Musim sakit seperti sekarang membuat banyak orang mengonsumsi obat-obatan, salah satunya antibiotik. Antibiotik sekarang seolah menjadi obat penyembuh segala penyakit, padahal fungsinya bukan itu. Obat ini bekerja dengan mencegah dan menghentikan pertumbuhan bakteri di dalam tubuh.
Namun, bagaimana jadinya jika tubuh justru tidak merespons antibiotik tersebut dan malah memperparah infeksi bakteri? Kondisi inilah yang disebut dengan resistensi antibiotik.
Baru-baru ini muncul kabar bahwa ada pandemi resistensi antibiotik di India. Kasus ini bermula dari Rumah Sakit Kasturba di negara bagian Maharashtra, India barat. Sebuah laporan baru oleh Dewan Riset Medis India (ICMR) bahkan menunjukkan kalau resistansi terhadap kelas antibiotik kuat yang disebut carbapenem meningkat hingga 10% dalam satu tahun. Carbapenem sendiri kerap digunakan untuk mengobati pneumonia dan sepsis yang bisa mengancam jiwa.
Ketika pasien yang terkena dua penyakit ini sudah kebal terhadap carbapenem, akibatnya bisa berujung fatal. Lebih mengkhawatirkannya lagi adalah semakin banyak pasien yang kebal terhadap antibiotik ini. Sejak tahun 2016, dokter-dokter India telah melaporkan 65% pasien yang terinfeksi pneumonia bisa diobati dengan antibiotik tersebut. Angka ini menurun menjadi 43% di tahun 2021, lalu menurun lagi di tahun 2022. Contohnya adalah kasus di Kolkata, dimana sekitar 6 dari 10 pasien yang dirawat di ICU sudah tidak mempan diberikan antibiotik.
Melihat tren ini, bukan tidak mungkin akan ada semakin banyak orang yang tak tertolong oleh antibiotik. Ulasan dalam jurnal The Lancet (2019) menyebutkan setidaknya ada 1,2 juta kematian di seluruh dunia yang diakibatkan infeksi bakteri yang resisten antibiotik setiap tahunnya. Resisten antibiotik ini sebetulnya masalah alamiah karena bakteri akan terus berevolusi supaya bisa terus bertahan hidup walaupun digempur antibiotik sekalipun.
Namun kondisi itu akan menjadi masalah besar, ketika resistensi bakteri dipercepat oleh penyalahgunaan antibiotik. Penyalahgunaan yang dimaksud ketika antibiotik digunakan tidak pada tempatnya. Sebagai contoh, infeksi virus tetapi diobati dengan antibiotik. Sayangnya hal ini kerap terjadi di awal pandemi COVID-19; banyak pasien mendapat berbagai macam antibiotik yang kemudian memicu resistensi antibiotik secara massal.
Akibatnya muncullah efek domino: pasien semakin lama dirawat di rumah sakit, yang mengakibatkan biaya pengobatan semakin membengkak. Angka kematian menjadi lebih tinggi karena tak ada obat yang manjur melawan infeksi dan banyak orang tak kebagian tempat tidur di rumah sakit.
Meminimalisir Resistensi Antibiotik
Untuk meminimalisir pandemi superbug ini, masyarakat perlu berhati-hati dalam menggunakan antibiotik. Tapi selain itu diperlukan intervensi serius oleh pemerintah terhadap pencegahan dan pengendalian infeksi patogen, baik bakteri, fungi, dan virus. WHO sendiri merekomendasikan beberapa langkah dalam mencegah dan mengendalikan penyebaran resistensi antibiotik:
Namun lebih dari itu, pemerintah dan tenaga kesehatan juga harus lebih ketat memperhatikan pemberian antibiotik. Pandemi kebal antibiotik yang diakibatkan oleh superbugs bisa terjadi di India karena dokter-dokter di sana sembarangan memberikan antibiotik. Hal ini bisa terjadi akibat tenaga kesehatan yang kewalahan mengurus pasien yang membludak. Para dokter tak punya waktu yang cukup untuk benar-benar mendiagnosa penyakit, sehingga mereka meresepkan antibiotik sebagai jalan pintas. Akhirnya muncul pemahaman yang salah di masyarakat; antibiotik dianggap sebagai obat bagi segala penyakit.
Selain pengawasan dan pemberian antibiotik yang lebih ketat, pemerintah juga harus lebih banyak berinvestasi ke infrastruktur kesehatan dan kebersihan masyarakat. Pembuatan diagnosis dan pengobatan yang tepat bisa dilakukan selama ada tenaga kesehatan dan peralatan diagnostik yang mumpuni.