registrasinya? Ya mereka harus memenuhi 6 syarat: punya visi misi, punya koleksi, ada lokasi/bangunan, punya sumber daya manusia, punya sumber pendanaan tetap, dan punya nama museum.
“Kalau Museum MACAN punya nomor registrasi, ya dia sah disebut museum.” pukas Mbak Dian.
Masih penasaran, saya juga menanyakan hal yang sama kepada Aaron Seeto, Direktur Museum MACAN soal definisi museum. Ia berpendapat bahwa masih banyak orang yang tak begitu paham dengan definisi museum. Aaron menjawab, “Bagi saya, museum adalah tempat umum dimana semua orang bisa masuk ke sana untuk belajar dan merasakan seni. Beda dengan galeri seni, di sana orang-orang tertentu saja yang bisa masuk dengan tujuan untuk jual beli barang kesenian.”
Museum Kontemporer dan Galeri Seni Bukan Sekadar untuk Foto-Foto
Kalau bicara soal museum kontemporer—yang juga sering disanding-sandingkan dengan galeri seni—selalu diidentikkan sebagai tempat yang Instagramable, kekinian, tempat hiburan. Waktu Museum MACAN sedang laris-larisnya dulu, banyak orang tak luput dari euforianya. Saya tanya apa yang memancing mereka ngebet ke sana. Jawabnya singkat, “Cuma mau foto-foto aja. Keren!”
Memori itu pula yang akhirnya saya tanyakan ke Aaron, apa tujuan dari Museum MACAN didirikan. Tujuan utamanya mengejutkan. Ternyata bukan untuk haha-hihi apalagi hanya foto-foto, tapi justru untuk edukasi soal seni kontemporer. Menurut Aaron, Museum MACAN juga menjadi pionir museum seni kontemporer pertama di Indonesia.
Niat pendirian Museum MACAN tak terbatas pada itu. Museum MACAN juga membuka gerbang bagi Indonesia berkenalan dengan seniman-seniman mancanegara. Mereka juga hadir sebagai wadah seniman Indonesia mempresentasikan karya mereka, misalnya Agus Suwage, Melati Suryodarmo, dan Arahmaiani.
Jadi, dari hasil berbincang dengan Aaron, saya menyimpulkan bahwa tujuan Museum MACAN adalah mengedukasi atau mendekatkan masyarakat pada karya seni kontemporer dan sebagai wadah seniman-seniman luar maupun dalam negeri. Ia juga mengklaim bahwa Museum MACAN mampu beradaptasi dengan lingkungan gerah di Jakarta. “Jadi salah satu keistimewaan MACAN adalah kita bisa mengatur semua kelembaban dan suhu serta pencahayaan di dalam museum. Ini hal yang sulit dilakukan di iklim tropis seperti Jakarta.”
Soal edukasi yang Aaron bicarakan, pemilik CANS Gallery, Inge Santoso juga menyatakan kesamaan pendapatnya. Ia menampik bahwa galeri seni miliknya hanya jadi tempat jual beli seni atau pameran seni saja. Baginya, CANS Gallery juga bervisi-misi untuk mengedukasi masyarakat, “Kami punya tujuan edukasi, kami ingin mendekatkan seni rupa kepada publik.” ujar Mbak Inge.
Walaupun, Mbak Inge sendiri tak mengklaim galerinya sebagai museum, tapi dirinya juga tak mau kalau CANS Gallery hanya jadi ruang pajangan belaka. Benar saja, ketika saya riset lebih lanjut, ternyata CANS Gallery sempat membuka pameran seni yang melibatkan 17 seniman kondang Indonesia. Lebih menyenangkan lagi bahwa pameran ini terbuka untuk umum.
Lebih Fancy, Lebih Bagus?
Ini jadi perdebatan utama dalam artikel permuseuman kami. Museum kontemporer seolah selalu identik dengan kemewahan, kekinian, dan modernitas. Sementara museum kesejarahan dianggap lawas dan tradisional.
“Orang kalau udah nyebut museum itu pasti stigmanya bosan, apalagi museum kesejarahan. Nggak semua orang suka sejarah, kan. Ini bikin struggling juga,” ujar Mbak Dian. Namun, permasalahan para museum—baik museum kontemporer dan museum kesejarahan—pada dasarnya sama saja.
Dimulai dari pengelolaan koleksinya, dimana hal ini membutuhkan tenaga teknis dan tenaga administrasi. Dari tenaga kurator contohnya, kurator di museum adalah orang yang punya latar belakang yang sesuai dengan koleksi di museum itu. Kalau museumnya museum kesejarahan, ya pasti kuratornya harus orang dengan latar belakang pendidikan sejarah. Hal ini berlaku juga untuk museum seni kontemporer.
Selanjutnya adalah masalah pendanaan. Museum harus punya pendanaan tetap. Museum kesejarahan sendiri yang kemarin saya dan kawan-kawan Jurno kunjungi, mereka tak hanya menunggu ‘sedekah’ rutin dari pemerintah. Mereka juga bekerja sama dengan pihak swasta untuk pendanaan museum.
Sama halnya dengan Museum MACAN, Aaron sendiri mengakui bahwa museumnya bukan bertujuan untuk mencari keuntungan. Pendanaan tetapnya berasal dari kantong pribadi, ditambah dengan donasi, dan kerja sama dengan pihak swasta. Hal sama juga dilakoni oleh CANS Gallery. Meski bukan museum, pendanaan mereka yang pasti juga berasal dari dana pribadi.
Tapi memang, jika hendak dibandingkan, merawat museum kesejarahan memakan dana lebih banyak. Contohnya Museum Kesejarahan Jakarta dengan bangunan kunonya yang membutuhkan perawatan luar biasa.
Lalu, yang paling genting dari keselamatan museum adalah mempertahankan dan meningkatkan animo pengunjung. Bicara soal pengunjung ini, saya menanyakan “Apakah benar museum kesejarahan mengalami penurunan pengunjung dibanding museum kontemporer? Atau justru dua-duanya sama-sama berkembang?”
“Memang saya mengakui, zaman sekarang, siapa, sih, yang nggak update di media sosial? Mau anak muda mau orang tua, semua butuh itu, jadi yang ada embel-embel kerennya lebih disukai.” kata Mbak Dian, ketika saya menekankan soal labelling bahwa museum kontemporer dinilai lebih keren.
Rupanya, untuk meningkatkan eksistensi di tengah gempuran museum yang ‘kekinian’, museum kesejarahan harus punya mindset yang diubah. PR-nya adalah bagaimana museum kesejarahan tak cuma bicara soal masa lalu, tapi dapat menyambungkan isu-isu masa lalu dengan isu-isu kontemporer masa kini.
Saya baru sadar pula. Iya, ya, ada banyak topik yang bisa ditarik ke sejarah: isu perubahan iklim, kesetaraan perempuan, isu minoritas dan sebagainya. “Misalnya masalah peran perempuan dalam dunia sains, isu itu kan bisa dibawa oleh museum kesejarahan yang berkaitan dengan sains.” kata Mbak Dian.
Kini, orang-orang cenderung berkiblat pada teknologi, terlihat dari antusiasme masyarakat pada ImersifA milik Museum Nasional. Penggunaan teknologi kerap kali dijadikan faktor utama untuk menilai museum. Padahal yang perlu diperbaiki bukan dari segi itu saja, tapi juga pada produk dan pengemasan yang ingin dibawa museum. Makanya, diperlukan kreativitas untuk mengemasnya ke dalam berbagai produk yang berbeda.
Mbak Dian sendiri mengaku tak cukup percaya dengan teknologi. Karena teknologi terus berganti, orang pun akan cepat bosan. Makanya, poinnya terletak dari idenya dulu, baru penyampaiannya terserah mau lewat apa.
“Yang dibutuhkan kreatifnya, bukan teknologinya dulu. Yang menang dari Museum MACAN itu buat saya adalah kekreatifannya.” ujar Mbak Dian. Ucapannya mengingatkan saya ketika berkunjung ke Museum MACAN kemarin. Saya ingat betul, Museum MACAN menampilkan pameran dengan mengumpulkan beragam sikat gigi bekas, sandal-sandal bekas yang mereka buat layaknya sayap malaikat, sampai kotak-kotak sepatu bekas yang disusun unik dalam ruangan khusus.
Saya saat itu saja dibuat heran, “Kok ada yang kepikiran bikin pameran seperti ini?” Mbak Dian dengan antusias menjawab “Kan ide yang relate sama itu.” Benar, kita jadi punya konektivitas ketika lihat ‘produk’ mereka.
Namun sekarang, museum kesejarahan sudah memiliki ide-ide kreatif dan mulai sejajar dengan museum kontemporer. Contohnya Museum Gedung Sate dengan produk hi-tech dengan rasa virtual reality (VR) dan augmented reality (AR). Apalagi kini, anak-anak muda mulai banyak yang berbaur menjadi sebuah komunitas ‘heritage enthusiast’.