Pakaian Minimalis, Tapi Harga Bikin Meringis

Subtitel: Bagaimana quiet luxury menjadi tren—dan implikasinya untuk tren fesyen nanti.

Pekan lalu saya berkunjung ke Grand Indonesia. Saya memasuki sebuah toko baju—melihat, memegang bahan, serta membolak-balik pakaian dan label harganya. Maklum, saya bukan Nagita Slavina yang beli baju asal ambil saja tanpa melihat label harga. Harganya untuk kaos—yang lebih cocok untuk baju tidur—adalah Rp3 juta.

Mungkin saya bakal kaget kalau saya tidak tahu kaos Mark Zuckerberg yang terlihat biasa-biasa saja ternyata harganya nyaris Rp5 juta. Lalu fenomena ini semakin mentereng ketika Gwyneth Paltrow muncul di ruang sidang dengan pakaian minimalis padahal harganya fantastis. Lantas saya tahu, apa yang Zuckerberg dan Paltrow gunakan disebut “quiet luxury brands”.

Apa Itu Quiet Luxury Brands?
Kalau diterjemahkan, “quiet luxury brands” ya berarti “brands mewah yang senyap”. Jika diperjelas, quiet luxury adalah kemewahan tanpa kehebohan. Dibanding menunjukkan desain dan logo yang mencolok, quiet luxury lebih mengedepankan pada kualitas bahan, desain yang tak dikikis zaman, dan kenyamanan bagi pemakainya.

Walaupun warganet Indonesia baru dihebohkan dengan tren ini ketika kemunculan kaos Zuckerberg ataupun Elon Musk, nyatanya, quiet luxury sudah ada sejak era Renaisans di Italia. Bangsawan Italia akan memesan pada desainer untuk pakaian dengan kualitas terbaik dan modenya tak lekang oleh waktu. Biasanya, desainer juga akan membuatnya dengan sulaman yang rumit serta hiasan yang minim, sebagai ciri khas dari kemewahan yang diminta oleh golongan bangsawan.


Memasuki abad ke-20, quiet luxury menjadi lebih mendunia. Desainer yang menggarap quiet luxury mulai menciptakan label untuk pelanggan kelas atas. Merek-merek seperti Bottega Veneta, Cartier, dan Anderson mulai marak dan menjajaki kesuksesan sejak 1960-an.

Sampai saat ini, quiet luxury brands masih terus melejit. Coba tengok The Row, rumah fesyen yang didirikan oleh si kembar Olsen. Sekarang ia menjadi merek yang harus dimiliki oleh orang-orang. Pertumbuhan ini menandakan quiet luxury  tak akan tersingkirkan oleh gempuran fast fashion. Ia adalah produk yang konstan, merepresentasikan keanggunan, dan lebih mudah di-mix and match dengan beragam pakaian lainnya.

Quiet Luxury Brands Bisa Jadi Investasi

Kenaikan quiet luxury brands tidak bisa dilepaskan dari kritikan keras terhadap fast fashion. Produksi fast fashion yang serba cepat karena harus memenuhi tren-tren mini (microtrends) yang bisa berganti dalam hitungan minggu. Hal ini juga menimbulkan beberapa permasalahan, seperti konsumerisme, bahan pakaian dan jahitan yang rapuh serta penggunaan bahan yang tak ramah lingkungan (polyester). Faktor-faktor ini yang menyebabkan menggunungnya sampah tekstil. Oleh karena itu, beberapa pengamat menyarankan agar pembeli beralih ke produk slow fashion yang diproduksi secara etis dan berkualitas tinggi.

Sebaliknya, quiet luxury brands cenderung dijadikan investasi oleh sebagian pihak. Hal ini karena gaya yang simpel dari quiet luxury dan memang didesain tak lekang oleh zaman, memiliki kualitas kain dan jahitan yang bagus, serta fit yang lebih cantik. Hal ini juga didukung oleh beberapa kenalan saya yang gemar dengan quiet luxury brands. 

“Harganya memang mahal, ketika bayar ya kerasa banget duitnya abis. Tapi emang ini jadi basic pakaian yang gue pake terus.” - Hanni, 28 tahun, Senior Legal Corporate.

“Gue mager harus beli-beli, coba-coba, nyari yang oke. Makanya gue nggak suka fast fashion, gue lebih pilih yang simpel tapi bagus sekalian.” - Vendy, 32 tahun, Business Consultant.

“Nggak semua orang pasti bisa beli quiet luxury brands ya karena satu piece-nya aja bisa abis berapa juta. Gue sebenernya orangnya perhitungan banget. Kalo gue pengen trendi dengan fast fashion, terus konsepnya cuma beberapa kali pake, berarti kuantitas gue beli akan lebih sering dong. Uang yang dikeluarin memang nggak begitu banyak, tapi kan frekuensi belinya lebih sering. Kalau quiet luxury brands, gue cukup beli beberapa pieces aja dan itu bisa buat jangka panjang. Jadi kayaknya abis-abisnya duit nggak bakal beda jauh.” - Arya, 27 tahun, Senior Accounting Staff.

Dari tanya sana-sini secara kecil-kecilan, beberapa orang memang melihat quiet luxury brands sebagai ‘investasi’. Mereka tak perlu buang waktu dan uang berkali-kali untuk mengikuti tren yang ada. Apalagi, kualitasnya memang juara. Yah, singkatnya kalau kita bilang dalam bahasa kita, “ada barang, ada rupa”.

Banyak Orang Ingin Kelihatan Old Money Lewat Quiet Luxury Brands

Layaknya siklus tren, orang-orang yang dulunya memamerkan kekayaan lewat Louis Vuitton, Christian Dior, Balenciaga dengan logo yang mencolok, sekarang justru banyak orang ingin tampil dengan vibes old money dengan pakaian serba simpel. Sebabnya, gaya berpakaian old money identik dengan clean look, yang tak lain tak bukan adalah produk tanpa aksesoris berlebihan, mirip dengan konsep quiet luxury. Logo yang mencolok disebut-sebut sangat dihindari oleh orang-orang old money karena erat kaitannya dengan orang-orang new money. Mungkin Anda bisa lihat komparasi gaya berpakaian old money vs new money pada tautan ini.

Salah satu alasannya adalah orang-orang yang kaya sejak lama tak akan berlebihan memperlihatkan kekayaannya lewat penampilan. Namun mereka akan tetap mementingkan kualitas penggunaannya. Sebaliknya, orang new money disebut menggunakan desain yang mencolok untuk memamerkan bahwa barang yang dikenakannya adalah keluaran dari merk kaliber. Lagi pula, dari segi historis, terasa norak apabila bangsawan memamerkan kekayaan mereka lewat gaya desainer yang mencolok, sedangkan jutaan orang berjuang untuk kebutuhan hidup mereka.

Sayangnya, merek kelas atas dengan desain mencolok itu sudah banyak dijiplak sana-sini. Orang-orang yang ingin tampak ‘kaya’ di media sosial sebagian jadi enggan menggunakan produk yang sama. Alhasil, sebagian beralih mengikuti tren layaknya old money. Tren seperti ini sekarang juga digandrungi oleh generasi muda. Orang menyebutnya, dengan hal itu,  mereka sedang mengembangkan status sosial untuk mendapatkan kesan old money dan orang berprevilese. Ledekannya, disebut sedang bercosplay menjadi orang kaya sejak lama.

Namun saya rasa, tak ada salahnya kalau memang orang hendak mengenakan quiet luxury brands agar terlihat kaya atau bahkan untuk investasi. Produk quiet luxury juga bisa dijual kembali dan banyak peminatnya. Kalau tak percaya, coba saja anda cari di Carousell, “sweater bekas Loro Piana”, akan muncul bejibun hasil untuk itu.