Salah satu cara untuk berkenalan dengan dunia filsafat adalah melalui budaya pop. William Irwin dalam Philosophy and The Interpretation of Pop Culture (2006) menuturkan bahwa budaya populer menawarkan objek yang menarik untuk diinterpretasikan dan merupakan common language, sehingga pengetahuan dari budaya ini menjadi aspek penting untuk komunikasi yang efektif.
Penyandingan berbagai bahasan filsafat secara akademis dengan berbagai referensi dari pop culture dapat menarik orang untuk mulai mengenal filsafat dan mengajukan investigasi filosofis terhadap karya favorit mereka. Saya sendiri mengalami hal tersebut, salah satunya melalui buku George A Reisch berjudul Pink Floyd and Philosophy: Careful with That Axiom, Eugene! (2007).
Buku tersebut memantik saya belajar dunia filsafat lebih jauh dan pada akhirnya membuat saya mampu menafsirkan berbagai karya yang selama ini saya konsumsi secara lebih dalam dari sudut pandang filsafat. Salah satunya yaitu Noah, yang ternyata dalam lirik-liriknya kental akan filsafat eksistensialisme.
Dalam tulisan ini, saya mencoba berbagi interpretasi saya terhadap lagu-lagu Noah yang menghadirkan tema eksistensialisme dalam format lagu yang dapat menjangkau banyak pendengar. Noah sendiri merupakan salah satu band pop alternatif terbesar di Indonesia, salah satunya dengan pencapaian penjualan album hingga tiga juta copy.
Melalui relevansi dalam lagu-lagunya, Noah dapat membawa pendengarnya tenggelam dalam salah satu pokok bahasan filsafat tanpa harus mempelajarinya terlebih dahulu secara akademis. Senafas dengan pemaparan Steven Palmquist yang dalam bukunya Pohon Filsafat (2007) menjelaskan pendekatan eksistensial memandang bahwa tugas utama filsafat adalah memperkenalkan jalan-jalan hidup filosofis tanpa terbelenggu oleh sistematikanya.
Eksistensialisme sendiri merupakan aliran filsafat yang berfokus pada diri manusia dengan segala pengalaman konkretnya. Filsafat dapat menjadi alat untuk memeriksa keseharian kita sehingga menemukan pemaknaan terhadap keseharian tersebut. Bapak Filsafat Barat sendiri—Socrates—pernah mengatakan bahwa hidup yang tidak diuji adalah hidup yang tidak berharga. Oleh karena itu, filsafat eksistensialisme mencoba untuk menguji kehidupan dengan harapan dapat memaknai kehidupan itu sendiri.
Manusia berbeda dengan entitas-entitas lain seperti benda-benda yang eksistensinya sekaligus berarti esensinya. Manusia dapat memahami dan membentuk dirinya sendiri. Manusia adalah apa yang dia lakukan secara berulang-berulang, sebagaimana pandangan Jean Paul Sartre mengenai asas pertama eksistensi bahwa “manusia tidak lain kecuali yang ia buat sendiri”--existence precedes essence.
Manusia seperti tabula rasa.
Berkaitan dengan eksistensinya, manusia bisa berada pada posisi yang gamang mengapa ia berada di dunia ini, terutama ketika banyak kejadian dalam hidup yang sulit untuk dipahami. Permasalahan dasar dalam eksistensialisme ini terekam dalam lagu Noah bertajuk ‘Langit Tak Mendengar’.
Jadi hidup telah memilih menurunkan aku ke bumi,
Hari berganti dan berganti, aku diam tak memahami.
Sebuah lirik yang merekam dengan bahasa cukup sederhana permasalahan yang diangkat oleh Martin Heidegger, yaitu keterlemparan manusia (Geforwen). Manusia ada begitu saja—faktisitas, terlempar ke dunia ini tanpa tahu dari mana dan akan ke mana. Tanpa mengetahui makna apa yang ada di balik keberadaannya dan memiliki kegamangan mengenai tujuan ke depan. Sebuah permasalahan yang kemudian membuat manusia bertanya-tanya, baik ke sesama, maupun ke entitas lain yang diharapkan dapat menjadi pegangan, seperti agama dan ideologi.
Coba bertanya pada manusia tak ada jawabnya
Aku bertanya pada langit tua, langit tak mendengar
Sebuah refrain lagu yang kuat, yang mengisyaratkan bahwa pencarian terhadap makna hidup tidaklah mudah. Para filsuf eksistensialis sendiri memiliki perjalanannya masing-masing yang menghasilkan pandangan yang berbeda-beda mengenai bagaimana cara manusia memandang hidup. Oleh karena itu, pemaknaan manusia terhadap hidup bukanlah sesuatu yang final, melainkan sesuatu yang dinamis dan terus berkelanjutan. “Man is always in the making” tutur Sartre.
Ragam makna lagu Noah sendiri mencerminkan bagaimana pandangan terhadap hidup yang dinamis dan dapat berbeda dalam satu titik ke titik yang lain. Dalam lagu ‘Di Balik Awan’, Noah terlihat sangat pasrah atau bahkan cukup pesimistis. Lagu ini menggambarkan kondisi seseorang yang menderita dan menganggap kehidupannya yang penuh kesia-sian.
Apa yang kuberikan tak pernah jadi kehidupan.
Semua yang kuinginkan menjauh dari kehidupan.
Bait yang menggambarkan secara apik nan sederhana pemikiran filsuf yang terkenal paling suram—Arthur Schopenhauer—yang menganggap hidup adalah penderitaan, tidak bermakna, dan penuh dengan kesia-siaan.
Filsuf ini juga menganggap bahwa hasratlah yang membuat manusia menjadi menderita. Apabila hasrat tidak terpenuhi, manusia akan bersedih. Sementara apabila terpenuhi, manusia tidak akan pernah puas. Hal yang juga terekam dalam lagu ‘Bintang di Surga’ yang menurut saya menggambarkan posisi seseorang yang terus tak terpuaskan hasratnya, hingga pada akhirnya menghasilkan hasrat akan sesuatu yang terlampau tinggi: bintang dan surga.
Meskipun Schopenhauer begitu pesimistis terhadap hidup, ia tidak pernah menawarkan kematian sebagai jalan keluar. Schopenhauer membombardir konsepsi kematian sebagai jalan keluar dalam esainya berjudul On The Doctrine of The Indestructibility of Our True Nature. Noah sendiri secara tidak langsung mengamini pemikiran ini dalam lagu berjudul ‘Tetap Berdiri (2DSD)’ dalam album yang sama dengan lagu ‘Bintang di Surga’.
Rasa ini takkan terobati
Tetapi mati takkan mengobati
Pandangan yang lebih optimis soal eksistensi hidup datang dari Albert Camus yang menganggap hidup adalah absurditas dalam esainya The Myth of Sisyphus. Kehidupan yang absurd terekam dalam tajuk ‘Di Atas Normal’ yang menggambarkan seseorang yang merasa pikirannya tidak dapat dimengerti, “Pikiranku tak dapat kumengerti. Kaki di kepala, kepala di kaki.” Meskipun Camus menganggap hidup itu sebuah keabsurdan dan mungkin sia-sia, Camus menutup esainya dengan pernyataan kuat, “One must imagine Sisyphus happy.” Kita tetap dapat bahagia di tengah situasi kehidupan dan kondisi diri yang sulit dicerna.
Sebuah pandangan yang optimis datang dari salah satu filsuf pertama yang membahas mengenai eksistensialisme, Soren Kierkegaard. Kierkegaard menjelaskan bahwa pemaknaan hidup bersifat subjektif. Kebenaran mengenai makna hidup adalah milik masing-masing orang. Individu memiliki hak untuk memaknai kehidupannya tanpa bergantung pada pandangan sosial, untuk tidak mematok diri pada penerimaan dan penolakan orang lain serta terbudak secara emosional kepadanya.
Noah sendiri memiliki track yang menggambarkan posisi seseorang yang mencoba membuat hidupnya bermakna tanpa bergantung pada sesuatu yang sifatnya eksternal, yaitu ‘Taman Langit’.
Cobalah berpaling, langit takkan berwarna, aku takkan merasa.
Semua takkan berubah, semua takkan berubah, ini taman mimpiku, ini taman langitku.
Sebuah lirik yang menggambarkan seseorang berpegangan kepada sesuatu yang bersifat internal dengan mencipta taman langitnya sendiri. Taman langit seseorang tidak akan terganggu dengan perubahan sesuatu yang eksternal dalam kehidupannya.
Pemaknaan subjektif juga datang dari Jean Paul Sartre. Sartre mirip dengan Kierkegaard yang menafsirkan bahwa individu memiliki kebebasan untuk menemukan makna hidupnya sehingga kebenaran bersifat subjektif. Namun, mereka berbeda dalam menafsir keberadaan Tuhan dalam eksistensi manusia.
Sartre beraliran eksistensialisme ateistik yang menolak Tuhan demi kebebasan manusia. Sementara itu, Kierkegaard—bersama dengan filsuf lain seperti Karl Jasper, Muhammad Iqbal, dan Mulla Sadra—beraliran eksistensialisme teistik. Aliran ini menganggap pentingnya keberadaan Tuhan dengan tetap menghargai kebebasan dalam diri manusia.
Eksistensi Tuhan tidak menghalangi kebebasan manusia, justru dapat menjadi arah dan berpengaruh positif terhadap kebebasan itu sendiri. Dalam berbagai pandangan teistik, Tuhan lah yang memberikan kebebasan dan daya kreatif pada manusia. Di satu sisi, Tuhan menurunkan aturan agar kebebasan manusia dilakukan secara lebih bertanggung jawab, tidak semata-mata bebas tanpa batas.
Syair dari Muhammad Iqbal dalam bukunya Payam-I Mashriq menggambarkan secara baik kebebasan dan daya kreatif manusia sebagai anugerah Tuhan, “Kau mencipta malam, aku mencipta lampu yang meneranginya. Kau buat lempung, kubikin darinya cawan minuman.”
Filsuf teistik yang lain–Soren Kierkegaard–membagi proses eksistensi menjadi tiga tahap. Tahap pertama yaitu estetis di mana orientasi manusia diarahkan sepenuhnya pada kesenangan. Tahap kedua yaitu etis di mana manusia mulai menerima kaidah moral dan mau mengikatkan diri. Dua tahap ini menurut Kierkegaard sama-sama dapat membawa pada keputusasaan atau kekecewaan. Apabila keputusasaan tersebut dialami dan disadari, individu dapat melakukan loncatan kepercayaan (leap of faith) ke tahap paling penting, yaitu religius.
Tahapan ini terekam secara sempurna pada sebuah lagu yang ditulis oleh Ariel dalam sel penjara, ‘Terbangun Sendiri’. Ariel sendiri mengalami kondisi yang sulit di balik sel, tergambar dalam sebuah kalimat yang ditulisnya dari balik jeruji besi. “Tuhan, jangan lupakan saya, jangan biarkan saya lepas arah” (Kisah Lainnya, 2012).
Lagu ‘Terbangun Sendiri’ merupakan sebuah lagu yang menggambarkan rintihan dari sang pencipta lagu terhadap Sang Pencipta, di mana dalam kondisi tersebut Ariel berjalan ke dalam dimensi religius.
Dunia yang terdiam tanpa-Mu.
Dunia menelan hatiku.
Aku tak ingin terbangun, terbangun sendiri.
Aku tak ingin terjaga, terjaga tanpa-Mu.
***
Mungkin Ariel maupun pencipta lagu Noah lainnya bukan pembaca karya beberapa filsuf yang disebut di atas. Namun, hal ini justru membuktikan bahwa problematika yang dihadapi filsuf eksistensialis tersebut ternyata dekat dengan kehidupan kita sehingga perasaan yang sama dapat dihayati siapapun tanpa harus membaca teks-teks filsafat.
Oleh karena itu, interpretasi filsafat dari budaya populer membantu kita memahami dan menyelami lebih dalam resonansi emosi atau pemikiran yang sedang kita dapatkan melalui konsumsi karya favorit kita. Tak terkecuali bagi pendengar Noah. Barangkali, melalui relatability dengan lagu-lagu mereka, kita malah sedang merasakan problematika filsafat yang hadir dalam bentuk lebih otentik. Dan tentunya tak kalah estetik.