Pekerja Gen Z dirugikan WFH, Tapi Ogah WFO

Saya adalah satu dari sekian pekerja muda yang baru memasuki pasar kerja beberapa bulan setelah pemerintah seluruh dunia melakukan lockdown. Semua pekerjaan dilakukan secara remote; mulai dari wawancara, perkenalan, hingga cara bekerja alias onboarding. Pertemuan saya dengan coworker terbatas di hari Jumat, via Zoom call yang berlangsung selama 1 hingga 3 jam.

 

Pengalaman kerja on-site baru saya rasakan dua bulan setelah bekerja. Awalnya menyenangkan karena seperti pekerja kantoran paripurna: bangun pagi, berangkat ke kantor, ketemu kolega, lalu pulang jam 5. Tapi setelah dua minggu pergi ke kantor, badan saya rasanya remuk. Jarak rumah yang jauh dari kantor, minimnya transportasi publik, dan tidak efektifnya kerja di kantor membuat saya enggan kerja di kantor lagi. 

 

Dipikir-pikir, lebih enak kerja di rumah dibanding ke kantor. Saya tidak perlu repot-repot bangun dan mandi pagi-pagi, mengejar jadwal bis atau kereta, bengong di kantor karena susah konsentrasi, lalu pulang desak-desakan dan baru sampai rumah pukul 9-10 malam. Saya pikir kawan-kawan sesama gen Z dan milenial bontot setuju dengan sentimen ini. Rupanya tidak—justru mereka yang paling depan dan lantang mengatakan “kami muak dengan WFH!” 

 

Ada apa gerangan?

 

Pekerja Muda yang Kehilangan Arah

 

Di kepala banyak orang, gen Z adalah kelompok anak muda tech-savvy, peduli lingkungan, berpikiran terbuka, sadar akan pentingnya kesehatan mental, dan menghargai otonomi diri. Seharusnya kelompok inilah yang paling senang dengan WFH, mengingat WFH memberikan fleksibilitas dan kesempatan untuk menekan jejak karbon. Namun, kenyataannya justru mereka yang paling dirugikan oleh WFH. 

 

Keluhan utama yang biasanya diutarakan oleh gen Z adalah sulitnya berhubungan dengan para kolega di kantor. Banyak yang mengeluhkan mereka tidak pernah bertemu—atau lebih parahnya lagi, melihat—rupa kolega. Ketiadaan interaksi dan hubungan yang berarti dengan kolega kantor punya efek besar ke bagaimana mereka menilai kemampuan profesional dan hubungan mereka dengan kolega. Efeknya, banyak yang terjangkit penyakit impostor syndrome atau mudah merasa tidak enakan.  

 

Selain itu, ada kesulitan berjejaring dan mendapatkan mentoring dari kolega. Dua hal ini diakibatkan oleh pekerja muda yang malu menanyakan cara bekerja ke kolega selama kerja remote karena takut dianggap naif. Padahal, dua hal ini sangat penting untuk mempersiapkan karir di masa depan. 

 

Pekerja gen Z juga mengeluhkan jam kerja yang panjang tanpa bayaran setimpal. Banyak yang berakhir bekerja lebih lama karena merasa tidak mampu membuat batasan ke atasan. Lebih dari itu, ketiadaan hubungan yang berarti di tempat kerja membuat mereka enggan menceritakan masalah kantor mereka ke HRD. 

 

 

Permasalahan utamanya bukan di pekerja muda, tapi di manajemen yang tidak siap. Manajemen langsung memberlakukan WFH tanpa perencanaan matang, memaksa para pekerja untuk bereksperimen. Percobaan ini tak selamanya mulus, dan imbas terbesarnya terasa di pekerja gen Z. 

 

Walaupun banyak dirugikan oleh WFH, gen Z tetap ingin bekerja dari rumah. Fleksibilitas WFH dianggap terlalu berharga untuk ditukar. Untuk mengurangi efek negatif dari WFH, gen Z meminta beberapa hal seperti layanan delivery makanan gratis dari kantor, video chat bareng-bareng, dan kelas olahraga virtual. Tiga hal ini paling banyak diminta karena gen Z memprioritaskan kesehatan fisik dan mental.

Sumber: Gen-Z Employees and Their Remote Workplace Woes - Ten Spot 

 

Untuk membuat pengalaman kerja yang lebih positif, pihak manajemen harus lebih proaktif. Caranya dengan merancang program onboarding (orientasi kerja) yang melibatkan anak baru sebanyak-banyaknya, seperti memasukkan mereka ke rapat-rapat terjadwal dan menyelesaikan tugas-tugas tim. Kegiatan-kegiatan ini tak hanya mengajarkan anak baru cara bekerja, tapi juga bisa membuat mereka merasa menjadi bagian dari kantor. Strategi ini tak hanya bagus untuk pekerja baru, tapi juga kantor karena bisa meningkatkan loyalitas pekerja. 


Dengan semakin banyaknya gen Z yang masuk ke dunia kerja, akan semakin banyak penyesuaian yang harus dilakukan. Bahkan bisa dibilang dunia kerja sekarang dipaksa untuk mendengarkan apa yang pekerja inginkan. Salah satunya adalah dengan menerapkan kerja hybrid dan memberikan lebih banyak fleksibilitas ke tangan pekerja. Jadi penasaran, kira-kira seperti apa ya kondisi kerja pasca-pandemi?