Pandemi Tak Kasat Itu Bernama Gangguan Jiwa

Andin sadar ada yang salah dengan dirinya di semester lima. Ia sering bangun telat. Setiap ia membuka mata, nafasnya terasa berat. Dadanya sesak dan tubuhnya terasa kaku, seolah menolak untuk bangkit dari kasur. Ia beberapa kali bolos kelas dan terlambat mengumpulkan tugas. 

 

Tak butuh waktu lama untuk nafsu makannya ikut menurun. Biasanya ia makan tiga kali sehari dan kini hanya dua, atau bahkan sekali. Tampilan makanan yang biasanya menggugah selera malah membuatnya mual. Ini berefek ke angka BMI-nya: ia yang biasanya berada di batas normal berubah menjadi underweight hanya dalam waktu tiga bulan.

 

Melihat perubahannya yang cukup drastis, salah satu teman dekatnya mengajaknya ke psikolog kampus. Andin hanya bisa datang ke sana tiga kali karena biaya konsultasi yang cukup mahal. Ketiga pertemuan itu membuatnya mengerti bahwa yang ia alami sekarang adalah depresi. 

 

Dan Andin bukan satu-satunya mahasiswa yang mengalami gangguan kejiwaan. Kisahnya juga dialami oleh banyak mahasiswa lain, tapi sayangnya kurang mendapat perhatian. Kebanyakan hanya menjadi anekdot atau kalau sudah terlalu parah, menjadi bahan berita mahasiswa-bunuh-diri di koran daring. Seperti yang terjadi ke salah satu temannya setahun yang lalu. 

 

Minimnya intervensi membuat pendataan insiden depresi dan gangguan jiwa lainnya di mahasiswa Indonesia. Penelitian yang ada berfokus pada mahasiswa kedokteran, keperawatan, dan psikologi di universitas-universitas tertentu, sehingga jauh dari kata representatif. Bahkan setelah pembelajaran daring diberlakukan, penelitian tentang angka depresi dan gangguan cemas di kalangan mahasiswa masih terbatas di jurusan-jurusan tadi. 

 

Pentingnya Menyadari Gangguan Mental Sejak Dini

 

Secara garis besar, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia memprediksikan 1 dari 5 orang Indonesia memiliki potensi gangguan jiwa. Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan masyarakat muda berusia 15-24 tahun memiliki persentase depresi sebesar 6,2%. Pada kalangan mahasiswa, 6,9% mempunyai niatan untuk bunuh diri dan 3% lainnya pernah melakukan percobaan bunuh diri. Namun bisa saja angka tadi hanya sebagian kecil dari kejadian sebenarnya, mengingat belum ada survei nasional soal ini. 

 

Tetap saja data-data tadi menunjukkan mahasiswa merupakan kelompok yang rentan terkena gangguan jiwa dan percobaan bunuh diri. Susan Furr, dkk (2001) menunjukkan setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan depresi dan percobaan bunuh diri, antara lain (1) masalah nilai; (2) kesepian; (3) masalah keuangan; (4) masalah pacar; (5) merasa putus asa; (6) masalah orangtua; (7) masalah dengan aparat hukum; (8) dan lain-lain. 

 

Permasalahan-permasalahan tadi sebetulnya bukan masalah yang unik; semua orang tentunya pernah mengalami beberapa masalah tersebut. Namun yang membuat masalah-masalah tadi bisa membuat mahasiswa jatuh ke lubang depresi adalah situasi mereka yang spesial. Banyak dari mereka baru pertama kali tinggal sendiri di kota asing, tak jarang pula dengan kondisi keuangan pas-pasan. Mereka juga harus menghadapi kurikulum perkuliahan yang sangat berbeda dengan masa SMA dan beradaptasi dengan lingkungan kampus. Ketiadaancara coping yang bagus bisa mengakibatkan depresi dan gangguan cemas.

 

Andin sendiri mengatakan akar permasalahannya berasal dari kecenderungannya merasa kesepian dan mempertanyakan masa depannya setelah lulus nanti. Meskipun aktif di kegiatan kampus, ia merasa kesulitan membangun pertemanan yang berarti. Ia merasa latar belakangnya sebagai mahasiswa jurusan kurang populer akan membuatnya kesusahan mendapatkan pekerjaan. Apalagi Andin bukan berasal dari keluarga yang kaya–-setelah lulus ia harus membantu membiayai kuliah adiknya. 

 

Kekhawatiran-kekhawatiran ini terus mengotori pikiran Andin. Ia sulit tidur, bahkan kerap menangis karena kepalanya terus diganggu oleh pikiran-pikiran negatif. Susah tidur bisa menjadi tanda awal dari depresi dan gangguan cemas. Banyak mahasiswa yang mengalami hal ini. 

 

Isu ketakutan akan susahnya masuk ke pasar kerja setelah lulus kerap disuarakan oleh para mahasiswa. Beberapa memilih untuk melanjutkan kuliah untuk menghindari masalah ini. Tapi melanjutkan kuliah malah bisa memperburuk kesehatan mental mereka, seperti yang dilaporkan oleh penelitian Harvard. Penelitian yang melibatkan mahasiswa doktoral jurusan ekonomi menunjukkan 1 dari 4 mahasiswa mengalami gangguan depresi menengah hingga parah. 

 

Seolah masalah tersebut kurang, 40% mahasiswa doktoral menanggung beban hutang besar. Mereka yang memiliki posisi sebagai akademisi melaporkan hidup di garis kemiskinan Benar-benar definisi maju kena, mundur kena. 

 

Pandemi Memperburuk Kondisi

 

Sedihnya, pandemi memperparah kondisi kesehatan mental mahasiswa. Penelitian yang dilakukan Nur Cita dan Susantiningsih (2020) menunjukkan pembelajaran jarak jauh berefek negatif ke kesehatan mental mahasiswa. Sebanyak 88% responden melaporkan kecemasan berat dan 12% mengalami kecemasan sedang. Kecemasan mereka mempengaruhi respon perilaku (72%), kognitif (55%), fisiologis (42%), dan afektif (39%). 

 

Penelitian berbeda yang dilakukan di Tiongkok (2020) menunjukkan kekhawatiran soal keuangan keluarga, keterlambatan perkuliahan, kelangkaan masker, berita menakutkan soal Covid-19, dan physical distancing menjadi faktor terbesar penyumbang kecemasan pada mahasiswa. Menariknya, mereka yang tinggal di perkotaan dan tinggal bersama orangtua cenderung memiliki tingkat kecemasan yang lebih rendah dari mereka yang tinggal di pedesaan dan ngekos. Ini karena perkotaan memiliki sumber daya yang lebih banyak dan sanitasi yang lebih baik daripada pedesaan. 

 

Ini menunjukkan bahwa kita sebetulnya sedang melawan bukan 1, tapi 2 pandemi. Dan sayangnya, kita tidak siap menghadapi keduanya. Indonesia hanya memiliki 1.053 orang psikiater dan sekitar 2.500 psikolog klinis—ini artinya 1 psikiater harus melayani 250 ribu pasien. Belum lagi isu persebaran psikiater dan psikolog yang terbatas di kota-kota besar, membuat pasien dari luar daerah kesulitan untuk mengakses layanan kesehatan mental.

 

Isu biaya juga menjadi isu lainnya yang belum terpecahkan. Memang ada BPJS yang mencakup ongkos ke psikolog dan psikiater. Tapi beberapa orang melaporkan tidak bisa mengakses layanan tersebut karena dokter dari faskes pertama mereka menolak memberi surat rujukan. Artinya, banyak dokter Indonesia yang belum memiliki pengetahuan yang mumpuni soal gangguan mental.

 

Cerita tentang dokter-dokter tak kompeten ini membuat Andin, yang saat ini sedang mengerjakan skripsi, masih bimbang memutuskan mencari rujukan. Di satu sisi ia membutuhkan bantuan tenaga kesehatan profesional karena simptom yang ia rasakan semakin parah, tapi di sisi lain ia sangat cemas karena takut ditolak dokter. 


Untuk saat ini, Andin hanya bisa melakukan teknik mindfulness dasar yang pernah diajarkan psikolognya. Teknik ini tak selalu berhasil–terkadang, pikiran negatifnya jauh lebih keras dan membuatnya melukai dirinya sendiri. Lelah? Tentu saja, tapi apa lagi yang bisa ia lakukan selain bertahan, apapun caranya? Ia hanya berharap ia bisa segera lulus, mencari pekerjaan dengan gaji yang waras supaya bisa membayar terapinya sendiri.