Nasi Padang, Ganja dan Trauma Orang Minang

Nasi Padang, Ganja dan Trauma Orang Minang

 

“Enak banget, nih. Ini bumbunya pake daun ganja, ya?”

“Emang bener, ya, nasi Padang pake ganja?”

 

Itulah dua kalimat yang paling sering saya dengar soal nasi Padang sejak masih sekolah dulu. Selain karena saya orang Padang, pertanyaan ini juga diajukan teman-teman lantaran orang tua saya berjualan nasi Padang. 

 

Saat masih bocah, saya menanggapinya dengan santai dan tanpa beban.

 

“Ya, enggak dong. Itu karena Ibuku masaknya pakai bumbu spesial,” kata saya.

 

Tapi makin bertambah umur, pertanyaan serupa masih saja muncul. Kali ini bukan teman sekolah saya yang lucu-lucu itu, tapi dari orang dewasa. Kini, pertanyaan yang semula terasa polos atau candaan ringan berubah jadi pernyataan.

 

Evolusi Pertanyaan Nasi Padang dan Ganja di Dalam Pikiran Saya

 

SD

“Enak banget, nih. Ini bumbunya pake daun ganja, ya?”

 

SMP

“Enak banget, nih. Pasti bumbunya pake daun ganja, ya? Hehe.”

 

SMA

“Enak banget, nih. Kayaknya bumbunya pake daun ganja, deh? Haha.”

 

KULIAH

“Enak banget, nih. Bumbunya pake daun ganja, sih? Haha.”

 

Bekerja

“Bener, kan, bumbunya pake daun ganja? Haha.”

 

Kelamaan, pertanyaan yang diulang-ulang itu seolah berubah menjadi kebenaran. Seolah pada suatu titik di dalam hidup saya, sekelompok masyarakat sepakat bahwa benar nasi Padang diolah menggunakan ganja dan itu mengapa nasi Padang terasa enak dan nagih.

 

Meski begitu, saya selalu menanggapi dengan senyum. Apalagi jika mereka bukan teman dekat. Semakin dewasa saya menyadari bahwa mereka tidak ingin bertanya untuk melakukan verifikasi, atau bercanda, melainkan hanya ingin membicarakan sesuatu yang mereka yakini saja.

 

Anda mungkin bisa menuduh saya terlampau berburuk sangka–dan mungkin ada benarnya. Tetapi, ditanyai hal yang sama dalam rentang waktu yang panjang, rasanya jadi sangat sulit mempercayai bahwa orang-orang tidak sekadar menganggap ‘ganja di dalam nasi Padang’ sekadar metode bercanda atau model bergaul yang sok asik, kelamaan saya berpikir jangan-jangan mereka memang menganggap itu benar-benar terjadi.

 

Tapi karena asas pertemanan, saya harus menjawab jika masakan Padang bisa terasa seenak itu karena di dalamnya terdapat bumbu-bumbu yang kompleks. Seperti memasak rendang, misalnya, kamu harus pintar-pintar memadukan daging sapi dengan berbagai macam rempah seperti batang serai, bawang putih, cabai merah, asam kandis, kemiri dan cengkeh. Sudahlah bumbu masaknya kompleks, proses masaknya pun membutuhkan waktu sekitar 7-8 jam hingga daging menjadi kering, minyak naik dan tak ada lagi kandungan air.

 

Maka jangan heran kalau proses penyajian yang rumit itu membuat rendang berhasil menduduki peringkat pertama sebagai makanan terlezat di dunia menurut CNN Go’s pada tahun 2011 dan kembali terpilih sebagai makanan terenak di dunia versi CNN Travel. Dengan proses yang rumit, waktu dan tenaga yang dihabiskan serta penghargaan semu dari media-media itu, wajar saja jika orang Minang atau Padang merasa sebal dengan pertanyaan yang itu-itu lagi. 

 

Saya jadi iseng berpikir, apa, ya, kira-kira penyebab masakan Padang diidentifikasikan dengan ganja. Apa karena Padang dianggap dekat dengan Aceh secara geografis, ya? Tetapi, Padang dan Aceh tidak sedekat itu. Memang, sih, sama-sama Sumatera tapi jaraknya jauh. 1000 km lebih.

 

Saya tidak sedang bilang bahwa ‘ganja’ itu rendah sehingga saya merasa tersinggung. Saya juga tidak sedang mendiskreditkan orang Aceh yang menggunakan ganja sebagai bumbu masak sejak dari zaman Kesultanan Aceh. Sama sekali tidak. Itu adalah tradisi dan memiliki nilai historis yang panjang. Saya menghormati budaya dan sejarah Aceh, apalagi orang-orangnya.

 

Saya hanya sebal dengan orang yang menuduh sesuatu tanpa bukti dan cenderung tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Sumatera adalah pulau seluas 473.481 km², di dalamnya terdapat beragam suku, setiap suku memiliki adat istiadat serta sejarah yang berbeda, memiliki nilai-nilai sosial yang berbeda pula. Menganggap nasi Padang menggunakan ganja cuma karena Padang berada di pulau Sumatera, menurut saya, adalah upaya oversimplifikasi yang nggak tertolong. Manusia di Sumatera, seperti seluruh manusia di muka bumi ini, bukanlah sekumpulan batu dengan potongan, penampilan atau gaya yang serupa. Cuma karena anda tidak tinggal di sana dan tidak terkait secara historis dengan orang-orang di pulau Sumatera, bukan berarti dengan serta-merta anda boleh menyederhanakan segalanya dan merangkumnya ke dalam bercandaan stereotipikal yang tak lucu.

 

Lagipula, sekalipun misalnya memang ganja enak. Nggak semua yang enak di dunia ini ada ganjanya. Ngerti ora, Son?

 

Trauma Jadi Bangsa yang Tertuduh

 

Saya pernah dengar seseorang berkata: Masalahnya nggak serumit itu, sih, kadang orang mempercayai apa yang mereka mau percaya saja.

 

Kalimat itu terdengar seperti kebenaran, seandainya anda lahir di lingkungan yang didominasi oleh orang-orang yang mendukung anda sehingga anda bukanlah korban dari ‘kepercayaan’ keliru itu. Tetapi, sialnya tidak bagi orang yang tertuduh.

 

Saya sadar sebagai orang Minang dituduh ini dan itu sudah menjadi semacam takdir. Ya, saya menyebutnya “semacam takdir” karena bukan takdir yang digariskan Tuhan. Ini buatan orang soalnya, stereotipe yang terus-menerus diulang dan kelamaan menjadi keyakinan semu dan seakan menjadi kebenaran–yang akhirnya membuat orang tersebut jadi menutup kemungkinan lain.

 

“Eh, Yo, kenapa orang Padang pelit, ya?

 

Lagi-lagi saya ngelus dada. Apakah karena umumnya orang Minang itu pedagang lalu kamu menyebut semua orang Minang itu pelit? Apa korelasinya? Itu baru level lingkungan terdekat, lho. Dalam konteks yang lebih besar misalnya, orang Minang kerap mendapat pertanyaan yang mengarah tuduhan serius.

 

Tiga tahun lalu, Ibu Megawati–yang mungkin sedang mendesain dirinya untuk menjadi meme–tak ada angin tak ada hujan menyebut Sumatera Barat yang ia kenal sudah berbeda. 

 

"Dulu saya tahunya tokoh dari Sumatera Barat, kenapa menurut saya (sekarang) tidak sepopuler dulu atau memang tidak ada produknya?” ujar Megawati

 

Pernyataan Megawati yang tokoh nasional ini seakan melanjutkan kebingungan ia dan keluarganya terhadap orang Minang. Sebelum Megawati, Puan Maharani juga menyinggung soal Pancasila dan Sumatera Barat saat mengumumkan calon kepala daerah dari PDIP untuk Pilkada 2020.  

 

Dalam kesempatan tersebut, Ketua DPR ini awalnya mengumumkan pasangan calon yang direkomendasikan PDIP maju di Pilkada 2020 Sumatera Barat. Mereka ialah politikus Demokrat Mulyadi dan Bupati Padang Pariaman, Ali Mukhni.

 

"Semoga Sumatera Barat menjadi provinsi yang memang mendukung negara Pancasila," kata Puan setelah mengumumkan rekomendasi itu. 

 

Lha, apaan?

 

Kalimat ini memicu polemik. SOalnya, pernyataan tak penting itu bikin seolah-olah Sumatera Barat dituduh menempuh jalur lain dengan pemerintah pusat. Puan lantas dilaporkan Persatuan Pemuda Mahasiswa Minang ke polisi karena dinilai menghina masyarakat Sumatera Barat. 

 

Dari Puan kita memahami bahwa Pancasila di tangan politisi memang dibikin rumit. Masa hanya karena PDIP bukan partai besar di Sumatera Barat, lalu dengan seenak udel menyebut jika orang Sumatera Barat tidak pancasilais. Heh emang negara punya bapak moyang lo? 

 

Puan: Kakek gue proklamator, broooo

Maka jangan heran, tuduhan sekecil apa pun bagi orang Minang tetap saja melahirkan trauma. Ini bukan perkara gampang baper atau terlampau melebih-lebihkan masalah tetapi masalah yang, saya kira, struktural.

 

Sejarah mencatat, peristiwa PRRI tahun 1958-1961 menyisakan trauma kemanusian  yang mendalam bagi masyarakat Sumatera Barat/Minangkabau.

 

Tak hanya korban jiwa yang jumlahnya tak terhitung, tapi dampak psikolgis yang dirasakan oleh Minang. PRRI dicap sebagai gerakan pemberontakan dan dianggap sebagai pembawa nasib buruk bagi rakyat Sumatera  Barat. Kekalahan PRRI berarti penderitaan dan penghinaan yang tak alang kepalang besarnya. 

 

Di  awal tahun 1960-an, setelah kekalahan PRRI, kehidupan masyarakat Minangkabau  menjadi centang-perenang dan pranata sosial tak lagi berjalan sebagaimana mestinya. 

 

Mestika Zed, sejarawan dan guru besar sejarah di Universitas Negeri Padang menyebut jika harga diri orang Minangkabau diinjak-injak dengan cara yang tak dapat mereka terima. Keadaan ini bahkan berlangsung panjang hingga 40 tahun kemudian tatkala reformasi digerakkan oleh orang-orang muda. 

 

“Bagi mereka yang tidak tahan dihina dan menderita di kampung halaman, meninggalkan kampung halaman. Maka sejak itu terjadilah eksodus besar-besaran keluar daerah. Dampak psikologis berupa stigma 'pemberontak' untuk orang Sumatera Barat masih tetap berlangsung, walaupun telah terjadi pergantian rejim dari Orde Lama ke Orde Baru Soeharto,” terang Mestika Zed.

 

Jejak yang paling terang atas traumatik dicap ‘pemberontak’ itu bisa dilihat dari nama-nama orang Minang sekarang. Dahulu sebelum PRRI, orang Minang memberi nama anak mereka dengan nama yang berbau Arab seperti Rizal, Syafrizal, Samsurizal atau Aminah. Setelah PRRI, orang Minang cenderung memilih nama ‘aman’ seperti Faldo Maldini, Fadli Zon, atau Rio Jo Werry.

 

Sudah dituduh pelit, pemberontak, tak pancasilais, tak sanggup melahirkan tokoh nasional juga kena tuduhan mencampur daun ganja di bumbu masakan. Besok apa lagi, nih, tuduhan yang bakal dialamatkan buat orang Minang?