Musik Dalam Everything Everywhere All at Once Ibarat Rendang

Musik Dalam Everything Everywhere All at Once Ibarat Rendang

Bayangkan jika hidupmu adalah tumpukan masalah, dan mencari kebahagiaan di tumpukan itu akan menciptakan masalah baru. Itulah perjuangan sehari-hari Evelyn Quan Wang, yang diperankan oleh Michelle Yeoh dalam film Everything Everywhere All at Once (selanjutnya saya ringkas jadi EEAAO).

Evelyn adalah seorang imigran China yang menghadapi sejumlah masalah hidup. Suaminya, Waymond Wang (Ke Huy Quan), meminta cerai saat ayahnya berkunjung. Putrinya, Joy (Stephanie Hsu), memiliki pandangan hidup yang berbeda dan sering bertengkar dengannya. Selain itu, ada petugas pajak yang siap melenyapkan bisnisnya kapan saja.

Apa cukup sampai di situ? Nanti dulu, cerita jadi semakin gila ketika Evelyn bertemu Alpha Waymond, suaminya dari alam semesta alternatif ketika ia berada di dalam lift kantor pajak. Alpha Waymond memberitahu Evelyn bahwa multiverse sama nyatanya dengan kedua tangannya dan ia meminta Evelyn untuk membantunya menyelamatkan multiverse dari Jobu Tupaki.

Dan begitulah: penonton dibawa dalam perjalanan yang menciut-kembangkan otak anda dengan penjelajahan di alam semesta lain. Sinematografi luar biasa dari film ini mendapat pujian dari kritikus, menjadikannya sebagai kandidat yang mudah untuk meraih gelar film sci-fi terbaik yang pernah dibuat. Jika kamu memiliki pendapat lain, aku tidak akan berdebat denganmu.

Dengan aspek-aspek itu, sudah sepantasnya film ini sukses secara finansial. Saat diputar di Bioskop pada Juni tahun lalu, film ini tembus mencapai US$107,9 juta atau senilai Rp1,65 triliun (kurs US$1=Rp15.379 per 14 Maret 2023).

Rinciannya, box office domestik (Amerika Serikat) mencapai US$73,78 juta (Rp1,13 triliun). Sementara box office internasional US$34,11 juta (Rp524,75 miliar).

Sedangkan penjualan secara fisik atau digital, seperti DVD dan Blu-ray, diperkirakan mencapai US$9,08 juta atau setara Rp139,6 miliar. Estimasi penjualan ini hanya dalam lingkup domestik yakni Amerika Serikat saja. Everything Everywhere All At Once kini menjadi film A24 pertama yang berhasil melampaui Rp1,4 triliun di box office seluruh dunia.

Tak hanya keuntungan finansial, kesuksesan film ini makin diperkuat dengan piala yang dibawa pulang pada gelaran Piala Oscar yang digelar pada 12 Maret lalu. Film ini membawa pulang penghargaan terbanyak dengan tujuh piala dari total 11 nominasi  

Ketujuh penghargaan itu antara lain: 

Film Terbaik
Sutradara Terbaik
Skenario Asli Terbaik
 Aktris Utama Terbaik
 Aktris Pendukung Terbaik
 Aktor Pendukung Terbaik
 Penyuntingan Terbaik


Sayangnya, dalam ajang bergengsi tersebut, band eksperimental asal New York, Son Lux sebagai penata musik film harus puas berada di deretan nominasi. Mereka harus merelakan piala dibawa pulang oleh Volker Bertelmann untuk film All Quiet on the Western Front.

Artikel ini nggak akan bahas filmnya kok. Soalnya tulisan tentang EEAAO sudah banyak dan keren-keren. Saya hanya akan fokus kepada satu-satunya dunia yang bikin saya masih ingin hidup seribu tahun lagi: Musik.

Perdana dan Langsung Menakjubkan

Dalam 50 tahun terakhir, tak ada sebuah band yang mengerjakan scoring film hingga masuk nominasi di Piala Oscar. Terakhir, ya, The Beatles pada tahun 1971 untuk film Let It Be yang yang masuk nominasi Oscar. Band lucu asal Liverpool ini harus dipaksa ikhlas melihat piala Best Original Song Score pulang dibawa pulang Quincy Jones.

Setelah 50 tahun kekosongan itulah, kehadiran Son Lux di ajang Oscar begitu istimewa. Izinkanlah saya memaparkan hasil pengamatan saya tersebut di bawah ini. 

Gak Lebay

Menonton EEAAO dua kali itu seperti memakan rendang dua kali tanpa perlu khawatir kolesterol. Musik Son Lux seperti bumbu rendang yang sempurna.

Ia menambahkan rasa pada rendang tanpa menguasainya, seperti campuran beragam rempah yang ditakar oleh matematikawan OCD sehingga menghasilkan hidangan yang terasa seimbang. Dan seperti koki hebat, Son Lux tahu cara menonjolkan yang terbaik dari setiap adegan.

Son Lox mampu menerjemahkan adegan film–misal saat adegan Everlyn berpindah ke multiverse menjadi begitu kuat atau adegan sedih yang dimulai saat Everlyn mengingatkan anaknya untuk makan setelah keduanya bertengkar.

Begitupula dengan adegan komedi, alih-alih membuat musik yang lucu, Son Lux mengisinya secara tanpa berlebihan, untuk memenuhi fungsinya sebagai penguat adegan komedi dalam film.

“Kami tidak mengolok-olok karakter, kami benar-benar ada di sana bersama mereka. Kami juga tidak mencoba untuk membantu emosi, ini bukan film yang membutuhkan bantuan kami dalam hal itu,” ujar salah seorang personel Son Lux, Ryan Lott.

Punya Dimensi Sendiri
Bagaikan hidangan rendang tadi, soundtrack EEAAO memiliki kehidupan sendiri. Ya, saya percaya ada semesta lain di dalam rendang yang bekerja dengan caranya sendiri untuk membuat penikmatnya tak merasa pergi ke dimensi lain meski tanpa ganja.

Saya tidak bisa menahan diri untuk mencoba, bertanya-tanya apakah musiknya akan tetap bertenaga meskipun tanpa visual film.

Saya mencobanya, dan betapa luar biasa pengalaman itu!

Setiap trek seperti menyimpan bom rasa, yang meledak dan membawa saya dalam perjalanan melintasi dimensi yang berbeda. Mungkin agak lebay? Tapi seperti rendang, soundtrack EEAAO adalah pengalaman spicy yang memuaskan dan bikin saya ingin lebih banyak lagi. Itulah kenapa saya menonton film ini dua kali, dan ada niat untuk menontonnya lagi.

Eksplorasi Musikal Son Lox

Sama seperti koki restoran Padang yang tahu cara menciptakan masakan rendang yang sempurna, keputusan duo Daniels memilih Son Lux untuk mengeksplorasi musik dalam film ini merupakan keputusan yang brilian.

Kolaborasi ini seperti menambahkan bahan rahasia pada resep, meningkatkan rasa dan membawa pengalaman baru. Dan seperti rendang yang semakin enak seiring waktu, keterlibatan Son Lux dalam proyek ini memungkinkan mereka untuk mengeksplorasi dan mengembangkan potensi musikal mereka bahkan lebih jauh. Situasi ini macam win win solution bagi produksi film juga bagi penontonnya.

Penunjukan ini juga dipandang positif untuk internal Son Lux. Ryan Lott menyebut jika terlibat dalam proyek ini membuat mereka mengembangkan potensi musikal lebih dalam dari sebelumnya.

“Film ini adalah hadiah karena bagi kami karena begitu banyak dorongan kreatif kami rasakan. Baik yang kami ketahui maupun yang mungkin telah kami tekan, dengan sendirinya menjadi pupuk dalam dalam proses ini. Saya pikir proses ini melampaui pekerjaan, itu melampaui pertunjukan, dan menyatu dengan semangat hidup yang indah itu sendiri. Saya tahu bahwa dalam banyak hal kami telah berubah dan kami tidak akan pernah sama,” ujar Ryan.

Band Juga Bisa Kok Ngerjain Scoring Film

Saya nggak tahu bagaimana perasaan kamu selepas menyantap rendang yang enak, tetapi saya selalu diliputi perasaan bersyukur dan penuh harapan. Ketika piring habis, saya meregangkan badan, dan mengucap syukur meski tanpa saya sadari.

Begitulah perasaan saya saat Son Lux masuk nominasi Oscar. Son Lux membawa harapan bahwa di masa depan, band lain juga bisa membawa cita rasa unik mereka ke penghargaan bergengsi di industri film, yang dengan sendirinya mungkin akan mendorong banyak band untuk mengomposisi musik dalam film. Sungguh, saya tak sabar untuk melihat lebih banyak band yang menghidangkan keceriaan pada skor film.

Setelah Son Lox, saya berharap di masa depan juga bermunculan banyak band yang mengerjakan scoring film. Masuk nominasi apalagi dapat penghargaan tuh cuma bonus, lah. Tetapi pikiran bahwa band, dengan kecakapan musik yang mereka punya, dapat terlibat dalam pembuatan film bisa menjadi penyegar di tengah susahnya cari duit sebagai anak band.

Kalau di Indonesia, saya jadi mengkhayal suatu saat Senyawa atau Kuntari mengerjakan scoring untuk film bioskop deh. Kira-kira, apa produser film yang katanya cuma mikirin cuan berminat, ya?