Nasib Museum Layang-Layang

Nasib Museum Layang-Layang: Tempat dimana Kamu Belajar Kalau Layang-Layang Bukan Sekadar Kertas Segi Empat

Saat malam hari diterpa insomnia, saya mencoba iseng-iseng scrolling video di YouTube. Sebuah video menarik perhatian saya karena memperlihatkan pegasus diterbangkan ke langit. Reaksi saya pertama saya adalah “hah, ini apaan?”. Setelah saya tonton, ternyata “pegasus” tadi adalah layang-layang. 

Saya baru tahu layang-layang punya bentuk yang variatif. Penasaran, saya akhirnya melakukan kunjungan ke Museum Layang-Layang dan ngobrol dengan staf pengelolanya.

Sejarah Museum Layang-Layang

Cerita museum ini berawal dari Endang Ernawati. Siapa yang menyangka sang pakar kecantikan rupanya tak hanya tertarik dengan kosmetika belaka. Ada kecintaan lainnya bagi Endang, yakni layang-layang. Beliau berpetualang dari satu festival layang-layang ke festival lainnya. Sekitar tahun 1970-an adalah kali pertama Endang membeli layang-layang, seketika ia langsung jatuh cinta. Ia pun gemar memborong layang-layang pada festival-festival berikutnya. 18 tahun kemudian, Endang mendirikan Merindo Kites & Galeri untuk merangkul para pecinta layang-layang.

Endang yang saat itu tinggal di kediaman pribadinya di Jl. H Kamang, Pondok Labu, Jakarta Selatan, melihat sebuah tanah kosong di dekat rumahnya. Tanah luas nan kosong yang tersuguh jelas di depan matanya, bercampur dengan keprihatinannya terhadap minimnya pengetahuan masyarakat Indonesia akan layang-layang membuat Endang membeli tanah itu. Lantas ia jadikan tempat itu sebagai koleksi layang-layangnya. 

Tepat pada 21 Maret 2003, Endang pun meresmikan tempat itu menjadi Museum Layang-Layang yang kini memiliki lebih dari 600 koleksi layang-layang. “Tujuan utamanya supaya masyarakat tahu bahwa layang-layang bentuknya tak hanya segi empat,” ujar Lina, salah satu staf pengurus dan bagian keuangan Museum Layang-Layang. Sasaran utama pendirian museum ini adalah anak-anak. Kala museum berdiri, begitu banyak kunjungan field trip dari sekolah-sekolah untuk memperkenalkan anak-anak cara membuat layang-layang.

Museum itu mengalami perkembangan. Di tahun 2004, Endang pernah mendapat penghargaan pariwisata dari I Gede Ardika, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata saat itu. 13 tahun kemudian, Museum Layang-Layang kembali mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) untuk pemecahan rekor pemrakarsa dan penyelenggara pembuatan layang-layang berbentuk diamond terbesar. Prestasi museum ini terus berlanjut. Pada 2018, Museum Layang-Layang ikut nyemplung dalam menyambut kedatangan Presiden India.

Sampai detik ini, Museum Layang-Layang masih berdiri kokoh. Koleksinya masih apik terpampang di dinding-dinding kayunya. Namun kini, eksistensinya mulai anjlok dan pengunjungnya begitu menurun.

Hah, Ada, ya, Museum Layang-Layang?

“Orang-orang itu, kan, tahunya layang-layang cuma mainan, ya. Mereka pikir bentuknya gitu-gitu aja, hanya sekadar mainan buat anak-anak,” ujar Lina. Oh, ya, memang benar. Selama ini stigma layang-layang dipandang sesimpel itu bukan?

Pertama kali berdiri, antusiasme masyarakat begitu tinggi. Kunjungannya dari tahun ke tahun terus meningkat. Pengunjung itu heran dan penasaran, sekadar layang-layang saja kok sampai ada museumnya? Mereka juga akhirnya baru tahu bahwa layang-layang sampai ada komunitas dan senimannya. Ini yang menyulut animo masyarakat membludak di awal berdirinya Museum Layang-Layang. 

Komunitas layang-layang itu datang dari berbagai daerah, terutama Bali, yang menjadi daerah dengan beragam jenis layang-layangnya. Banyak pula seniman-seniman layang-layang kenalan Endang yang berasal dari Bali. Proses kurasi yang ditampilkan oleh Museum Layang-Layang juga berasal dari Endang sendiri dengan bantuan para seniman-seniman itu.

“Masyarakat itu, kan, sampai terheran-heran setelah tahu banyak soal layang-layang. Ternyata dia nggak sekadar mainan, dia lebih daripada mainan. Bentuknya aja beraneka ragam,” pukas Lani. Memang, apa aja, sih, jenis-jenis layang-layang?

Layangan Itu Bukan Sekadar Mainan

“Lihat ini, layang-layang ini terbuat dari bahan apa?” tanya Lani pada saya. Saya menebak-nebak. Jawaban saya tak ada yang benar. Layang-layang yang saya lihat itu rupanya dari berbagai macam bahan: daun lontar, batang pisang, daun dadap dan sebagainya.

Sejarah layang-layang sendiri lahir di Tiongkok pada kisaran 3000 tahun lalu. Berdasarkan penelitian para arkeolog, di Indonesia, layang-layang pertama ditemukan di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Layang-layang itu terbuat dari daun gadung dan digunakan oleh masyarakat untuk mencari keberadaan Tuhan di langit. Tapi tampaknya, ada anggapan bahwa layang-layang di Pulau Muna jauh lebih tua dari layang-layang Tiongkok, sebab lukisan layang-layang berjenis Kaghati Kolope terlukis pada dinding-dinding gua di Pulau Muna pada periode Mesolitik (sekitar 9500-900 SM).

Di museum ini, terpampang layang-layang dari berbagai bahan, berbagai bentuk, dan berbagai fungsi. Saya dibuat terpukau; ada yang berbentuk naga tiga dimensi yang bisa mengeluarkan uap dari mulutnya, ada layang-layang tiga dimensi dengan kepala wayang di tengahnya sampai berbagai layangan lainnya yang diterbangkannya saja butuh puluhan orang.

Tetapi, yang menarik adalah fakta bahwa layangan punya banyak fungsi. Saya akan berikan beberapa contoh daerahnya.

Bali
Menerbangkan layang-layang sebagai bentuk syukur kepada Dewa-Dewi atas hasil panen. Mereka mempercayai semakin banyak orang yang main layang-layang di atas tanah mereka, semakin subur pula tanah mereka. Dewa-Dewi diharapkan turun ke bumi untuk memberkahi lahan mereka. Makanya, tak heran layang-layang asal Bali begitu rupawan karena tujuannya untuk menarik perhatian para Dewa-Dewi.

Referensi foto-foto layangan Bali https://www.kintamani.id/festival-layang-layang-bali-suasana-seru-penuh-kreativitas-masyarakat-bali/ 

Sulawesi Tenggara
Selain sebagai alat untuk menggapai Tuhan, di kepulauan Muna, layang-layang juga dipakai sebagai atap di makam-makam orang Muna. Layang-layang juga dipercaya akan memberi perlindungan kepada masyarakat Suku Bangsa Muna dari siksa api neraka setelah mereka meninggal.

Referensi foto:
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2015/12/04/kaghati-layang-layang-dari-pulau-muna-tertua-di-dunia 

Lampung
Kalau di Lampung, kira-kira layang-layang dibuat untuk apa, ya? Tebaklah… kira-kira untuk apa? Awalnya saya kira untuk distraksi saja kalau nelayannya sedang burnout tak dapat ikan. Ternyata, ada layang-layang yang dipakai untuk memancing. Fungsi layang-layang ini digunakan untuk menjauhkan perahu dari umpan. Jadi, layang-layang ini dipasangi jerat yang disebut lasso, bukan dengan kail. Ikan yang jadi sasaran adalah ikan Indosiar. Serius… Ikan Indosiar atau yang sering disebut ikan ceracas atau cucut.

Referensi foto ikan: https://1001indonesia.net/memancing-dengan-layang-layang/ikan-ceracas-atau-ikan-cucut/
Referensi ilustrasi memancing pakai layang: https://1001indonesia.net/memancing-dengan-layang-layang/ 


Jepang, Tiongkok, dan Korea
Di daerah Asia Timur, contohnya di Jepang, layang-layang mengambil peran dalam pertahanan militer. Layang-layang dipakai untuk mengintai musuh, mengecoh musuh, dan juga membawa pesan rahasia. Di Tiongkok, fungsinya jauh lebih beragam, tapi salah satu contohnya untuk memamerkan kemahiran tangan mereka. Sementara, di Korea Selatan, saat seorang bayi lahir, layang-layang dibuat dan ditulis nama beserta tanggal kelahirannya, lalu diulurkan ke atas sebagai bentuk permohonan agar mendapat keselamatan hingga tua nanti. 

Jatuh Bangun Melestarikan Layang-Layang
Dengan kancah Museum Layang-Layang, mereka tak kesulitan dalam menampilkan karya seni. Ini berkat relasi mereka dengan PELANGI (Persatuan Pelayang Indonesia). Dengan staf berjumlah 4 orang di lokasi, mereka mengatakan tak kesulitan dalam mengelola dan menjaga “keselamatan” karya seni yang mereka tampilkan. 

Nasib Museum Layang-Layang justru anjlok karena pandemi Covid-19. Museum sepi pengunjung. Ditambah, anak-anak sekolah mulai belajar dari rumah. Jadi, untuk apa ada field trip? Padahal sebelum pandemi, dalam sehari kadang bisa datang 200-an pengunjung perhari karena field trip.

Untuk bertahan, Museum Layang-Layang mengandalkan dana pribadi Endang sebagai sumber utamanya. Sementara, bantuan pemerintah datang sekali tempo saja, tak rutin. “Bantuan dari pemerintah ya memang ada, tapi paling cuma satu tahun sekali atau mungkin lima tahun sekali. Nggak menentu,” ujar Lani. 

Di luar dana pemerintah, dana eksternal mereka cari lewat kerja sama dengan pihak swasta. Terkadang beberapa acara peresmian atau pembukaan (seperti mall contohnya) mengundang Museum Layang-Layang untuk menampilkan penerbangan dan pembuatan layang-layang.

Tapi, kerja sama semacam itu juga tak melulu mulus. Bak berjalan di tol tapi penuh kerikil, ada saja hal-hal yang membuat kerja sama jadi terguncang. “Kemarin kita dapat bekerjasama dengan Taman Mini, tapi kendalanya karena lokasi mereka, kan, dekat sama bandara. Jadi susah nerbangin layang-layang,” ungkap Lani. Sejauh ini, kerja sama semacam itu didapat melalui media sosial.

Museum Layang-Layang sendiri saat ini berharap untuk bisa dapat banyak kunjungan, terutama dari anak-anak sekolah lewat program field trip. Dalam akhir obrolan kami, Lani mengungkapkan “Lihat mereka akhirnya paham layang-layang itu tak cuma segi empat, lihat mereka bawa pulang layang-layang yang mereka buat di sini itu rasanya nyenengin sekali.”