“Kamu tahu? Sehabis ujian nasional, ijazahku ditahan kepala sekolah SMA karena aku menunggak bayaran SPP selama delapan bulan,” kisah Panji kepada Jurno.id.
“Untungnya, ada yang membantu. Ibunya temanku, yang kebetulan juga seorang guru di SMA itu, mengancam si kepala sekolah. Katanya, urusan itu mau dibeberkan ke media. Akhirnya, kepala sekolah itu mau menemuiku dan aku diminta membayar SPP semampunya. Ya, sudah, kuberikan saja Rp50.000. Ijazahku akhirnya dilepas.”
Pria awal kepala tiga ini bekerja di Sekretariat Kabinet dan sudah masuk jajaran eselon. Enam tahun sudah dia mengabdi di situ. Selepas lulus kuliah dari Universitas Gadjah Mada jurusan Hubungan Internasional, ia sempat bekerja pula di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Apa yang diraih Panji itu bisa dibilang sebuah kemajuan pesat dibandingkan satu dasawarsa silam. “Tahun 2010 itu aku baru bisa beli kasur. Sebelumnya, aku tidur di tikar tipis. Pakaian-pakaianku kutumpuk dan kujadikan bantal,” tuturnya.
Panji tidak berasal dari keluarga berada. Ayahnya dulu bekerja sebagai sopir angkutan kota, sementara ibunya berjualan ayam di pasar. Dia memiliki tiga saudara laki-laki; dua kakak dan satu adik. Hidup mereka serba terbatas.
Sejatinya dia adalah siswa berprestasi. Berbagai perlombaan dia menangi selama sekolah. Hadianya ia gunakan untuk membantu perekonomian keluarga.
Tak cuma itu, Panji ketika masih duduk di bangku SMA juga sudah bisa mencari uang sendiri dengan berjualan kosmetik. “Oriflame,” katanya. “Dulu aku sering dihina. Cowok kok jualannya kosmetik? Kayak banci. Awalnya ya, aku sempat malu, tapi lama-lama rasa malu itu hilang karena duitnya lumayan juga. Sebulan aku bisa menghasilkan kurang lebih Rp1,5 juta.”
Bagi Panji, kuncinya adalah tekad dan kemampuan melenyapkan gengsi. Baginya, gengsi adalah penghalang orang untuk maju.
“Makanya, yang paling penting hilangkan gengsi dulu. Dari situ, jalan akan terbuka buat mendapatkan pengalaman dan pengetahuan. Kalau pengalaman dan pengetahuan sudah didapat, keterbatasan bakal berhenti jadi keterbatasan. Justru, keterbatasan itu akan jadi privilese. Aku sih begitu,” sambungnya.
Menjadikan keterbatasan sebagai privilese jelas bukan urusan main-main. Tak semua orang bisa melakukannya. Itulah mengapa kisah Panji ini hanyalah contoh dari pengecualian. Hanya sedikit anak dari keluarga miskin yang keluar dari jerat kemiskinan.
“Banyak yang cuma jadi tukang parkir, gitu-gitu,” ujar pria yang sempat mengikuti perlombaan Abang-None Jakarta tersebut.
“Mereka itu dulu bahkan enggak tahu UGM ada di mana. Pengetahuan itu yang mereka enggak punya. Padahal, pengetahuan apa pun itu penting. Kayak misalnya, aku. Dari dulu aku sudah sering belajar soal merek-merek fesyen terkenal. Kalau dipikir-pikir, buat apa? Tapi nyatanya sekarang terpakai, tuh, ilmunya.”
Kendati begitu, Panji tak menampik kenyataan bahwa memang ada yang salah dengan sistem pendidikan Indonesia yang menurutnya belum memihak kaum papa.
“Kayak beasiswa itu, yang LPDP. Seharusnya beasiswa itu ada proporsinya. Sekarang ‘kan modelnya pukul rata. Kalau begitu, yang diuntungkan adalah anak-anak orang mampu,” kata Panji.
“Misalnya, anak-anak orang mampu bisa les bahasa Inggris dari kecil. Akhirnya, kemampuan mereka lebih bagus daripada anak-anak orang kurang mampu. Tapi, LPDP enggak memandang itu.”
“Orang miskin itu mulainya enggak dari nol, tapi minus. Kalau sistemnya pukul rata seperti itu, enggak heran kalau yang miskin semakin tertinggal,” tandasnya.
Beda Modal Sejak Kecil
Tak banyak orang seperti Panji, setidaknya menurut hasil riset yang dirilis SMERU pada 2019 silam. Riset berjudul “Effect of Growing Up Poor on Labor Market Outcomes: Evidence from Indonesia” ini diterbitkan di makalah Internasional Asian Development Bank.
SMERU menemukan fakta bahwa pendapatan anak-anak miskin setelah dewasa 87% lebih rendah dibanding mereka yang sejak anak-anak dari keluarga yang bukan miskin.
SMERU menggunakan data dari Indonesian Family Life Survey atau IFLS. Caranya, mereka membandingkan pendapatan orang-orang yang pada tahun 2000 masih berusia 8–17 dengan pendapatan pada tahun 2014 ketika mereka telah berumur 22–31.
Parameter yang digunakan SMERU adalah pengeluaran. Orang miskin yang mereka maksud dalam riset tersebut adalah orang-orang yang angka konsumsi per kapita keluarganya di bawah garis kemiskinan. SMERU menilai, pengeluaran adalah parameter terbaik untuk mengukur kemiskinan di negara berkembang seperti Indonesia.
Namun, tak ada penjelasan mengapa penilaian demikian bisa muncul. Yang jelas, SMERU berargumen bahwa data dari IFLS itu sudah merepresentasikan 92 persen populasi miskin Indonesia. Adapun, data IFLS yang mereka gunakan adalah dari tahun 2000, 2007, dan 2014.
Ada tujuh faktor yang diuji oleh SMERU. Tiga dari tujuh faktor tersebut didapatkan hasilnya lewat tes, yaitu tes kognitif, matematika, serta kapasitas paru-paru. Kapasitas paru-paru sendiri, menurut SMERU, merupakan penanda kualitas kesehatan serta kualitas hidup seseorang.
Empat faktor lainnya adalah lama bersekolah, koneksi pekerjaan melalui kerabat, hasil kecenderungan tes depresi, serta bantuan dari pemerintah.
Lewat kolomnya di The Conversation, salah satu peneliti SMERU yang terlibat dalam riset tersebut, Rendy A. Diningrat, menyebutkan salah satu temuan menarik. Yakni, meskipun ada kesamaan hasil tes matematika antara anak miskin dan tidak, disparitas pendapatan tetap besar.
Dari sana, SMERU menyimpulkan bahwa disparitas pendapatan lahir karena ketimpangan yang terjadi sejak awal. Besaran modal anak-anak miskin kalah jauh ketimbang modal anak-anak dari keluarga mampu. Mereka, tulis Rendy, tidak berada pada garis awal yang sejajar dalam memperoleh kesempatan ekonomi.
Selain itu, SMERU juga menilai bantuan pemerintah, seperti BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan Raskin (Beras untuk Rakyat Miskin), belum efektif.
“BLT berfungsi sebagai pelindung sementara dengan menyediakan uang kontan bagi keluarga miskin. Raskin, di sisi lain, cuma menyediakan beras dengan harga miring, sehingga keluarga miskin masih harus mengeluarkan uang untuk memenuhi kebutuhan lain,” tulis SMERU dalam makalahnya.
Meski demikian, ada nada optimistis di makalah SMERU tadi, yakni lewat munculnya Program Keluarga Harapan (PKH). SMERU mengakui bahwa hasil konkret dari PKH ini belum bisa dilihat dalam waktu dekat. Akan tetapi, mereka menilai program ini bisa lebih efektif dalam memutus rantai kemiskinan.
Pasalnya, intervensi yang lahir lewat PKH sendiri lebih terarah. Lewat PKH, pemerintah mensubsidi 15–20 persen pengeluaran tahunan sebuah keluarga miskin dan dana subsidi tersebut secara khusus digunakan untuk memastikan anak tidak putus sekolah, merawat ibu hamil secara berkala, serta memberi imunisasi bagi para balita.
Pada 2018, sebuah penelitian dari Cahyadi dkk. menunjukkan bahwa PKH berhasil memangkas angka anak putus sekolah sampai 50 persen. Selain itu, akses terhadap tenaga medis profesional juga bisa didapatkan dengan lebih mudah oleh para ibu dari keluarga miskin. Namun, efek jangka panjangnya memang belum bisa ditakar lantaran PKH sendiri baru berjalan delapan tahun.
Rendy mengakui bahwa penelitian SMERU rilisan 2019 itu belum bisa menjawab pertanyaan mengapa rantai kemiskinan sulit sekali diputus. Untuk itu, Rendy mengarahkan pembaca ke penelitian lain yang hasilnya dirilis pada 2015.
Jika penelitian 2019 itu bersifat kuantitatif, penelitian 2015 bersifat kualitatif. Artinya, SMERU benar-benar turun mewawancarai 250 anak yang tersebar di tiga kota: Jakarta, Makassar, dan Surakarta. Subjek penelitian adalah anak-anak berusia 6–17 tahun.
Berbagai masalah yang dihadapi anak dari keluarga miskin dibedah dalam penelitian ini, termasuk kekurangan akses pendidikan nonformal, baik yang sifatnya mendukung capaian pendidikan formal maupun yang sifatnya mengasah keterampilan serta kemampuan emosional dan spiritual bahkan sejak usia dini.
Akses lain yang tidak dimiliki anak-anak kurang mampu adalah jejaring dan pengalaman baru. Ketiadaan telepon genggam (ponsel) dan kendaraan bermotor menjadi faktor utama.
Selain itu ada persoalan dalam pola pengasuhan. Anak-anak dari keluarga miskin mengaku sering dipukul orangtuanya ketika berbuat kesalahan.
Anak-anak keluarga miskin seringkali harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Kebanyakan dari mereka harus melakoni pekerjaan kasar seperti menjadi tukang parkir, tukang cuci mobil, bahkan pemulung.
“Selain itu, sebagian orangtua tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan cukup dalam mendidik anak. Akibatnya, anak-anak miskin menjadi kekurangan pengawasan dan petunjuk dari orangtuanya di kehidupan sehari-hari,” tutup laporan berjudul “Urban Child Poverty and Disparity: The Unheard Voices of Children living in Poverty in Indonesia” tersebut.