“Negara Hadir”: Anak Metal Dirampok Bea Cukai

Ada banyak cara Negara ngerjain warganya, salah satunya dengan cara menarik pajak gila-gilaan untuk impor barang yang substitusinya tidak ada di Indonesia. Salah satu band metal asal Indonesia, Masakre, baru saja jadi korbannya. 

Selasa, 9 Agustus 2021, saya menemukan Saiful Haq, drummer Masakre, mengumpat-umpat di depan laptop. Dia baru saja mendapatkan email pemberitahuan dari jasa kurir internasional DHL bahwa sebuah paket untuk Masakre sudah sampai Indonesia dan siap diantarkan ke alamatnya di Jakarta Selatan setelah ia melunasi bea masuk. Pengeluaran untuk membayar pajak sudah diantisipasi oleh tim keuangan band. Namun, yang tidak diduga adalah tagihannya yang begitu besar: lebih dari dua juta rupiah.

Paket tersebut terdiri dari 25 keping vinyl EP Morbid Extinction yang diproduksi di Plastic Head, sebuah pressing plant di Amerika Serikat. Di dalam paket tersebut juga terdapat selembar kaos karya seniman Jepang, Yossie “Trash Graphic”, yang membuat ilustrasi untuk Masakre, juga diproduksi di Amerika Serikat. Paket itu dikirim oleh Pulverised Records, label asal Singapura yang menaungi Masakre. 

Jaringan musik gorong-gorong dalam negeri memang berhubungan baik dengan berbagai pemain di ekosistem serupa di luar negeri. Mengirim dan menerima paket berisi rekaman dan merchandise bukanlah hal baru bagi Saiful dan teman-temannya. Biasanya, ia akan menggunakan jasa seorang kawannya yang punya toko musik di Jakarta dan punya lisensi khusus untuk mengimpor barang dagangan dari luar negeri. Lewat jasa temannya ini, biasanya paket serupa akan dikenai biaya sekitar Rp2.000.000 untuk ongkos kirim dan bea masuk. 

“Kemarin kita coba kirim sendiri pakai DHL, karena cuma 25 keping,” kata laki-laki yang akrab disapa Ipul ini kesal. “Sementara kalau pakai jasa temanku itu mau 25 keping atau 50 keping akan tetap kena 2 juta. Kirain kalau ngirim sendiri dengan jumlah barang lebih sedikit akan kena lebih murah.”

Tentu saja Ipul dan teman-temannya kesal, karena untuk ongkos kirim dari Singapura ke Indonesia via DHL mereka sudah merogoh kocek sekitar Rp1.500.000. Pajak meleduk yang dikenakan bea cukai akan mengacaukan rencana cash flow mereka, dan membuat marjin keuntungan per keping makin tipis. Padahal, keuntungan dari menjual vinyl adalah salah satu pemasukan terbesar yang digunakan untuk membiayai tur, latihan, rekaman, dan banyak hal lain yang diperlukan bandnya untuk tetap membuat karya.

Masakre memesan 25 keping EP tersebut dari Pulverised karena jatah royalti mereka telah habis terjual beberapa bulan lalu, sementara di Indonesia masih ada teman-teman yang memesannya untuk dikoleksi. Dengan kesepakatan antara label dan band, mereka mendapatkan harga wholesale khusus yang cukup miring dibandingkan pembeli grosir lainnya. Namun, karena Masakre membeli dari label, bandlah yang menanggung ongkos kirim beserta tetek bengek pajaknya.

Untuk melancarkan transaksi perpajakan, biasanya Ipul dan teman-temannya menaruh invoice di bagian paling atas dari tumpukan paket sehingga jika ada petugas yang membongkar paketnya mereka bisa langsung tahu berapa harga barang tersebut. 

Selama ini banyak dari mereka yang bekerja di skena musik bawah tanah mengatakan jika tidak tersedia invoice di dalam paket, petugas di lapangan suka asal googling lalu seenaknya menentukan harga barang tersebut berdasarkan harga paling mahal di marketplace. Padahal, harga barang koleksi seperti vinyl bisa sangat bervariasi di toko-toko online. Menaruh invoice di bagian teratas tumpukan dalam paket sudah dilakukan oleh Pulverised untuk melancarkan proses declare. Namun sialnya, mereka tetap kena jebakan batman bea masuk selangit.

Dialog dengan Pak Sudiro

Bukan pertama kalinya saya mendengar kasus perhitungan bea masuk yang problematik yang bikin pusing teman-teman dari berbagai bidang kreatif. Karena penasaran, saya mencoba berbagai kanal untuk menelusuri akar dari keruwetan ini. Yang pertama saya lakukan adalah mengunduh aplikasi resmi keluaran Dirjen Bea Cukai, Mobile BeaCukai. Salah satu fitur di aplikasi tersebut adalah kalkulator yang bisa digunakan untuk memperkirakan jumlah cukai yang bakal kita bayar.

 

Di kalkulator tersebut kita bisa memasukkan jenis, jumlah, harga barang, dan ongkos kirim. Kita juga memasukkan status wajib pajak karena mereka yang punya NPWP akan dikenai pajak lebih murah daripada mereka yang tidak punya. Dengan kalkulator tersebut, kami mendapatkan angka yang sangat jauh dari tagihan: Rp 518.000. 

Saya kemudian mencoba menanyakan masalah ini lewat DM ke Twitter @beacukaisoetta. Mereka meminta saya mengajukan formulir keberatan ke kanal aduan via email disertai dokumen-dokumen terkait.

Ketika ditanya soal durasi penyelesaian dan kerugian biaya gudang penyimpanan (paket yang ditahan bisa dikenai biaya penyimpanan/gudang oleh kurir), mereka menjawab:

“Untuk keberatan, janji layanan maksimal 60 hari kak, namun bisa lebih cepat untuk keputusannya. Terkait biaya gudang itu ditanggung oleh pemilik barang ya Kak.”

Selain itu, lewat salah satu humas di Kementerian Keuangan, saya mendapatkan kontak Pak Sudiro, seseorang di balik meja Dirjen Bea Cukai. 

Pak Sudiro tidak membalas pesan WhatsApp, namun menjawab dengan logat Jawa yang ramah dan menyenangkan ketika ditelepon. Ia meminta saya mengirim detail pesanan serta tagihan yang masuk dari DHL. Sebagai tambahan, saya juga mengirim tangkapan layar hasil hitungan kalkulator Mobile BeaCukai.

Pak Sudiro baru membalas lagi menjelang petang. Di situ ia mengirimkan tagihan resmi dari bea cukai sebesar sekitar Rp1,9 juta. Di tagihan tersebut ditetapkan 25 keping vinyl dihargai USD 61, sementara selembar kaos dihargai USD 63. Padahal, total invoice untuk 25 keping vinyl dan selembar kaos adalah US$52. Selain itu, pajak BMTPS, yang dikenakan pada produk serat dan tekstil, ditetapkan pada angka fantastis Rp726.000—harga yang terlalu tinggi untuk selembar kaos saja.

Saya mempertanyakan kejanggalan-kejanggalan itu kepada Pak Sudiro lewat chat WhatsApp. Beliau membalas dengan nada kesal. 

“Jadi, Mbak, biar saya jelaskan ya,” katanya ketus. Logat Jawa ramah tadi pagi sudah berubah menjadi logat Jawa mangkel.

Menurut Pak Sudiro, pajak BMTPS yang dikenakan sudah sesuai dengan jumlah barang. “Itu kan ada 25 pcs dan 1 pcs. Jadi ada berapa? 26 toh? Jadi ya pajaknya dikali 26.”

Saya jadi kesal. Dengan nada tinggi saya mengatakan bahwa jelas-jelas kaosnya hanya 1 lembar, sementara 25 pcs sisanya bukan barang tekstil. Pak Sudiro mengabaikan ini.

Selain itu, menurut Pak Sudiro, “pejabat di lapangan” punya “kewenangan” untuk mengabaikan invoice yang di-declare, dan mencari tahu sendiri harga asli barang. 

“Kan bisa saja Anda declare harganya berapa tapi aslinya berapa. Menurut konfirmasi yang sudah dilakukan oleh pejabat lapangan kami, serta pengamatan yang lebih lanjut, kami menemukan bahwa harga barangnya sebenarnya adalah seperti yang tertera.”

Ketika ditanya petugas lapangan konfirmasi harga ke siapa, Pak Sudiro menjawab “pejabat lapangan” konfirmasi ke DHL. Saya menjawab, DHL pasti mengkonfirmasi harga sesuai dengan invoice, sehingga harga tidak masuk akal itu pasti hasil mark up.

“Ya terserah ya kalo Mbak bilang ini di-mark up. Yang jelas PEJABAT LAPANGAN punya KEWENANGAN untuk menentukan harga barang,” sambar Pak Sudiro, mulai naik darah. “Ini sudah ketetapan pejabat lapangan. Saya hanya menjelaskan ke Mbak. Jika keberatan silakan Mbak mengajukan keberatan ke kantor bea cukai di Bandara Cengkareng!”

Demi peningkatan ekonomi di laporan Sri Mulyani

Malam itu Ipul lesu menekuri telepon genggamnya. Teman-teman bandnya telah memutuskan untuk membayar pajak yang perhitungannya bermasalah itu. Opsi naik banding ditepis karena tidak ada waktu dan tenaga untuk mengurusnya.

“Capek. Ngabisin tenaga. Belum tentu menang. Ngabisin duit lagi kalo kelamaan,” katanya.

Setelah membayar lewat tautan aman yang disediakan DHL, Ipul menghela napas panjang.

“PEMERINTAH K*!@#$%^&!!!!!!” umpatnya.

Cerita-cerita seram skena musik Indonesia yang melibatkan bea cukai memang bukan hal baru. Exhumation, satu band death metal dari Yogyakarta, harus menebus pajak seharga motor matic untuk mendapatkan hasil rekaman mereka yang dikirim dari luar negeri. Tidak terhitung pula penggemar musik yang memesan merchandise band kesayangan mereka dari luar negeri harus membayar pajak masuk dua kali lebih mahal daripada harga merch-nya sendiri. 

Rumus untuk menghitung estimasi pajak tidak diketahui masyarakat umum, sementara kalkulator dari aplikasi resmi keluaran Dirjen Pajak juga tidak akurat. Jika dalihnya adalah estimasi, tidak ada pula keterangan berapa persen tingkat akurasi di kalkulator. Walhasil, sulit dibedakan mana estimasi harga dan mana harga ‘nembak’.

Usaha-usaha untuk mengoreksi tagihan pajak biasanya berakhir dengan debat kusir dan adu teriak di kantor bea cukai, sedangkan kanal-kanal aduan hanya berujung pada jalan buntu atau penanganan yang lambat. Sementara, paket yang tidak segera diambil akan dikenakan biaya simpan yang juga tidak sedikit. Biasanya penerima paket akan pasrah membayar pajak atau merelakan barang tersebut tidak ditebus. Cerita-cerita di mana Negara kalah jarang ada. 

Apa yang terjadi pada barang-barang yang ditahan oleh bea cukai karena pemiliknya tidak mampu atau tidak mau menebus? Tidak ada yang tahu. Mungkin dihancurkan? Dilelang? Diembat sendiri sama petugasnya? Yang jelas malam itu kami habiskan mengutuki Negara dan institusi-institusinya yang korup dan tidak kompeten dari hulu ke hilir. 

Sementara, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengapresiasi peningkatan performa APBN, di mana Bea Cukai mengalami 30,4 persen kenaikan di tahun 2021.

Menurut berita Sekretariat Kabinet, sampai dengan bulan Agustus 2021, pendapatan negara terealisasi sebesar Rp1.177,6 triliun, terdiri atas penerimaan pajak sebesar Rp741,3 triliun atau tumbuh 9,5 persen (year-on-year/yoy), kepabeanan dan cukai Rp158 triliun atau tumbuh 30,4 persen (yoy), dan PNBP Rp277,7 triliun atau tumbuh 19,6 persen (yoy).

“Ini merupakan suatu hal yang positif dan harus terus dijaga,” ungkapnya dalam Konferensi Pers APBN Kita Edisi September 2021. “Inilah makna dari yang disebut negara hadir, namun tetap harus dijaga kesehatan dan keberlanjutannya,” imbuhnya.

Bea Cukai akan ulangtahun di awal Oktober ini. Tentu saja laporan-laporan peningkatan performa dan puji-pujian harus ada di hari peringatannya. Kira-kira, ada berapa anak band dan penggemar musik yang pajaknya di-mark up demi membuktikan “negara hadir”?