Pacarku Bukan Pacarku

Sejauh apa kesepian seseorang sampai mendorongnya untuk membayar orang lain untuk menemaninya?

Saya pertama kali tahu konsep ‘menyewa pacar’ dari beranda Facebook saya sekitar 4 tahun lalu. Postingan tersebut menceritakan pengalaman seseorang yang menggunakan jasa sewa pacar selama beberapa jam di Tokyo. Hasilnya memuaskan. Alis saya terangkat: ada ya jasa seperti itu? Lalu mengerut, para pacar sewaan ini apa nggak takut kena pelecehan atau kekerasan?

4 tahun kemudian, saya menyewa jasa pacar sewaan. Bedanya, koneksi saya dengan sang ‘pacar’ dimediasi oleh WhatsApp.

 

***

 

Siapa yang menyangka jasa sewa pacar akan sampai di Indonesia? Tentu saja bukan saya. Soalnya saya sendiri diberi tahu oleh seorang teman kalau layanan ini mulai berjamuran di Indonesia sejak akhir tahun lalu. Ada yang bernama ‘rent-a-girlfriend/boyfriend’ yang bisa diajak ngedate atau ke kondangan, lalu ada juga ‘virtual partner’ dimana kamu bisa pacaran virtual. 

Informasi ini berhasil membuat jiwa antropolog saya terusik. Berbekal rasa penasaran, saya memutuskan untuk mencoba menggunakan jasa ini lalu menuliskannya. Tapi berhubung saya orangnya curigaan dan malas keluar kamar, saya memutuskan untuk menggunakan jasa pacaran virtual saja. Teman tadi memberikan price list dari akun urvirtual.needs di Instagram, jadi saya memilih untuk menggunakan jasanya. 

Proses pendaftarannya ternyata gampang: saya hanya perlu menghubungi salah satu admin di WhatsApp, lalu tunggu admin menjawab. Saya memperkenalkan diri sebagai penulis dari Jurno dan mengutarakan maksud saya, yaitu untuk menyewa talent dan merekam interaksi kami untuk keperluan artikel ini. Saya cukup kaget ketika adminnya cepat merespons dan mengiyakan permintaan saya – saya kira saya bakal ditolak karena sifat pekerjaan ini cukup sensitif. Setelah deal-dealan dengan admin, saya mendapat kesempatan untuk ‘pacaran’ dengan dua orang: Raka di hari Jumat dan Mahesa di hari Minggu. Sebenarnya saya spesifik meminta 1 perempuan dan 1 laki-laki, tapi sayangnya talent perempuan sedang full-booked. 

Setelah selesai deal dengan admin, saya mengecek seluruh highlight akun mereka. Di highlight ini, para talent perempuan disebut sebagai princess dan talent laki-laki prince. Setidaknya ada 11 talent perempuan dan 23 talent laki-laki – semuanya menggunakan nama samaran. Profil talent diisi dengan suara masing-masing lalu deskripsi unik dan gombalan mereka. Cara ini unik, tapi buat saya tidak memberikan informasi berguna soal siapa mereka. Mungkin ini sengaja dilakukan untuk menimbulkan rasa penasaran sekaligus membuat jarak antara talent dengan klien. 

Perhatian saya terpatok ke profil Raka dan Mahesa, dua orang yang nantinya jadi pacar virtual saya di hari Jumat dan Minggu. Saya mencoba menerka-nerka seperti apa kepribadian mereka, tapi hasilnya nihil. Saya jadi bertanya-tanya, bagaimana caranya pelanggan yang pertama kali menggunakan jasa ini menentukan siapa yang akan menjadi pacar virtual mereka? 

Jumat pun datang. Admin bilang tiap talent akan mengontak jam 8 pagi. Namun Raka baru mengontak saya pukul 8.47. “Selamat pagi Ann!” tulisnya. “Kenalin aku Raka dari urvirtual.needs, sorry banget aku baru chat sekarang, ini baru sampe kantor, ga expect jalannya bakal semacet ituu.”

Oh udah kerja, batin saya. Syukurlah bukan anak kuliahan, jadi nggak canggung-canggung amat. Raka mengawali percakapan dengan menanyakan kabar dan kesibukan sehari-hari. Obrolan mengalir begitu saja – dari ini saya baru tahu kalau Raka bekerja di agensi dan sedang memegang proyek pemasaran sebuah brand besar. Revelasi ini mematahkan asumsi saya soal orang-orang yang kerja di bidang ini pasti orang-orang bokek.

Kami mengobrol soal minuman kesukaan, pengalaman sebagai anak kosan, olahraga, lalu jurusan kuliah. Ternyata Raka 2-3 tahun lebih tua dari saya – lagi-lagi fakta yang mengagetkan™ karena saya pikir yang ikut beginian pasti di sekitar umur anak-anak kuliahan bokek. Obrolan saya dengan Raka lumayan seru, tapi juga membuat saya bertanya-tanya: pengalaman pacarannya dimana? Ini mah nggak ada bedanya dengan saya ngobrol dengan teman sendiri.   

Jawabannya baru saya dapatkan di malam harinya. Raka bilang dia sengaja tidak memberikan boyfriend treatment karena di formulir pendaftaran saya tidak secara spesifik minta dipanggil “sayang”. Ditambah saya memesan jasa ini untuk urusan penelitian, sehingga dia menganggap itu sebagai bentuk batasan. Bhaique, pikir saya. Padahal kan saya pesan jasa situ karena ingin tahu rasanya pacaran sama anon! Tapi ya sudah, berarti ini catatan buat hari Minggu nanti. 

Obrolan berlanjut ke pengalamannya sebagai talent. Raka sendiri baru menjadi talent sekitar seminggu lebih. Selama seminggu itu, ia sudah melayani 30 klien yang membuatnya menjadi top talent minggu itu. Raka bilang tugasnya sebagai pacar virtual bermacam-macam, bisa disesuaikan dengan permintaan klien. Beberapa diantaranya: chatting (memberi kabar, cerita soal kehidupan atau masalah masing-masing, lempar candaan, dan tentu saja sayang-sayangan), telponan (maksimal 2 jam/hari), dan memberikan jawaban via voice note kalau jawabannya terlalu panjang untuk diketik. Pengecualian adalah video call dan meminta foto dan identitas asli talent.  

Kami lalu membicarakan soal alasannya bekerja sebagai talent–uang jelas bukan masalah karena dia sudah punya pekerjaan tetap. “Aku ingin berguna buat orang-orang. Rasanya senang sekali kalau bisa membantu orang lain memecahkan masalah mereka.” ucapnya via voice note. Saya mengangkat alis, ada ya orang se-selfless ini? 

Setelah dikorek-korek, ternyata ia baru mengalami peristiwa yang kurang mengenakkan. Peristiwa ini pula yang membuatnya tertarik untuk menjadi talent, sebagai upaya untuk mendistraksinya dari rasa sakit dan kesepian yang ditimbulkan dari peristiwa itu.

Saya lalu menanyakan pengalaman terbaik dia dengan klien. Ia menjawab klien pertamanya yang membookingnya untuk menjadi pacar virtual selama 3 hari. Sang klien bercerita kalau ia sering menangis karena masalahnya. Namun setelah menggunakan jasanya, sang klien mengatakan moodnya jauh lebih baik dan jadi jarang memikirkan masalahnya berkat solusi yang diberikan Raka. “Aku ngerasa aku abis bantuin orang yang bener-bener butuh, and it feels so goooooddd (sic).” tulisnya. 

Soal pengalaman buruk, menurutnya ketika ia harus menghadapi klien yang dingin atau datar. Komunikasi dengan mereka cenderung satu arah, kalaupun diberikan topik, hanya menjawab seadanya atau “iya” dan “oke” saja. Hal ini semakin menjengkelkan ketika sang klien memesan jasa pacar virtual. Selain itu, ada juga klien yang posesif, yang langsung marah kalau telat membalas chat 2 menit. “Sempet mikir orang kaya gini order jasa pacar virtual buat dia marahin doang apa gimanasiii (sic).” tulisnya lagi. 

Meskipun sudah melayani 30 klien, ia mengaku belum pernah baper ke kliennya. Ia mencoba untuk menjaga sikap profesional ke klien-kliennya. Tapi nampaknya ada pengecualian–ia masih ingin bertemu kembali dengan klien pertamanya. Beberapa hari lalu ada klien dengan nama yang sama, ia pun buru-buru mengambil order tersebut. “Tapi ternyata beda orang,” ujarnya sambil tertawa. “EH APAKAH AKU BAPER SAMA DIA???” 

Ya mana saya tahu, bambang. Tapi kayaknya iya sih, batin saya.

Saya menanyakan kapan dia mau berhenti menjadi talent. Ia bilang ketika tujuan dia yang ingin membantu orang-orang sudah terwujud, atau ia tak lagi melihat tujuan dari menjadi pacar virtual. 

Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Saya minta izin untuk tidur dan mengucapkan terima kasih ke Raka karena sudah berbaik hati menjelaskan pekerjaannya. Besoknya, pukul 9.27 Raka mengirimkan pesan yang berbunyi:

“good morning ann, aku mau infoin sesi kita udah selesai yaa dan sesuai peraturan urvirtual needs, aku harus block klien yg udah selesai sesinya. 

makasih udah mau bertukar cerita dan saling kenal di waktu yg singkat kita. sehat selalu dan jangan lupa bahagia!🙌🏼

izin block yaa, raka sign out!”

Sayangnya pagi (siang?) itu saya baru bangun sekitar jam 11, jadi saya tidak sempat say bye bye ke Raka. Ternyata begini ya endingnya? Agak kentang juga.

Besoknya, saya ada janji pacaran dengan talent bernama Mahesa. Sama seperti Raka, Mahesa duluan yang menyapa saya. Bedanya dengan Raka yang foto profilnya dibiarkan kosong, foto profil Mahesa adalah anak anjing. Saya tidak tahu itu anjing miliknya atau bukan, tapi kalau ya, lucu banget sih.

Mahesa mengucapkan selamat pagi sekitar jam 9, tapi baru saya balas sekitar jam 11. Tolong jangan judge saya, namanya weekend ya dibuat untuk bangun telat lah! Setelah basa-basi, saya langsung menembak dia untuk jadi pacar virtual saya seharian. 

Berbeda dengan Raka yang obrolannya mengalir, saya agak kesulitan mengobrol dengan Mahesa. Dia bukan texter yang baik, jadi kadang ia menjawab pertanyaan saya via voice note. Ia juga beberapa kali dengan manja meminta untuk menelepon saya. Saya beberapa kali menolak karena tidak nyaman menelpon orang yang belum saya kenal, tapi akhirnya saya iyakan permintaan dia buat telponan. 

Selama telponan, kami membicarakan kehidupan masing-masing. Di sini saya baru tahu kalau Mahesa dulunya bekerja sebagai chef masakan Indonesia dan Jepang sebelum pandemi memporak-porandakan kehidupan seluruh manusia. Sekarang ia menjalankan bisnis logistik. Dia sepertinya seumuran dengan saya, sedang menekuni olahraga mixed martial arts dan mau ikut kompetisi September nanti. Karena saya meminta boyfriend treatment, jadilah selama ditelpon saya dipanggil “sayang” dan segala variannya. Tentu saja saya juga memanggilnya “sayang” supaya lebih mendalami peran. Tapi lama-lama saya geli juga–jir, begini ya rasanya pacaran a la normie

Telepon kami hanya bertahan sebentar. Rupanya karena ia harus menyeleksi para talent baru–ada 19 orang yang mendaftar. “Talent yang baru bagus-bagus, bingung aku milihnyaa.” ucapnya. Saya pun menanyakan spesifikasi apa yang harus dimiliki oleh talent. Ternyata spesifikasinya cukup sederhana: gampang diajak ngobrol dan lajang. Tapi melihat feeds urvirtual.needs, nampaknya para talent setidaknya harus punya kemampuan menyanyi atau memainkan alat musik. Apalagi yang lebih romantis daripada dirayu dengan musik oleh sang kekasih?

Obrolan kami berlanjut, tapi via teks. Saya menanyakan hal yang sama ke Mahesa: berapa lama jadi pacar virtual? (2,5 minggu); Pernah baper nggak sama klien? (Nggak pernah soalnya males, udah males); Pernah ada klien yang baper sama kamu? (Pernah, tapi aku bilang aku harus profesional jadinya aku minta maaf); Pernah di-stalk? (Banyak sih, cek aja di Get Contact); Alasan jadi pacar virtual tuh apa? Jelas bukan masalah uang soalnya kamu udah punya pekerjaan tetap (Aku malam suka kesepian dan gampang drop karena overthinking, jadinya aku menganggap pekerjaan ini sebagai pelarian aku); Ada pengalaman buruk pas kerja? (Ada, pernah dilecehkan sama klien. Tapi abis itu kliennya di-blacklist.)

Besoknya, Mahesa masih mengirimkan pesan WA jam 7 pagi. Saya baru membalas jam 10, menanyakan kapan sesi saya dengan dia berakhir. Ia masih ingin melanjutkan obrolan kami, free of charge, karena menurut dia mengobrol dengan saya “seru”. Namun saya harus menolaknya karena saya menggunakan jasanya dalam kapasitas profesional. “I mean, maybe next time, kalau sekarang sorry banget [nggak bisa],ketik saya.

Semenit kemudian Mahesa mengucapkan terima kasih, lalu memblokir saya. Hubungan kami berakhir di situ. 

 

Karena Kita Semua Butuh Koneksi

Fenomena ‘sewa pacar’ yang muncul di Indonesia bisa ada berkat impor kultur Jepang. Para wibulah yang membawa fenomena ini ke negara ini, hingga diketahui oleh media massa dan akhirnya mengendap di kesadaran normies alias orang-orang awam. 

Di Jepang sendiri, fenomena ‘sewa-menyewa orang’ ini tak hanya terbatas ke pacar, tapi sampai ke menyewa orang untuk mensimulasikan keluarga. Industri ini begitu bonafid dan mengakar, sampai-sampai keberadaannya tidak dianggap ‘aneh’. Keberadaannya begitu krusial di masyarakat Jepang yang semakin kesepian; hanya dengan 20 ribu yen kamu bisa menyewa orang lain untuk menjadi teman, pacar, suami/istri, atau bos palsu mereka untuk memberikan ilusi bahwa mereka punya kehidupan sosial. Bahkan ‘hubungan palsu’ ini dianggap bisa bisa ‘menyembuhkan’ hikkikomoriorang-orang yang mengunci dirinya dari dunia luar karena trauma. 

Para penyedia hubungan palsu ini begitu berdedikasi ke layanan mereka, sampai-sampai tiap perusahaan mempelajari trik psikologi supaya mereka bisa benar-benar memenuhi kebutuhan klien. Saking ramainya, sampai ada manga dan anime yang terinspirasi dari fenomena ini: Rent-A-Girlfriend. Namun layaknya karakter sang pacar sewaan di Rent-A-Girlfriend, beberapa pacar sewaan bisa tidak sesuai dengan selera kamu karena mereka lebih memilih bersikap apa adanya. 

Pertanyaannya, kenapa bisnis palsu ini bisa begitu booming? Ishii Yuichi, pemilik bisnis serupa bernama Family Romance punya jawabannya: menurutnya, ini karena orang-orang Jepang bukanlah orang yang ekspresif. Banyak orang tidak mengkomunikasikan apa yang mereka inginkan dan pikirkan, karena mereka harus selalu mengutamakan orang lain. Tapi karena perubahan sosial yang begitu cepat dan semakin menyusutnya jumlah keluarga, berakibat ke memburuknya kehidupan sosial mereka.

Dari hubungan palsu, muncullah hubungan otentik–begitulah opini para penyedia jasa. Ironisnya, hubungan otentik ini hanya berkembang dalam lubuk klien mereka sendiri. Mereka yang menyediakan, berdalih mereka hanya menjalankan tugasnya. Para klienlah yang seharusnya paham bahwa ini adalah resiko dari membangun kebohongan.

Sebelum menjalani hubungan virtual, saya pikir saya akan cepat jatuh hati. Baper. Lupa bahwa ini adalah hubungan bohongan. Tapi ternyata asumsi saya salah–justru saya merasa tidak nyaman dengan hubungan virtual ini. Pasangan-pasangan saya bisa dibilang berhasil dalam mensimulasikan kedekatan antara kami berdua, tapi masih ada rasa kepalsuan di lidah. Saya pikir ini karena saya kurang lama menyewa jasa mereka, kurang mendalami peran sebagai ‘pacar’, dan kurang-kurang lainnya. 

Saya mendiskusikan perasaan ini ke seorang teman, yang menjawab “ya kamu nggak paham soalnya kamu ngga ngerasain kesepian.” Hm, benar juga. Saya tidak dalam posisi kepepet karena kesepian, jadinya saya tidak bisa 100% menghayati dan memahami apa yang dirasakan oleh para penyewa.

Namun posisi saya memberikan saya aerial view soal jasa ini. Artikel-artikel soal sewa pacar di Jepang seringkali membicarakan dari sisi penyedia jasa soal pengalaman mereka, tapi jarang mengorek lebih lanjut perasaan mereka ketika bekerja. Ishii sendiri bercerita kalau dia sempat merasa emosional ketika bekerja sebagai pengantin pria dari pernikahan bodong, jadi harus mengingatkan dirinya sendiri bahwa ini semua hanyalah pekerjaan dan tidak nyata. 

Hal yang senada juga saya tangkap dari Raka dan Mahesa: keduanya sama-sama merasa kesepian, tapi alih-alih menjadi konsumen, mereka memilih menjadi penyedia. Bagi Raka, berada di posisi memberi lebih memberikan kepuasan batin. Tapi jelas bagi keduanya bahwa keduanya membutuhkan pelarian dari rasa kesepian mereka sendiri. Sepertinya merasakan dan memahami rasa kesepian serta empati yang tinggi menjadi syarat utama untuk menjadi talent yang sukses.

Rasa kesepian inilah yang kadang membuat orang menjadi lebih sensitif dan mudah terbuka dengan orang lain. Dan ini nampaknya yang menjadi basis dari hubungan pacaran virtual ini: selama kontak, saya memberikan beberapa informasi sensitif soal saya dan begitu pula sebaliknya. Namun karena garis pembatas berupa WhatsApp (saya bahkan tak tahu wajah atau nama asli mereka, yang saya tahu dan saya yakin informasi benar adanya adalah suara mereka), saya jadi kesulitan menentukan apakah informasi-informasi yang mereka berikan benar adanya.

Saya paham pekerjaan ini memang membutuhkan privasi untuk kedua belah pihak, tapi terutama bagi para talent. Mereka lebih berisiko mengalami pelecehan, stalking, atau bahkan kekerasan dari konsumen yang kelewat batas. Kebutuhan untuk privasi, sekaligus cara untuk membuat ilusi ini benar-benar ada adalah lewat membangun karakter baru.

Di sinilah peran talent sebagai penegak batas. Kalau konsumen memaksa untuk masuk ke kehidupan pribadi talent, imajinasi yang dibangun oleh talent bisa buyar begitu saja. Tapi harus diakui bahwa manusia adalah pusatnya salah–tak jarang banyak yang menganggap perasaan mereka ke talent adalah perasaan sebenarnya. Hal serupa juga bisa terjadi ke talent. 

Kalau sudah begini, satu-satunya solusi adalah pergi keluar, menyentuh rumput lalu memaksa diri untuk mengobrol dengan manusia beneran, tanpa mediasi layar.