Nggak Usah Percaya Mitos ‘Tidak Produktif’, Kerja Biasa Aja dan Hidup Berbahagialah

Nggak Usah Percaya Mitos ‘Tidak Produktif’, Kerja Biasa Aja dan Hidup Berbahagialah
Pambudi Driya

Tahun 2023 adalah tahun paling sulit yang pernah terjadi di hidup saya dan keluarga saya.

Awal Januari, saya sakit dan dokter bilang saya kelelahan dan butuh istirahat. Ternyata, sakit saya tidak kunjung sembuh, akhirnya saya harus masuk rumah sakit karena obat yang diberikan dokter tidak begitu efektif. Baru kemudian saya tahu, saya positif Covid-19 tanpa gejala dan harus melakukan isolasi mandiri selama 10 hari.

Ini bikin saya cemas. Saya takut dipecat saat sembuh nanti. Dan memang benar, akhirnya saya dipecat dari perusahaan tempat saya bekerja. Sekarang, saya jadi full-time di rumah dan bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama istri dan anak. Saya tetap mengirim lamaran pekerjaan sambil melakukan kerjaan sampingan dan jalan-jalan bersama keluarga. Tetapi, saya tetap merasa cemas tidak mendapatkan pekerjaan. Dulu saya bekerja selama 40 jam seminggu, 8 jam sehari, dan libur pada hari Sabtu-Minggu. Sekarang, saya bisa mengobrol dengan anak, bermain play dough, dan membantu istri dalam pekerjaan rumah.

Kondisi ini bikin saya merefleksikan apa-apa yang terjadi seputar dunia kerja.

Sistem Kerja dari Waktu ke Waktu

Terkait konsepsi waktu kerja, saya jadi penasaran adakah kemungkinan untuk mengurangi jam kerja, apalagi selama pandemi Covid-19 beberapa dari kita terbiasa melakukan kerja yang semula on-site menjadi WFH, WFH, atau remote? Serta siapakah yang menentukan pembagian waktu, hari kerja, dan kerja produktif serta kerja yang tak produktif? Karena kalau dilihat lagi, pembagian ini seolah tak mengindahkan bahwa sehari ada 24 jam.

Misalnya pada abad ke-17, rata-rata orang di zaman itu tidak mengenal istilah Sabtu adalah hari libur atau setengah hari. Apalagi pada masa Revolusi Industri di Inggris, para pekerja menghabiskan lebih dari sebagian waktu dalam 24 jam sehari, yakni 10-16 jam di tempat kerja. Barulah hari Minggu digunakan untuk beribadah dan istirahat.

Waktu kerja berfungsi penting untuk kelanggengan kapitalisme. Marx dalam Capital menguraikan topik itu dalam satu bab untuk menunjukkan perjuangan para pekerja mengurangi waktu kerja pada abad ke-19 di Inggris. 

Marx melihat hubungan antara pekerja dan pemberi kerja, stres yang didapat karena lamanya durasi kerja adalah sesuatu yang tak terelakkan. Dari sini Marx menyatakan pada kita bahwa waktu kerja hanya digunakan untuk menghasilkan apa-apa yang penting untuk sehari-hari. Kenyataannya selama sejarah manusia untuk menghasilkan makanan dan apa-apa yang dibutuhkan sehari-hari hanya membutuhkan sekitar 15-17 jam dalam seminggu, dan sisanya kita gunakan untuk menghabiskan kegiatan lain seperti hobi atau sekadar rebahan.

Bahkan beberapa ratus tahun yang lalu, sebelum adanya industri, kelangsungan hidup sebagian besar penduduknya sangat ditentukan oleh jumlah pekerjaan yang perlu dilakukan. Petani akan mempekerjakan massa sebagai upaya memberi makan dan pakaian untuk sekeluarga.

Dari sudut pandang kita saat ini yang berorientasi pada waktu-kerja, hubungan antara pekerja dan waktu di masa feodal tidak ada dalam arti orang-orang akan bekerja lebih panjang selama kebutuhan untuk barang itu jumlahnya banyak dan diperintah oleh tuannya. Kita bisa lihat bahwa sistem kerja saat itu sangatlah ditentukan oleh siklus musim dan hierarki para ningrat daripada berdasarkan kontrak kerja. Meskipun tidak berarti meromantisasi kehidupan zaman feodal yang jauh dari bentuk-bentuk ideal.

Perlu diketahui bahwa kerja dari hari Senin-Jumat (atau Sabtu) yang dianggap normal saat ini bukanlah hasil yang telah ada dari sananya. Pada awal abad ke-19, Robert Owen, seorang filantropis sekaligus sosialis mengajukan pengurangan jam kerja menjadi 10 jam per hari. Kemudian 7 tahun berselang, ia ingin agar waktu kerja 8 jam dan kemudian mencetuskan slogan “8 jam kerja, 8 jam untuk rekreasi, 8 jam untuk istirahat.”

Will Stronge & Kyle Lewis dalam Overtime Why We Need a Shorter Working Week menuliskan bahwa dari berbagai gerakan sosial dan kelas pekerja saat itu,  kemenangan pertama untuk para buruh yang berhasil memangkas jam kerja dari yang semula 10 jam menjadi 8 jam dalam sehari adalah para buruh batu di Australia. Dengan demikian bisa kita lihat bahwa penentuan waktu kerja itu merupakan agenda politis. Anggapan jika kerja keras dan sering lembur akan menghasilkan kekayaan lebih cepat itu tidak bisa dipercaya. Pasalnya, penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara jam kerja panjang itu tidak sebanding dengan kemakmuran pekerjanya, terutama apabila upah yang diterima oleh pekerja itu sendiri sedari awal memanglah sedikit. 

Hal ini senada dengan Ann Putri bahwa jam kerja yang panjang memiliki efek negatif terhadap kesehatan dan performa kerja. Lebih dari itu, jam kerja panjang juga menghambat pertumbuhan ekonomi-sosial masyarakat. Belum lagi upah yang diterima di Indonesia misalnya untuk sektor pekerjaan agrikultur dan perikanan dengan waktu kerja hingga 36 jam seminggu hanya menerima gaji 1,4-1,6 jutaan, lalu adapun sektor pekerjaan jasa keuangan dan asuransi dengan waktu kerja 43 jam seminggu menerima gaji mulai dari 4,8-5,4 jutaan. 

Selain beban waktu dan menurunnya produktivitas, para pekerja juga harus menanggung resiko dalam perjalanannya menjadi lebih panjang dari hari-hari sebelumnya, misalnya beberapa waktu bagaimana keluh kesah para pengguna KRL di Jakarta yang bisa kita liat beberapa waktu lalu di Twitter karena berbagai hal: penumpukan orang pada jam sibuk (pergi dan pulang kerja), keterlambatan datangnya kereta yang tak sesuai jadwal, hingga permintaan untuk menambah gerbong dan kereta baru meski akhirnya Kemenperin menolak untuk impor. Hal ini dipertegas oleh laporan sepanjang pekan kedua Januari 2023, PT KAI Commuter melaporkan beberapa kali penumpang KRL bisa melebihi 800.000 orang per hari.

Adapun manfaat lain dari pengurangan jam kerja dan upah yang layak ialah agar para pekerja tidak mengalami stres karena pekerjaan, kecemasan atau depresi. Ahsan Ridhoi, yang mengutip Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia, mengungkapkan ada sekitar 60,6% pekerja industri kecil dan menengah mengalami depresi, dan 57,6% mengalami insomnia. 

Keynes pada tahun 1930 memprediksi bahwa dengan kemajuan teknologi, negara-negara maju serta berkembang dapat memangkas waktu kerja dalam seminggu secara drastis. Keynes memperkirakan dalam 1 minggu para pekerja hanya butuh 15 jam kerja saja. Alasannya karena adanya teknologi mampu memangkas waktu kerja menjadi lebih sedikit dengan hasil yang sama ketika bekerja 8 jam sehari. Meski menurut David Graeber pada akhirnya bukan jam kerja yang dipangkas tetapi justru muncul sektor “pelayanan” yang tidak penting-penting amat dan tetap memaksa individu untuk tetap bekerja menggunakan teknologi dengan waktu kerja yang sama dengan tujuan menghasilkan laba yang lebih besar.

Namun, menurut Will Stronge, berkaca pada sejarah, untuk menciptakan kondisi kerja yang ramah bagi seluruh pekerja caranya adalah dengan berorganisasi dan mendorong terciptanya dunia yang lebih baik. Misalnya melalui agenda bekerja 4 hari dalam seminggu seperti studi dilakukan di Inggris yang menghasilkan dampak positif di antaranya terhadap pekerjaan, 97% pekerjanya setuju untuk melanjutkan 4 hari kerja dalam seminggu, beberapa perusahaan Microsoft di Jepang dan Unilever di New Zealand melihat pengurangan hari kerja sebagai keuntungan dan produktivitas pekerja meningkat karena mereka memiliki hubungan lebih baik antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. 

Asal Usul Mitos Kerja Produktif dan Tidak Produktif

Di bawah kapitalisme, kerja yang diakui hanyalah kerja yang dapat menghasilkan keuntungan bagi perusahaan dan memiliki dampak terhadap pasar. Tulisan Yuviniar Ekawati, Domestifikasi Perempuan 101, menegaskan bahwa begitu banyak kerja perempuan yang tidak dibayar untuk pekerjaan rumah tangga. Kerja-kerja rumah tangga itu secara tidak langsung menopang suatu keluarga hingga perusahaan, dari mulai merawat anak, menyiapkan makanan dan pakaian anak, hingga merawat orang tua dan orang yang sakit, mendapatkan keuntungan. 

Hal ini semakin jelas dan diafirmasi pengguna Twitter, mulai dari bagaimana turunan anggapan bahwa perempuan melakukan kerja domestik, laki-laki mencari rezeki, hingga anggapan bahwa anak laki-laki nantinya menginginkan calon istri yang seperti ibunya (baca: mengerjakan semua pekerjaan rumah dan melayani suami dari mulai matahari masih gelap hingga kembali gelap). 

Era Industri berhasil menciptakan dasar “institusional” untuk mensubordinasi perempuan—yang memang sudah dari lama perempuan termarjinalkan dalam sejarahnya. Tapi, kali ini yang cukup membedakan atau menambah bebannya ialah bagaimana sistem ekonomi saat ini bergantung dengan 2 hal: pertama kerja produktif yang menghasilkan uang dan kedua kerja tak produktif yang melibatkan kasih sayang, perawatan, dan virtue.

Hal ini yang disebut sebagai “kontradiksi” oleh Nancy Fraser dalam artikel Crisis of Care? On the Social-Reproductive Contradictions of Contemporary Capitalism. Dengan memisahkan reproduksi sosial (social reproduction) dari kerja ekonomi, serta menitikberatkan dan menghilangkan nilai dan pentingnya peran perempuan itu justru menegaskan bahwa sistem kapitalisme mendapatkan keuntungan ekonomis itu tidak dihasilkan oleh dirinya sendiri, ia membutuhkan reproduksi sosial, supaya setelah seharian pekerjanya diambil nilai lebihnya mendapatkan perhatian dan kasih sayang di rumah agar hari berikutnya bisa kembali bekerja.

Implikasi dari pembagian ini ialah perempuan mengalami kekerasan struktur beberapa kali. Seringkali perempuan bergantung pada laki-laki yang dibayangkan sebagai pencari uang, dan kemudian kerja-kerja mereka di rumah tidak dianggap penting sama sekali, karena tak menghasilkan uang. Padahal tanpa adanya kerja-kerja domestik, tidak akan pernah terlaksana suatu kerja produktif. 

Bayangkan apabila struktur penyanggah laki-laki di rumahnya, yang datang ke tempat kerjanya tanpa pikiran yang cemas, karena perempuan sudah menyiapkan semua kebutuhannya, sehingga ia tinggal memikirkan saja 8 jam atau 9 jam di tempat pekerjaannya, yang jika dibayarkan setara USD 11. Itu jauh lebih besar kontribusinya ketimbang laki-laki yang hanya sebesar 2,4 persen. Tapi tentu saja hal ini tetap dipertahankan, mengingat untuk akumulasi jangka panjang memang dibutuhkan eksploitasi, dalam hal ini terhadap kerja tak berbayar yang dilakukan oleh perempuan.