Nikah Sungguh Sederhana, yang Hebat Hanya Bujetnya

Berapa banyak undangan pernikahan yang kamu dapat dalam setahun?

 

Saya sendiri bisa mendapatkan satu undangan pernikahan tiap bulannya. Maklum, usia saya ini memang usia di mana orang-orang lagi banyak-banyaknya menikah. Tapi pandemi mengurungkan niat saya untuk datang langsung ke acara pernikahan. Untungnya sekarang ada e-wallet, jadinya saya bisa mentransfer amplop ke mereka sebagai apresiasi sudah mengundang saya.

 

Undangan-undangan ini membuat saya penasaran dengan acara pernikahan. Biar saya lebih realistis mengatur tujuan awal, yaitu mengatur bujet. Saya sendiri inginnya acara pernikahan kecil saja karena… pernikahan gede-gedean? Di ekonomi model begini? Tidak terbayangkan! 

 

Saya pun mengetik ‘rata-rata biaya pernikahan di Indonesia’ di Google. Bukannya jawaban, saya malah mendapat pengalaman orang-orang yang menikah dengan biaya yang berbeda-beda, pos-pos yang perlu dipersiapkan beserta estimasinya. Anjir, pikir saya sambil menelan ludah, baca estimasinya bikin saya hampir hilang selera untuk menikah. 

 

Hampir, soalnya saya masih butuh orang untuk berbagi kehidupan yang semakin lama semakin mahal. Terima kasih kapitalisme!

 

Teka-teki itu bernama bujet

 

Pencarian data soal pernikahan menghantarkan saya ke Indonesian Wedding Trend Report by Bridestory. Laporan yang dibuat pada 2016 ini melibatkan 4.000 responden, yaitu perempuan (90,8%) dan laki-laki (9,2%) dengan kelompok usia 18-24 tahun (35,1%), 25-34 tahun (60,6%), 45-54 tahun (0,6%), dan lebih dari 55 tahun (0,3%). Sayangnya laporan ini tidak meliputi domisili beserta kisaran upah responden, sehingga estimasi yang diberikan bisa saja kurang menggambarkan kondisi sebenarnya. Belum lagi bias Bridestory sebagai vendor pernikahan yang bisa mempengaruhi profil responden yang mengisi kuesioner ini. 

 

Meski begitu, laporan ini memberikan pandangan penting soal kebiasaan pasangan yang mau menikah. Pertama, banyak orang yang mengurus pernikahannya dari jauh-jauh hari, paling cepat kurang dari tiga bulan sampai yang paling lama lebih dari setahun. 

 

Kedua, mayoritas pemegang keputusan pernikahan adalah pasangan (70,8%), calon istri saja (12,8%), diikuti orangtua (orangtua calon istri 6,3% dan orangtua calon suami 2,9%), lalu yang lain. Semakin banyak pasangan yang memiliki kontrol atas hari spesial mereka. Pada saat bersamaan, laporan tersebut menunjukkan pernikahan masih menjadi hajat perempuan. 

 

Ketiga, biaya pernikahan. Biaya pernikahan paling murah yang didaftarkan adalah Rp35-50 juta untuk tamu kurang dari 50 orang dan paling mahal lebih dari Rp750 juta untuk tamu lebih dari 1000 orang. Biaya ini tidak termasuk prewedding photoshoot di luar negeri, pakaian desainer, bulan madu, dan perhiasan. Separuh responden mengaku membiayai pernikahan mereka sendiri, 22,2% dibiayai calon pengantin perempuan, dan 18,2% dibiayai calon pengantin laki-laki. Namun hanya biaya foto prewedding (0-lebih dari 100 juta rupiah) dan biaya tata rias (kurang dari Rp5 juta-lebih dari Rp15 juta) yang disebutkan. Padahal biaya gedung, katering, dan dekorasi jauh lebih penting daripada foto-foto prewedding.   

 

Pertanyaan saya tentang seberapa banyak pasangan mau mengeluarkan uang untuk pernikahan terjawab di laporan Bridestory tahun 2019. Laporan ini tak hanya lebih lengkap karena merinci bujet keseluruhan, tapi juga menggambarkan perubahan siapa yang membayar pernikahan. Sepertiga responden menjawab pernikahan dibiayai berdua (38,9%), kemudian dibiayai pengantin pria (23,2%), orangtua pengantin wanita (21,4%), orangtua pengantin pria (15,4%), orang lain (0,6%) lalu pengantin wanita (0,5%). 

 

Tentunya data ini menarik karena sekarang beban pernikahan mulai bergeser ke tanggung jawab pengantin pria. Tapi data tersebut tetap tidak menjelaskan faktor-faktor apa saja di balik keputusan ini. Mungkin ada perluasan populasi responden? Mungkin perempuan lebih dibebankan tanggung jawab untuk mengisi rumah saat sudah sah nanti? Dan mungkin-mungkin lainnya. 

 

Kembali ke data: mayoritas responden memiliki ukuran pernikahan 100-500 orang (49,32%) dan 500-1000 orang (42,46%). Sisanya pernikahan intim yang masih menjadi ceruk pasar kecil (6,37%). Kuantitas biaya yang dikeluarkan pengantin per tamu dibagi menjadi empat kategori: terjangkau (Rp325.000/tamu), sedang (Rp650.000/tamu), premium (Rp1.500.000/tamu), sampai mewah (Rp5.000.000/tamu). Para responden paling banyak menjawab bujet pernikahan mereka di angka Rp650.000. 

 

Menariknya, Bridestory menyarankan para vendor dan klien untuk mengalokasikan 40% total bujet mereka ke gedung dan katering, sisanya untuk pakaian dan dekorasi. Melihat data 2016 yang menaruh bujet pakaian dan tata rias di angka kurang dari Rp5 juta sampai lebih dari Rp15 juta, apabila pengantin memiliki bujet di kategori terjangkau untuk 300 tamu berarti pasangan pengantin akan menghabiskan dana total sekitar Rp97.500.000.

 

Semakin meriah semakin oke?

 

Besarnya biaya pernikahan menimbulkan pertanyaan, faktor-faktor apa saja yang membuat orang rela berpisah dengan uang puluhan sampai ratusan juta rupiah untuk satu hari? Alasan utamanya, pernikahan masih dilihat sebagai cara untuk memperkuat koneksi sekaligus menunjukkan kelas ekonomi

 

Tekanan untuk mengadakan pernikahan yang makin mewah diperparah oleh keberadaan media sosial. Acara pernikahan yang awalnya hanya dilihat oleh sanak keluarga, koneksi orangtua, dan teman, sekarang bisa dilihat oleh orang-orang tak dikenal di internet. Fenomena ini dikoinkan oleh Yann Moulier-Boutang sebagai cognitive capitalism, di mana para pengusaha menggunakan kapasitas emosi, pengetahuan, dan spiritual pekerja ke dalam sebuah moda produksi yang kemudian disebarkan lewat kekuatan koneksi. 

 

Dalam konteks pernikahan, kita selalu mendapatkan pelbagai informasi baru tentang pernikahan orang lain—baik dari yang kita kenal maupun tidak—seperti pesohor. Banyaknya informasi yang datang membuat kita—baik secara langsung maupun tidak langsung—membandingkan dan mengkurasinya. Mana yang paling bagus, paling mewah, kelihatan murahan, jelek? Dari informasi-informasi ini barulah kita membentuk keputusan seperti apa pernikahan yang kita mau.

 

Selain media sosial, informasi ini juga bisa didapatkan dari media tradisional, seperti foto, koran, TV, dan majalah. Keberadaan mereka lebih dulu menyebarkan imaji mengenai dream wedding. Seiring kian menyebarnya gagasan dream wedding, orang-orang akan mencari cara untuk mewujudkannya. Mengingat banyak perempuan bekerja dan tinggal jauh dari sanak saudara, menyelenggarakan pernikahan bukan hal yang mudah. Walhasil, muncullah wedding organizer sebagai solusi. 

 

Fenomena wedding organizer disebut Blakely (2007) sebagai komodifikasi pekerjaan perempuan. Komodifikasi ini berasal dari ideal feminis liberal yang mengharuskan perempuan untuk berdiri di ranah domestik maupun profesional. Tentunya hal ini tidak mungkin dilakukan, sehingga pasar membuat layanan khusus pekerjaan rumah tangga seperti katering, asisten rumah tangga, hingga wedding organizer. 

 

Wedding organizer bisa memanfaatkan kebingungan para calon pengantin dengan menyuplai informasi soal harga pernikahan yang pantas. Tak mengherankan apabila harga yang diberikan oleh wedding organizer, bahkan untuk pernikahan ‘sederhana’ sekalipun terlihat premium. Harga ini memang bisa dijustifikasi karena ada service charge. Pertanyaannya, apakah kita bisa menjustifikasi harga itu di kemudian hari? Ada yang bisa menjustifikasi karena kebahagiaan, memori, uang amplop, dan impresinya setimpal. Bagaimana kalau tidak? 

 

Untungnya, keberadaan pandemi membuat tren baru: pernikahan kecil. Riset Populix pada 12-14 Agustus 2021 terhadap 1.002 responden berusia 18-30 tahun menunjukkan 40% responden yang memiliki pasangan dan belum menikah sudah memiliki rencana menikah dalam waktu dekat. Namun, 54% memutuskan memundurkan pernikahan mereka ke tahun 2022.

 

Pernikahan kecil tanpa resepsi semakin populer, dibuktikan oleh 36% responden yang hanya menggelar acara akad nikah. Hanya 14% yang memilih untuk tetap menggelar acara akad nikah dan resepsi selama pandemi. Kehadiran tamu juga bisa disiasati secara virtual, dibuktikan dengan 42% responden yang pernah mengikuti pernikahan virtual. 

 

Meski begitu, 30% responden masih berencana mengundang tamu di atas 150 orang. Hanya 8% yang benar-benar ingin membuat pernikahan sebagai acara intim dengan undangan kurang dari 50 orang. Tak mengherankan kalau melihat datanya: 73% responden pernah menghadiri pernikahan secara tatap muka. 

 

Kembali menilik datanya, kultur komunal kita masih kental. Pernikahan masih menjadi hajatan yang harus melibatkan banyak orang untuk dinyatakan sah secara sosial. Meski begitu, tren sekarang bisa membantu calon pengantin menekan biaya pernikahan. Setidaknya tekanan untuk membuat resepsi mewah dan melewati bujet sudah lewat.