Nasib Pohon Selama Pemilu

Nasib Pohon Selama Pemilu: Ia Dipaku dan Ditempel Wajah-Wajah Kaku
Kau sudah pernah melihat film Asylum Blackout (2011) atau minimal SAW series? Dimana adegan berdarah-darah ditampilkan: tubuh terpotong, terpelanting, dan dipaku begitu menyeramkannya. Di sekitar kita, belakangan ini, juga terjadi kekejian yang begitu nyata. Hal ini terjadi pada pohon-pohon di sekitar kita.
Selama pemilu, pohon-pohon perindang kota itu dipaku di depan mata kita. Setelahnya ia ditempeli spanduk bergambar wajah caleg yang kaku. Itu adalah adegan gore di kehidupan nyata dari segala gore yang pernah nongol di film-film.
Setelah pemilu usai, bagaimana nasib mereka? Ayo kita ajak ngobrol para pohon tersebut. Pohon-pohon yang harusnya berdiri digdaya memberikan kesejukan bagi warga kota. Bukan malah sebaliknya, ia disiksa dan dipertontonkan kepada kita adegan-adegan yang tak pantas dilakukan oleh para calon wakil rakyat mbelgedes itu.
Ngobrol Bareng Pohon Perindang Kota: “Kami Menetralisir Bau Sampah”
Aku datang ke pohon-pohon di sekitar Ring Road Selatan. Mereka tetap berdiri dengan gagah walau pastinya nyeri juga tubuhnya lantaran seperti dipasung dan dikekang. Selain itu, selama masa pemilu lalu, ada wajah caleg muda yang tersenyum sembari mengepalkan tangannya di tubuh si pohon.
Saat aku datangi, Mbah Gayam (76) namanya, mengatakan bahwa ia berupaya sekuat mungkin bertahan dari panas dan hujan hanya untuk melindungi masyarakat Jogja yang melintasi Ring Road Selatan. “Ikhlas, mas. Aku ikhlas,” begitu yang ia katakan.
Ia dan kawan-kawannya juga mempercepat proses fotosintesis hanya untuk memberi udara segar untuk masyarakat Jogja yang tiap hari mencium bau sampah.
“Kami, KOPELI Jogja (Komunitas Pohon Pelindung Jogja, red) berupaya memeras kemampuan untuk memberikan udara segar. Lihat saja sampah di mana-mana, tho. Bau menguar menjijikan,” katanya.
Aku hanya diam merasakan getir yang dialami Mbah Gayam. Coba pikirkan saja, setelah tubuhnya dipaku, di sekitaran Mbah Gayam sampah tumpang tindih. Ada yang terbungkus plastik, ada yang berserakan begitu saja.
“Saya tak digaji, mas. Saya ikhlas. Barangkali usia saya hanya menunggu sampai angin kencang datang dan membuat saya rubuh tak berdaya. Atau Petugas DLH turun tangan dan memutilasi batang saya satu per satu. Namun di sisa usia, saya tetap ingin berguna,” Mbah Gayam kini meregangkan dedaunan yang menempel di tubuhnya.
“Tapi,” lanjutnya. “Saya belakangan merasakan sakit. Walau kecil, namun tetap saja sakit,” ia memegangi tubuhnya. Di mana sebelum diangkut Satpol PP di masa tenang pemilu, di situ dulunya ada wajah si caleg muda.
“Saya Dipaku, Saya Ditempeli Wajah-Wajah Mereka yang Wagu”
Mbah Gayam hanya meringis ketika aku tanya apakah sakit tubuhnya dipaku dan ditempeli poster jelek macam itu. Mbah Gayam terus bergoyang-goyang mengikuti angin pembawa awan hujan yang belakangan seperti tak sudi mampir ke Jogja. “Sakit, mas,” katanya begitu melankolis.
Ia, si caleg muda, harusnya memiliki kepekaan lebih terhadap alam dan lingkungan. Hal yang tak dipunyai para caleg bangkotan yang sudah mencalonkan jadi wakil rakyat selama ribuan kali namun kehadirannya di tampuk kuasa tak berimbas apa pun terhadap kondisi Jogja.
Keseriusan si caleg muda itu harusnya dimulai dari hal yang kecil—yakni jangan memaku pepohonan untuk memasang APK (Alat Peraga Kampanye) bergambar wajahnya yang wagu. Yang ada, ia dan timsesnya justru mencederai salah satu paru-paru kota.
“Belum jadi saja enggak memikirkan nasib saya sebagai pohon, mas. Gimana nanti kalau sudah jadi?” begitu cara Mbah Gayam mengiba.
Ditemui di tempat lain, lebih tepatnya di Bilangan Kebayoran Lama tempat saya ngekos, Dik Kerai Payung (24) mengatakan tak nyaman dengan kondisi macam ini. “Bjiiir, gua emosi abis sumpah!” begitu luapan kekesalan yang ia katakan.
Di Jakarta—lebih tepatnya Jakarta Selatan—beragam APK caleg memenuhi segala sisi ruang terbuka. Bahkan pepohonan pun menjadi pilihan tak wajar para caleg menempelkan wajah mereka.
Di ruas Jalan Ciledug Raya, selain memaku pohon, bahkan beberapa APK melintang di sekitaran trotoar yang kecil itu. Para caleg ini sebenarnya ingin menampung aspirasi masyarakat atau ingin melihat masyarakatnya melakukan simulasi bermain Benteng Takeshi, sih?  
“Risi. Mending mukanya Jung-kook atau Jimin, gua masih nerima. Lah ini, siapa sih nih? Gua aja kagak kenal,” Dik Kerai Payung begitu kesal dan gemas dengan tiga APK caleg yang kemarin dipaku dan diikat ke tubuhnya. Mirisnya, salah satu caleg itu memiliki program Jakarta lebih hijau.
Tabrak-Tabrak Aturan dan Mereka yang Melawan
Usia Mbah Gayam dan Dik Kerai Payung memang berbeda. Mbah gayam merasakan kesakitan, sedangkan Dik Kerai Payung merasakan risi. Namun, mau muda atau tua usia si pohon, tetap saja efeknya merugikan si pohon itu sendiri.
Tapi sebelum membicarakan kesehatan si pohon, tentu ini berbicara perihal aturan. Memaku pohon itu melanggar Peraturan KPU No. 15 tahun 2013 lebih tepatnya pada Pasal 17 Ayat 1a yang bunyinya begini:
“Alat peraga kampanye tidak ditempatkan pada tempat ibadah, rumah sakit atau tempat-tempat pelayanan kesehatan, gedung milik pemerintah, lembaga pendidikan (gedung dan sekolah), jalan-jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, taman dan pepohonan.”
Mau mewakili kita sebagai rakyat tapi belum apa-apa sudah melanggar aturan sih perlu dipertanyakan tabiat aslinya.
Selain itu, tentu saja masalah utama adalah estetika kota. Polusi visual menjadi hal yang belakangan ini bikin geram hati dan perasaan. Mata tidak dimanjakan, perasaan bawaannya jadi marah-marah mulu.
Di Jogja, pada tahun 2014 ada kelompok yang menolak kampanye dengan cara memaku pohon. Mereka bertindak secara kolektif dengan membawa banner di berbagai perempatan ramai di Jogja.
Di Bandung ada Pak Sariban. Pada tahun 2018 aksinya mencabut paku-paku yang menempel di pohon seakan menjadi satir paling sempurna untuk para caleg yang mengatasnamakan masyarakat. Berbekal sebatang kayu untuk mengganjal dan linggis untuk mencungkil, Sariban lebih dipercaya masyarakat tanpa obral janji.
Gabungan aliansi masyarakat di Sumatera Barat pada 26 Desember 2023 lalu juga mengadakan aksi menyelamatkan pohon dari paku. Mereka menemukan banyak paku yang dipaku di pohon Kamboja, Mahoni, Pinus, Ketapang dan Cemara.
Berbagai wajah ditampilkan caleg dengan visi-misi yang tidak jelas. Kita dipaksa melihat nama, gelar, dan wajah mereka tanpa tahu apa sih tujuannya nyaleg. Ambiguitas yang ditampilkan itu membuat kita bebas berasumsi: oh, barangkali ia adalah megalomania berbahaya yang ingin wajahnya dilihat seluruh warga kota.
Efek Tersembunyi Pepohonan yang Dipaku
Berbicara tentang kesehatan si pohon, menurut Klik Hijau, tusukan–tusukan paku pada pohon akan menyebabkan kerusakan dalam bentuk kompartementalisasi atau pembusukan pada pohon.
Seperti halnya manusia yang ditusuk pada bagian tubuhnya, pohon juga bakalan mengalami gangguan baik fisik maupun biologis. Hal ini jelas akan mengganggu proses fisiologis tanaman dan mengganggu tekstur kayu. Pohon bakalan rentan terkena jamur dan bakteri, tubuhnya tidak akan kuat sebagaimana mestinya.
Amit-amitnya, jika pepohonan di kota banyak dipaku dan ditusuk, lantas tubuhnya remuk, jika ada angin kencang bakalan menimpa rumah atau kendaraan yang melintas. Hanya keperluan untuk merengkuh kuasa, nyawa manusia dan kesehatan pohon pelindung kota diabaikan begitu saja.
Timbunan sampah APK di DIY mencapai 160 ton. Itu semua berasal dari 3443 orang yang ingin jadi DPD, DPR RI, DPRD DIY, dan DPRD Kab/Kota se-DIY. Hitungan ini belum mencangkup seluruh Indonesia. Intinya, negeri ini bukan hanya panen sampah visual, namun juga sampah dalam artian sesungguhnya. 
Padahal, Jogja sedang darurat sampah. TPST Piyungan, tempat penampungan sampah dari dua kabupaten dan satu kota, masih dalam masa pemulihan. Hal ini dikonfirmasi oleh pihak DLKH DIY yang menyatakan terdapat kendala keterbatasan penampungan sampah APK. Selain itu, teknologi belum memadai untuk menangani permasalahan sampah ini.
Strateginya adalah pengelolaan sampah APK ini dikerjakan bersama dengan Bank Sampah, TPS 3R atau pihak pengolahan sampah lainnya. Bawaslu DIY juga menyatakan bahwa siapa yang memasang, harusnya ia yang bertanggung jawab. Namun, Muhammad Najib selaku Ketua Bawaslu DIY langsung mengatakan, "Kami enggak yakin peserta pemilu untuk melaksanakan tugas itu (membersihkan APK)." Ditambah, tidak adanya sanksi konkret yang menjerat si peserta pemilu ini jika tidak menunaikan tugasnya, yakni membersihkan sampah yang ia hasilkan.
Saya, warga Jogja, seakan memilih seseorang yang berkeinginan menuntaskan permasalahan prinsip di Jogja, namun orang-orang ini yang justru menambah mumet permasalahan tersebut.
Sesekali lihatlah pohon-pohon di sekitar kalian. Rasakan setiap geraknya yang dihembuskan oleh angin, juga bagaimana ia tetap berdiri dengan kokoh sedangkan dunia terus mengatakan persetan pada mereka.
Sesekali pula, ucapkanlah terima kasih pada mereka. Setidaknya, mereka masih sudi menjadi pelindung kita dari panas sinar matahari. Setidaknya, mereka masih mau memberikan tempat ngiyup dari hujan yang tiba-tiba saja terjadi. Setidaknya, selagi mereka masih ada dan belum ditebangi.