Nasib Anak: Dibenci tapi Dibutuhkan

Nasib Anak: Dibenci tapi Dibutuhkan Childfree

  • Penurunan angka kelahiran

  • Sentimen terhadap anak-anak

  • Kebijakan childfree

  • Penyebab angka kelahiran menurun

  • Negara dengan kebijakan childfree

  • Dampak sentimen negatif terhadap anak-anak

  • Area bebas anak di Korea Selatan

  • Alasan masyarakat memilih childfree

Ada dua fenomena menarik tapi bertolak belakang yang sedang terjadi sekarang: pemerintah-pemerintah dunia panik soal angka kelahiran yang terus menurun, sementara warganya malah semakin sentimen terhadap orang-orang yang memilih untuk punya anak. Lebih apesnya lagi, mayoritas orang yang memegang sentimen ini adalah warga kelas menengah—orang-orang yang idealnya mendongkrak angka kelahiran. 

Saya selalu berpikir kalau fenomena kelas menengah childfree gaung besarnya hanya ada di media sosial saja. Ucapan-ucapan yang sering saya temui di belantara internet pun tidak jauh-jauh dari alasan moral, ekonomi, dan sosial kenapa tidak mau memiliki anak, marah-marah karena tantrum anak kecil membuat pengalaman di publik tidak menyenangkan, sampai yang paling jahat mengutuk orang-orang miskin beranak.

Dunia maya memang membuat orang cenderung lebay dan keras dalam mengutarakan opini mereka. Makanya saya cukup kaget ketika sentimen childfree benar-benar muncul di dunia nyata. Contoh globalnya adalah maskapai yang mulai memperkenalkan penerbangan tanpa anak, terutama di penerbangan jarak jauh. Malaysia Airlines menerapkan larangan orangtua untuk membawa anak mereka ke penerbangan first class di pesawat Boeing 747-700 dan Airbus A380 di tahun 2011. CEO Malaysia Airlines, Tengku Azmil, menyatakan aturan ini diberlakukan karena banyak penumpang first class yang mengeluhkan rengekan bayi dan anak kecil. Larangan ini kembali muncul di tahun 2023. Corendon Airlines mengumumkan akan membuat area pesawat khusus untuk orang-orang di atas 16 tahun untuk rute Amsterdam dan Curaçao.

Namun contoh-contoh di atas tidak ada apa-apanya dengan negara ini. Korea Selatan, negara yang memiliki angka kelahiran paling rendah tapi juga paling agresif terhadap anak-anak. Ketidaksukaan mereka sampai termanifestasi menjadi aturan konyol: melarang anak-anak dibawah umur 16 tahun untuk masuk ke tempat publik seperti restoran, cafe, dan bioskop. Jeju Research Institute menyatakan ada 549 tempat publik yang melarang anak masuk, sementara peta yang dibuat oleh user di Google Maps menunjukkan ada 459 titik. Ironisnya, daerah yang paling banyak memiliki area melarang anak ada di Jeju, tempat pariwisata paling ramai di Korea. 

[Infografis menurut Jeju Social Welfare Research Center, ada 78 tempat di Jeju yang melarang anak-anak masuk. Sumber: www.koreatimes.co.kr.]

Keberadaan Anak, Mengganggu?

Aturan ini tidak akan ada kalau tidak ada konsumen yang meminta dan pemilik bisnis yang jengah. Survei yang dilakukan oleh Hankook Research (2021) menunjukkan 71% responden setuju dengan adanya area bebas anak dan 17% tidak setuju dengan hal ini. Lebih mengejutkannya lagi, 70% responden yang memiliki anak usia sekolah dasar atau lebih muda mengatakan mereka bisa menerima adanya area bebas anak. 

[grafis survei:
Survei Hankook Research Soal 

Total responden: 1.000 orang. Profil responden: laki-laki dan perempuan berusia di atas 18 tahun dari seluruh Korea Selatan.
Apakah Anda setuju dengan adanya area bebas anak? 
Setuju 71%
Tidak setuju 17%
74% setuju area bebas anak membuat atmosfer tempat menjadi lebih baik
68% setuju kecelakaan yang diakibatkan oleh anak-anak bisa dihindari dengan menetapkan area bebas anak
71% setuju pemilik usaha bisa menetapkan tokonya sebagai area bebas anak

Bandingkan dengan….
 
29% setuju area bebas anak merupakan bentuk diskriminasi terhadap anak 
Lebih spesifiknya lagi, 17% setuju area bebas anak merupakan bentuk diskriminasi terhadap anak dan konsumen yang membawa anak sehingga tidak bisa ditoleransi karena memiliki efek negatif ke angka kelahiran dan orangtua

Sumber: Hankok Research]

Survei yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Korea Selatan di Desember 2023 menunjukkan hal yang kurang lebih sama. Sebanyak 68% pemilik cafe dan restoran keukeuh memberlakukan area bebas anak karena “beban tanggung jawabnya terlalu berat”. Alasan lebih spesifiknya, yaitu makanan yang tidak cocok dengan lidah anak kecil, tempat kecil, atau kekhawatiran bahwa anak-anak akan mengganggu pelanggan lain. 

Apa Penyebabnya?

Ketidaksukaan ini berawal pada 2012, ketika seorang anak terkena kuah panas yang dibawa oleh pelayan restoran. Kejadian ini awalnya menarik simpati netizen. Tapi rasa kasihan netizen menghilang karena sang ibu terus-terusan membuat post yang menyerang restoran. Dari sini lahirlah diskursus tentang tanggung jawab orangtua yang membawa anak mereka ke area publik dan tempat bisnis. Kemunculan diskursus ini pula yang membuat kafe dan restoran mulai memberlakukan aturan area bebas anak.

Banyaknya usaha yang memberlakukan area ini membuat Komnas HAM Korea Selatan di Desember 2017 menekankan bahwa hak anak seharusnya ada di atas kebebasan pemilik usaha dalam menjalankan usahanya. Komnas HAM mengutip pasal 11 dari UUD yang melarang diskriminasi berdasarkan gender, agama, atau status sosial dan konvensi PBB yang menetapkan pelarangan perlakuan tidak adil terhadap anak. 

Kemungkinan pernyataan ini merupakan respons terhadap keluhan orangtua yang kesulitan menemukan tempat makan di Jeju. Berita tentang ini dilaporkan oleh Jeju Weekly pada September 2017. Namun, laporan CNN menyatakan pernyataan tersebut muncul karena sebuah petisi mengkritik cafe dan restoran yang melarang anak masuk di Jeju. Petisi ini dibuat setelah seorang ayah yang membawa anak berusia 3 tahun diusir dari restoran Italia di Jeju. Sayangnya, pernyataan Komnas HAM tadi tidak mengikat secara hukum. Restoran, cafe, dan toko yang melarang anak masuk terus tumbuh, terutama di Jeju. Per laporan Korea Times, ada 78 usaha yang melarang anak untuk masuk. 

Kondisi yang terus memburuk membuat pemerintah Jeju berencana memberlakukan undang-undang yang melarang pemilik usaha untuk mendiskriminasi orangtua dan anak-anak. Berita terakhir yang bisa saya temukan menyebut aturan ini rencananya akan ditinjau oleh Dewan Provinsi Pemerintahan Mandiri Khusus Jeju pada 19 Mei 2024. 

Undang-undang ini mengatur beberapa aspek, antara lain: 

 Pemerintah diwajibkan untuk melarang segala bentuk diskriminasi dan pelanggaran HAM serta menciptakan lingkungan sosial yang sehat untuk perkembangan anak-anak. 
Menasihati pemilik usaha untuk tidak memberlakukan usaha mereka sebagai area bebas anak dan memperbaiki persepsi mereka akan anak-anak.
Mewajibkan pemerintah untuk memberikan dukungan institusional untuk kerusakan dan permasalahan yang diakibatkan oleh anak-anak, serta memberikan edukasi ke orangtua dan anak soal pentingnya pelajaran soal bersikap di ruang publik.

Salah satu politikus yang mendorong undang-undang ini, Song Chang Kwon, mengatakan aturan ini penting mengingat Jeju merupakan destinasi wisata terpopuler Korea Selatan. Apabila alasan Song lebih ke menarik lebih banyak turis keluarga, alasan Yong Hye In lebih pragmatis: ia ingin masyarakat Korea Selatan ‘terlahir kembali’ agar lebih melibatkan anak ke kehidupan sehari-hari. 

Ia mengucapkan hal ini depan para jurnalis di Majelis Nasional, Seoul, Korea Selatan sambil menggendong anaknya yang berusia dua tahun. Yong, anggota parlemen termuda sekaligus pendiri-pemimpin Partai Pendapatan Dasar, mengecam sikap masyarakat Korea Selatan yang semakin agresif terhadap anak. Ia tak hanya mengkritisi pemilik bisnis yang tidak memperbolehkan anak masuk, tapi juga institusi negara seperti Perpustakaan Nasional Korea dan DPR Korea. Perpustakaan Nasional Korea mewajibkan pengunjung dibawah 16 tahun untuk mendaftar via jalur khusus dan hanya staf serta anggota dewan yang boleh masuk ke gedung DPR Korea, mempersulit anggota dewan yang memiliki anak kecil.

Yong pula yang menggagas peraturan untuk memperbolehkan ibu pekerja untuk membawa anaknya yang berusia dibawah 2 tahun ke tempat kerja. Aturan ini, menurut Yong, akan mempermudah hidup orangtua. Namun ia pesimis dewan legislatif akan mempertimbangkan aturan ini karena dianggap ‘tidak urgen’.

Sayang, pernyataan Yong mendapat penolakan yang cukup besar di internet. Netizen menganggap Yong tidak paham akan maksud dari peraturan area bebas anak. Menurut mereka peraturan ini ada karena ada banyak orangtua tidak bertanggungjawab di area publik. 

Namun komentar-komentar netizen ini tidak mempertimbangkan fakta bahwa aturan ini muncul karena pengalaman pribadi Yong. Sebagai ibu baru, Yong mengalami depresi postpbartum. Untuk mengurangi perasaan depresinya, ia pergi keluar untuk mengunjungi cafe dan restoran yang biasa ia sambangi sebelum melahirkan. Alih-alih dilayani, ia dan anaknya yang masih bayi diusir oleh pekerja cafe.

Yong hanya satu dari sekian ribu ibu yang mengalami diskriminasi di ruang publik. Mereka tak hanya diusir dari ruang publik, tapi juga diejek dengan julukan momchoong alias ibu serangga. Ejekan ini merujuk ke para ibu yang dianggap terlalu sibuk atau protektif dengan anak mereka. Tapi mengingat pekerjaan yang bisa dilakukan perempuan Korea Selatan setelah melahirkan adalah menjadi ibu, apakah kita bisa menyalahkan mereka?

Menolak Untuk Beranak

Melihat perlakuan negatif dari pemerintah dan masyarakat, maka tak heran banyak perempuan Korea Selatan yang urung atau bahkan benar-benar ogah untuk memiliki anak. Bahkan ada yang menolak untuk menikah. Survei yang dilakukan oleh PMI Research and Consulting Korea menunjukkan 67,1% perempuan yang sudah menikah menolak untuk punya anak. Sementara 68,6% perempuan yang masih lajang tidak mau menikah.

Keengganan—kalau tidak mau disebut sebagai ketakutan—perempuan Korea Selatan untuk menikah dan berkeluarga terlanjur sudah mendarah daging. Bagi yang belum menikah, pernikahan dianggap sebagai beban karena perempuan seringkali harus memikul pekerjaan rumah tangga sendirian. Sementara perempuan yang sudah menikah takut keputusan memiliki anak akan mendisrupsi karir yang sudah mereka bangun.

Ketika ditanya alasan kenapa mereka menolak untuk memiliki anak, perempuan-perempuan ini menyebut faktor-faktor ekonomi seperti kesulitan mendapatkan pekerjaan yang stabil, harga sewa/beli rumah yang semakin mahal, serta jam kerja yang kelewat panjang. 

Untuk menanggulangi hal ini, pemerintah Korea Selatan menggelontorkan $200 miliar untuk menaikkan tingkat kelahiran. Sejak tahun 2022, pemerintah memberikan ‘baby bonus’ sebesar 2 juta won (setara Rp23.5 juta) untuk ibu yang baru melahirkan. Setelahnya, pemerintah memberi subsidi uang tunai sebesar 700 ribu won (Rp8,2 juta) per bulan sampai anak berusia satu tahun lalu jumlahnya berubah menjadi 350 ribu won (Rp4,1 juta) sampai anak berusia dua tahun. Rencananya, subsidi ini akan dinaikkan menjadi 1 juta won (Rp11,7 juta) sampai anak usia 1 tahun dan 500 ribu won (Rp5,8 juta) sampai anak usia 2 tahun pada 2024. 

Beberapa pemerintahan lokal seperti bahkan rela membayar lebih untuk pasangan yang punya anak lebih dari satu. Salah satunya adalah pemerintah Busan, yang akan memberikan 10 juta won (Rp117,5 juta) untuk anak ketiga dan seterusnya. 

Namun subsidi ini tidak kunjung membantu menaikkan angka kelahiran Korea Selatan. Subsidi pemerintah memang royal, tapi jangka waktunya terhitung pendek. Setelah subsidinya selesai, orangtua harus memikul biaya anak yang akan semakin mahal seiring dengan bertambahnya usia anak.

Namun apalah artinya bantuan pemerintah, kalau masyarakat sekitarnya saja menganggap anak sebagai gangguan di kehidupan sehari-hari? Yang menganggap ibu sebagai serangga dan tidak pantas eksis di ruang publik bersama anaknya?