Dari Bankir ke Kurator: E.W. van Orsoy de Flines

Dari Bankir ke Kurator: E.W. Orsoy van de Flines “Halo, aku Egbert Willem Orsoy van de Flines” “Aku pria berdarah Belanda yang sangat mencintai tanah Hindia Belanda” “Kecintaanku ini bermula dari kehidupanku setelah dipindahkan dari Suriname ke negeri kaya sejarah itu pada 1913” “Semua ini berawal dari hobiku bercengkrama dengan tukang antik semasa bekerja di Koloniale Bank” “Aku bahkan rela resign dari posisiku sebagai kepala cabang Koloniale Bank Semarang pada 1927 dan menetap di Ungaran untuk menikmati slow living, menjadi pengelola kebun sembari melakukan penelitian tentang keramik kuno di utara Jawa” “Aku banyak menyumbangkan beberapa dari 1.100 koleksiku pada Bataviaasch Genootschap, hal ini membawaku menjadi anggota terhormat dari perkumpulan ini pada 1929” “Pada 1932 aku bertekad untuk menyerahkan seluruh koleksiku pada Bataviaasch Genootschap” “Mereka bilang bahwa temuanku ini memiliki pengaruh besar pada informasi seputar sejarah Cina di Nusantara” “Hingga kemerdekaan tiba, tekadku justru semakin bulat untuk mengabdikan diri di dunia keramik kuno di Indonesia ini” “Sayangnya aku harus diberhentikan secara terhormat dan kembali pulang ke Amsterdam pada 1959” “Aku bahkan tidak punya uang ketika akan pulang. Aku terpaksa menjual alih-alih menyumbangkan koleksiku yang berharga itu pada museum” Bukan sembarang pengelola perkebunan di Ungaran, pria ini rela melakukan penelitian sepanjang tepi pantai lama untuk menemukan jejak cintanya, benda-benda kuno nan unik yang menyimpan banyak cerita sejarah. Inilah kisah kurator legendaris Hindia Belanda, E. W. Orsoy van de Flines. Pernahkah kamu melihat koleksi keramik di Museum Nasional Jakarta? Koleksi-koleksi tersebut merupakan salah satu koleksi penting dalam sejarah dunia yang berhasil dikumpulkan oleh seseorang yang tinggal di Hindia Belanda. Ia bernama E. W. Orsoy van de Flines. Egbert Willem Orsoy van de Flines adalah seorang berdarah Belanda yang mengabdikan hidupnya untuk Hindia Belanda. Ia lahir di Amsterdam dengan nama Egbert de Flines pada 1886. De Flines hidup dalam lingkungan keluarga kaya. Ayahnya adalah seorang direktur toko alat tulis dan perusahaan percetakan bernama Blikman en Sartorius. Setelah selesai mengenyam pendidikan di Eerste Openbare Handelsschool, semacam sekolah menengah umum bidang perdagangan, ia pindah ke Suriname pada 1908. Kisahnya di Hindia Belanda dimulai ketika ia pindah pada 1913 kemudian bekerja di Koloniale Bank pada 1917. Ia mengawali hobinya mengoleksi barang antik dengan bergabung bersama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada 1918. Selama tinggal di Hindia Belanda, de Flines banyak mengoleksi keramik-keramik antik yang biasa ia dapatkan dari tukang antik dan pedagang keliling. Dari keramik-keramik tersebut de Flines bisa menemukan sejarah keramik hingga informasi seputar persebarannya. Keramik-keramik yang berasal dari Cina itu ia kumpulkan di rumahnya yang ada di Semarang. Bersamaan dengan jumlah koleksinya yang semakin banyak, ia memutuskan pindah ke Ungaran pada 1925. Ia tinggal di dekat pos 12 di Desa Siwakoel, Oengaranschenweg dengan membeli rumah yang lebih luas daripada sebelumnya. Orsoy van de Flines bekerja di Koloniale Bank selama sepuluh tahun. Awalnya ia bekerja di cabang Surabaya namun kemudian dipindahkan ke Semarang. Setelah menjadi kepala cabang di Semarang, ia memutuskan untuk mengundurkan diri pada 1927. Tepat 1 April 1927 posisinya sudah digantikan oleh seseorang bernama Van Pernis. Pasca pengunduran dirinya, de Flines mulai fokus pada hobinya mengoleksi barang antik itu sembari menikmati kehidupan sebagai pengelola kebun. Pada 1928, ia pergi ke Belanda selama beberapa bulan. Ia pergi mengunjungi beberapa museum dan bertemu beberapa beberapa kurator seperti Nanne Ottema, pendiri dan kurator dari Museum Princessehof di Leeuwarden. De Flines kemudian membulatkan tekadnya untuk menyerahkan seluruh koleksinya yang telah ditambahkan pada 1928 bersama sejumlah uang kepada Koninklijk Bataviaasch Genootschap. Niatnya ini tercantum dalam sebuah surat wasiat yang ditulis oleh seorang notaris. Sepulangnya dari perjalanan itu, de Flines segera menemui perkumpulan dan menyampaikan maksudnya. Ia juga mengusulkan agar koleksinya segera ditempatkan di bawah pengawasan lembaga tersebut tanpa harus segera menyerahkannya kepada pihak lembaga. Dengan cara ini ia masih dapat kebebasan untuk menukar atau menjual keramik-keramik kuno yang ia koleksi. Koleksi keramik kunonya mungkin berjumlah lebih dari 1.100 buah yang sangat beragam yang berasal dari awal hingga pertengahan abad ke-17. Beberapa di antara koleksinya sudah mulai ia sumbangkan pada Bataviaasch Genootschap sejak ia bergabung dalam perkumpulan itu. Berkat kegigihannya dan kedermawanannya ini, de Flines kemudian diangkat menjadi anggota kehormatan perkumpulan tersebut pada 2 Desember 1929. Koleksi berharga ini banyak menarik perhatian masyarakat. Pernah pada suatu malam di bulan Desember 1929, seorang pribumi yang diduga berasal dari selatan mengendap memasuki rumahnya pada malam hari. De Flines memergoki orang itu berada di ruang koleksinya. Ia melawan penyusup itu hingga mengalami luka serius di dahi dan tangannya. Pada 1932, koleksinya mulai dipindahkan ke Batavia. Barang-barang antik yang berharga itu disimpan dalam kotak jati yang dibuat khusus dan diangkut dengan kereta api secara gratis. De Flines kemudian melakukan inventarisasi, pemajangan, dan pemberian label pada koleksi-koleksinya tersebut yang menghabiskan waktu kurang lebih selama satu tahun. Pada 1933, de keramische afdeling dibuka di museum milik Bataviaasch Genootschap dan de Flines ditunjuk menjadi kurator untuk koleksinya itu. Pada tahun yang sama ia juga diangkat menjadi Ridder dari de Orde van Oranje-Nassau. Pada 1930-an, banyak orang mulai melirik dan membeli barang-barang antik termasuk keramik kuno dari Asia. Meskipun pada masa tersebut terjadi krisis ekonomi, Bataviaasch Genootschap tetap berusaha membeli barang-barang kuno yang berharga itu. Setiap tahunnya lembaga ini membeli ratusan barang antik yang biayanya juga dibantu oleh de Flines. Temuan-temuan de Flines menunjukkan pentingnya peranan Cina di Nusantara. Ketika banyak arkeolog lebih memperhatikan peninggalan-peninggalan megah di sekitar dataran Kedu, de Flines justru tertarik pada keramik-keramik kuno yang sebagian besar ditemukan di kawasan pantai utara Jawa. Berkat kecakapannya ini, de Flines diangkat menjadi Penasihat Keramik pada 22 Februari 1940. Ia kerap dimintai nasihatnya oleh Dinas Arkeologi. Ia banyak membantu dalam identifikasi penemuan barang-barang kuno. De Flines pernah menyelamatkan Stutterheim dari kesalahan ketika menulis penelitiannya yang berdasar pada temuan kuno di Trowulan. De Flines menemukan bahwasannya sebagian karya tersebut merupakan barang tiruan yang dilakukan oleh penduduk setempat yang dilakukan atas perintah bupati untuk meningkatkan sumber pendapat dengan melakukan plagiasi karya-karya Majapahit. Pada 1939 ia juga melakukan penelitian di Sulawesi Tengah dan Selatan bersama rekan-rekannya dari Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala). Ia mencatat adanya kemiripan yang besar pada temuan keramik kuno yang ada di tempat itu dengan keramik yang ditemukan di Filipina. Pada 1940-1941, de Flines melakukan penelitian luas sekitar utara Jawa Tengah dalam upaya mengidentifikasi pemukiman Jawa awal berdasar pecahan-pecahan keramik yang ia temukan. Pada masa penjajahan Jepang, staf Belanda di lembaga penelitian ilmiah seperti museum ini tetap dipertahankan sehingga mereka tetap bekerja seperti biasanya. Namun setelah perang, rumah de Flines di Ungaran terbakar habis karena bentrokan dengan kaum nasionalis. Ia kemudian pindah ke Jakarta dan tinggal di ruangan belakang museum. Pasca-kemerdekaan Indonesia, de Flines masih mengabdikan dirinya pada museum. Hingga 1947, setidaknya sudah terkumpul lebih dari 5.000 koleksi keramik kuno yang berasal dari berbagai masa. Bataviaasch Genootschap kemudian berubah menjadi Lembaga Penelitian Indonesia pada 1950 dan de Flines tetap bekerja menjadi kurator koleksi arkeologi hingga sekretaris lembaga tersebut. Kecintaannya pada tanah air tidak berhenti di sana. Pada 1952, ia memberitahu pihak manajemen museum bahwa ia tidak ingin menggunakan haknya untuk pergi seperti rekan-rekan Belanda-nya yang lain. Ia bermaksud untuk menetap di Indonesia secara permanen. Beberapa tahun kemudian kondisi ekonomi semakin memburuk sehingga ia harus menjual sebagian koleksi perunggunya ke museum alih-alih menyumbangkannya seperti sebelum-sebelumnya. Pada 1957, John Alexander Pope berkunjung dan bertemu dengan de Flines. Ia sangat terkesan pada dedikasi de Flines pada penelitian terhadap keramik-keramik kuno itu. Namun di sisi lain de Flines rupanya banyak melakukan pekerjaannya sendiri sehingga kesehatannya terabaikan dan semakin menurun. Mengenai izin untuk tinggal menetap, pihak manajemen telah mengusahakannya. Namun ia tetap diberhentikan secara hormat pada September 1959 dan harus meninggalkan Indonesia seperti orang-orang Belanda lainnya. Untuk membiayai penyebrangannya menuju Belanda ia bahkan terpaksa harus kembali menjual koleksi-koleksinya lagi. Pagi hari 21 Oktober 1959, perpisahan dramatis terjadi di museum. De Flines kemudian menyerahkan kunci koleksi tersebut kepada penggantinya, Abu Ridho. Ia kembali ke Belanda menaiki kapal SS Oranje dari Tanjung Priok dan tiba di Amsterdam pada bulan November. De Flines juga diberi hak pensiun dari pemerintah berkat pengabdiannya pada Genootschap. Ia kemudian pindah ke panti jompo di Bussum. Sekembalinya di Belanda kesehatannya juga semakin membaik. Ia meninggal pada 16 September 1964 di Bussum dan dimakamkan di sana. Setelah kematiannya, beberapa koleksi yang berhasil ia bawa pulang ke Belanda dilelang oleh keluarganya di Mak van Waay di Amsterdam. Dua koleksi penting dari hasil lelang ini yakni sebuah maanfles awal abad ke-15 dan piring besar berwarna biru putih dari pertengahan abad ke-14 berakhir di Rijksmuseum. Beberapa koleksi de Flines juga ditambahkan ke Princessehof Ceramics Museum.