Nasib Anak Muda: Susah Dapet Kerja, Gaji Kecil, dan Kena Omelan Boomer
Berapakah penghasilan yang dibutuhkan seorang pekerja muda, gen Milenial dan gen Z di Indonesia untuk bisa mendapatkan rumah? Apakah peningkatan pendapatan yang bisa diukur dengan jengkalan tangan sebanding dengan harga rumah yang melesat tinggi dari waktu ke waktu?
Tiap pertanyaan selalu diikuti oleh jawaban atau setidaknya upaya untuk menjawabnya. Namun, ketika kita menghadapi masalah yang melibatkan banyak orang, seperti mencapai kehidupan yang layak, jawaban terhadap dilema yang meresahkan generasi muda kerap kali dilemparkan kepada individu-individu atau bahkan dituduhkan kepada satu kelompok tertentu atas perilakunya, alih-alih mengkritisi struktur yang mendukungnya.
Hal itulah yang dilontarkan oleh salah satu akun dalam twitnya mengenai “kebiasaan gen Z yang seringkali menyalahkan Boomer perihal ketakmampuan mereka mendapatkan rumah dan menyisihkan sebagian besar pendapatan yang mereka dapatkan.” Kebiasaan generasi Z yang kerap menyalahkan generasi Boomer atas kesulitan mereka dalam memiliki rumah, menyatakan bahwa akar masalah tersebut terletak pada kecenderungan generasi Z yang cenderung mengikuti tren konser dan membeli gadget secara impulsif. Menurut twit itu, konsekuensinya adalah sulitnya generasi Z untuk memiliki rumah karena prioritas yang tidak tepat.
Dari twit itu juga bermunculan komentar yang membantah mulai dari harga properti sekarang gak masuk di akal, jika dibandingkan dengan generasi Boomer, apalagi gaji yang didapat segitu-gitu aja. Memang betul ada peningkatan upah, misalnya di masa pemerintahan Jokowi, tertinggi itu di 2015 yakni sebesar 13%. Sementara untuk tahun 2024, Serikat Pekerja memberi usul kenaikan upah sebesar 15 persen. Ini semua tidak ada artinya sama sekali dengan harga rumah yang melambung tinggi.
Ambil contoh, misalnya harga rumah di Bandung mulai dari 300 juta, ini pun dapatnya di daerah yang jauh dari kotanya seperti Rancaekek, Cileunyi, sementara UMK kota Bandung adalah sebesar 4,048 juta. Atau di daerah Indramayu, harga rumah mulai dari 150 juta tapi upah bulanan pekerja yang didapat 2.373 juta per bulan.
Bayangkan sejenak, berapa bulan yang diperlukan untuk mengumpulkan dana sebesar 300 juta atau 150 juta hanya dari upah pekerja di Bandung dan Indramayu. Perlu diingat, perhitungan ini belum memperhitungkan dampak inflasi. Memang mungkin tercapai, tapi dengan catatan Anda harus menahan kebutuhan makan, minum, dan bahkan pernapasan selama berusaha mengumpulkan dana untuk rumah.
Tapi apa yang bisa kamu harapkan dari persekongkolan jahat antara orang tua dan mereka yang berkuasa untuk merumuskan masa depan generasi selanjutnya? Ya, itulah common sense yang sesuai semangat zamannya, paham orang tua yang bukan hanya tidak relevan, terlebih mereka menyulitkan dan mewariskan banyak kesakitan.
Mau Punya Rumah, Tapi Dapet Kerja Aja Susah
Tahun ini saya baru genap bekerja lima tahun, setelah lulus dari universitas swasta di Bandung. Dari pengalaman yang baru sebentar itu, saya pernah merasakan kerja full-time di sebuah penerbitan sejarah di Depok dua tahun. Kemudian pindah ke Bandung sebagai agensi advertiser, pekerja di perusahaan fnb dan fashion, serta start-up kesehatan & kebugaran. Dari situ kebanyakan merupakan pekerja kontrak, hanya di perusahaan fnb sebagai pekerja tetap.
Status pekerja tetap tak membuat saya terbebas dari kecemasan masa depan dan ujungnya merasakan PHK yang dialami awal tahun 2023, tepat setelah saya keluar dari rumah sakit.
Dalam tahun-tahun suram yang terus berlanjut itu, kehadiran pemerintah dengan segala aturan minimum pengupahan bagi para pengusaha, hanya eksis di kepala mereka dan buruh atau pekerja selalu ketiban sial. Pada kenyataannya, ketika saya kerja di Bandung dan biasanya memegang 2 brand, pernah mendapatkan upah di bawah UMP yang berlaku, mulai dari 2.5 juta, 3 juta, 4.5 juta, hingga 6.5 juta rupiah per bulan. Khusus yang terakhir ini saya dapatkan selama kurang lebih 6 bulan sebelum akhirnya dipecat.
Apabila saya yang pernah sekolah hingga S1, ketika bekerja bisa mendapatkan gaji beberapa ratus ribu di atas UMP atau kalo lagi beruntung bisa mendapat jauh di atas UMP, meski hanya sementara. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan mereka yang tak beruntung dari segi pendidikan, jadi sandwich generation, dan telah berkeluarga? Bisa dipastikan beban yang harus diemban lebih berat, belum lagi jika mereka hanya memiliki ijazah SMP-SMA-SMK harus bersaing di pasar tenaga kerja yang didominasi "syarat melamar kerja S1", silakan bebannya bisa anda tambahkan berkali-kali lipat dalam satuan berat.
Jangankan membayangkan punya rumah di tengah kota, untuk menyambung hidup dari satu hari ke hari yang lain udah syukur dan mendapatkan pekerjaan adalah keberuntungan lainnya. Salah satu artikel Project Multatuli mengingatkan bahwa pemerintah selalu membayangkan anak muda Indonesia dengan kriteria: lulusan universitas, kondisi finansial mumpuni, punya modal buat mendirikan start-up.
Darimana idealisasi ini datang? Annisa R. Beta melihat standar yang digunakan pemerintah untuk gambaran ideal anak muda melepaskan pada persoalan di lapangan seperti kesenjangan, fokus pada pencapaian dan cenderung mendewakan kerja keras ala neoliberal.
Artikel lain dari Tirto membawa kabar buruk lainnya mengenai tenaga kerja yang tidak terserap oleh pasar kerja. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) bulan Agustus 2023 dan Februari 2023, ada lonjakan dalam Tingkat Pengangguran Terbuka di penduduk usia 15-24 tahun yang termasuk pada kategori Gen Z. Lebih lanjut dalam artikel itu menunjukkan bahwa mayoritas pengangguran di Indonesia didominasi oleh Gen Z dan pada tahun 2023, kelompok Gen Z menyumbang 19,40 persen dari total pengangguran yang berjumlah 7,86 juta orang. Khususnya di perkotaan, tingkat pengangguran lebih besar dari perdesaan, yakni 6,4 persen.
Kabar tak mengenakkan lainnya, hasil riset dari SMERU Institute pada 2019, yang dikutip oleh Project Multatuli, secara terang menunjukkan bahwa anak yang lahir dari keluarga miskin cenderung tetap menjadi miskin ketika mereka dewasa: pendapatan anak-anak miskin setelah dewasa 87% lebih rendah dibanding mereka yang tidak besar dari keluarga miskin. Mantra ‘kerja keras supaya cepat kaya’ ala motivator atau influencer adalah celotehan orang sok tahu yang diambil dari halaman kesekian yang selalu dirapal setiap pagi.
Dalam kondisi yang kurang lebih tak baik melulu, mereka yang telah menempuh S1 pun tetap dalam kondisi kerja yang serba cemas tak jelas. Guy Standing dalam bukunya The Precariat: the New Dangerous Class, mengatakan fenomena ini sebagai prekariat: “pekerja yang tidak menentu”. Dan yang ia soroti dari kondisi prekarisasi (perentanan) adalah sistem kontrak dan sistem alih-daya.
Referensi lainnya ketika kita berbicara mengenai prekariat berasal dari pemikiran Judith Butler, filsuf yang selalu lantang bersuara dan berada di pihak korban itu. Baginya, kerentanan tercipta karena kekuasaan istimewa negara yang mampu menunda seluruh hukum dan norma atas dasar kegentingan. Artikel The Conversation menggambarkan secara dekat dengan kita bahasan dari Butler ini, yakni adanya nuansa eksistensial dan cenderung "menubuh" pada tiap subjek individu.
Permata Adinda dalam tulisannya menyatakan bukan hanya kondisi di atas yang membuat kondisi anak muda lebih sulit. Dalam tulisannya itu setuju dengan Mohammad Faisal, ekonom sekaligus Direktur Eksekutif CORE (Center of Reform on Economics) yang melihat bahwa isu penting yang harus dipikirkan bagi kalangan anak muda adalah berkurangnya kesempatan kerja di sektor formal. Dengan kata lain, stigmatisasi mengenai anak muda, Gen Z yang serba teknologis, cerdas, dan hidup dengan tenang, tak lebih dari hasrat pemerintah atas ciptaannya sendiri dari masalah yang dibuatnya. Dan itu cara paling mudah dengan menemukan dan merumuskan jawaban yang dibuat terlebih dahulu dari isi kepala.
Dalam artikel lain, yang bagus betul, Permata Adinda menunjukkan bahwa Indonesia berada pada fase “premature deindustrialization”, sejak magang mereka telah dituntut untuk mencari tempat yang lebih susah dan bersaing dengan orang lain, mewajarkan kerja panjang tak dibayar meski hanya magang, bonus demografi tak ayalnya jargon untuk "bebas eksploitasi anak muda" dan dituntut untuk selalu meningkatkan kemampuan agar bisa bersaing di pasar tenaga kerja. Kesemua fenomena ini bisa tercipta secara mulus karena adanya UU Cipta Kerja yang sah di awal tahun 2020.
Bisakah Anak Muda Memiliki Rumah?
Jika kita melihat beberapa ucapan dari pemerintah dan atau ya orang tua yang berkuasa, maka jawabannya secara tegas ialah “tidak!”. Kita bisa melihat ini secara tidak langsung dari mulai pernyataan Erick Thohir bahwa 81 juta anak muda belum punya rumah, maka solusinya harusnya berhenti memenuhi gaya hidup yang konsumtif, dan pernyataan Prabowo yang minta buruh tak tuntut naik upah dan tak mencekik pengusaha.
Mungkin kamu akan setuju, gimana anak muda mau memenuhi gaya hidup kalo emang gajinya aja hanya cukup buat makan, sesekali minum kopi susu dan jajan yang manis-manis (dengan syarat jatah makan hanya sekali, misalnya), hingga tanggal gajian datang. Menurut databoks yang mengutip Badan Pusat Statistik (BPS), pada Agustus 2022, ada sekitar 23,49 juta orang yang gajinya di bawah UMP. Artinya masih banyak orang yang menerima upah tak layak hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Mari kita asumsikan bahwa pemerintah tidak membereskan sumber masalah anak muda yang tak memiliki rumah dan gaji yang kecil, kira-kira kondisi seperti itu akan terus ada hingga tahun berapa?
Mari ambil contoh, misalnya, anak-anak muda Jakarta terancam tak punya rumah hingga 2045. Fenomena tak memiliki rumah ini disebut housing backlog. Salah satu artikel Ann Putri menyebutkan bahwa kondisi ini akan meningkat 3,5x lipat hingga 2045, jika pemerintah tak melakukan intervensi dan mengakui selama ini telah mengabaikan persoalan serius. Lebih lanjut dalam artikel itu menyebut bahwa harga rumah Jakarta dan kota-kota sekitarnya terus naik dan kenaikan harga rumah selama 10 tahun terakhir dari 2010-2020 adalah 75,3%.
Kondisi seperti ini bisa juga kita baca bahwa anak muda bisa memiliki rumah dengan tiga pilihan: mengontrak seumur hidup, menunggu warisan atau paling ekstrim tinggal di jalanan dari satu tempat ke tempat lain.
Dari banyaknya kemampuan serta sumberdaya yang dimiliki pemerintah, saya heran mereka hanya menekankan gaya hidup alih-alih memberikan upah yang layak, intervensi pemerintah untuk mengendalikan harga rumah, dan membuat hunian dalam kota yang terjangkau kelas pekerja.