Pekerja Ingin WFH, Bos Ingin WFO

Pertanyaan “mending WFO atau WFH?” menjadi pusat perdebatan di Amerika Serikat sejak Maret lalu. Beberapa perusahaan teknologi raksasa seperti Google, Apple, Microsoft, dan Meta membuat aturan pekerja harus pergi ke kantor minimal 2 hingga 3 hari/minggunya. Tesla mengambil langkah yang lebih drastis—CEO-nya, Elon Musk, memaksa para pekerjanya untuk hadir di kantor minimal 40 jam/minggu atau dianggap mengundurkan diri.

Musk tak sendirian. Goldman Sachs dan Morgan Stanley meminta semua pekerja untuk kembali ke kantor 5 hari/minggu. Desakan untuk kembali kerja di kantor dilandasi oleh kebutuhan untuk membangun budaya kantor, inovasi, dan pembelajaran yang lebih efektif. Namun keduanya berujung memutuskan pekerja bisa datang ke kantor 3 sampai 4 hari/minggu.

Keputusan ini menuntut manajemen untuk membuat kantor lebih menarik. Beberapa diantaranya dengan membuat pantry penuh snack, kopi, dan bir (Google), menyuguhkan konser live, makanan, dan wine tasting (Microsoft), atau mengubah tempat kerja lebih terbuka alias open floor plan untuk mendorong kolaborasi antar pekerja. 

Pendekatan ini dianggap bisa menjadi cara untuk mengapresiasi para pekerja yang mau ke kantor. Di sisi lain, mereka juga menghukum para pekerja dengan mencabut tunjangan karyawan, seperti laundry gratis atau memotong gaji bagi pekerja yang memilih kerja remote di tempat yang lebih murah. Pekerja Apple bahkan meminta jajaran eksekutif Apple untuk memberikan mereka kebebasan untuk memilih kerja hybrid atau remote.  

Hal yang sama kurang lebih juga terjadi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan mulai mengaplikasikan hybrid work dengan hari ditentukan oleh perusahaan atau menerapkan full WFO. Ada kemungkinan lebih banyak perusahaan yang menerapkan peraturan full WFO seiring surutnya pandemi. 

WFH dan Hybrid Turunkan Tingkat Stres

Keinginan para pekerja berlawanan dengan para bos; para pekerja justru ingin bekerja hybrid atau bahkan remote. Hal ini ditunjukkan lewat penelitian Microsoft yang berjudul Great Expectations: Making Hybrid Work Work. Penelitian yang melibatkan 31.000 pekerja dari 33 negara termasuk Indonesia menunjukkan 52% pekerja ingin bekerja secara hybrid atau remote, sedangkan 50% bos ingin atau sudah menerapkan aturan WFO 100%. Perusahaan yang paling tinggi menerapkan aturan ini adalah perusahaan manufaktur (55%), retail (5%), dan perusahaan barang konsumsi (53%).

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Ruang Kerja mengkonfirmasi penelitian Microsoft. Penelitian yang melibatkan 67 pekerja Indonesia dari berbagai lini ini menunjukkan 68,7% pekerja memilih bekerja dengan metode hybrid, 25,4% memilih skema kerja 100% WFH, dan sisanya 6% memilih skema kerja 100% WFO. 

Metode kerja hybrid yang dianggap optimal bagi 63,2% responden adalah bekerja 2-3 hari/minggu dari rumah dan sisanya bekerja di kantor. Skema kerja hybrid dianggap bagus oleh responden karena memberikan keuntungan dari bekerja di rumah (tidak commuting, tempat kerja yang lebih nyaman, fleksibilitas kerja) dan kantor (bersosialisasi dengan teman kerja dan koordinasi yang lebih cepat dan on the spot). Kerja hybrid juga mengurangi tingkat stres yang diakibatkan oleh perjalanan pulang-pergi bagi 52,6% pekerja.

Demi Kultur Kantor

Pertanyaannya, kenapa para bos-bos ini ingin pekerja kembali ke kantor? Padahal produktivitas dan kebahagiaan pekerja meningkat selama kebijakan WFH diberlakukan, seperti yang ditunjukkan oleh survei Owl Labs, VOX EU, dan studi-studi lainnya. Kenaikan produktivitas ini bisa diatribusikan ke berkurangnya waktu yang dihabiskan untuk pulang-pergi kantor, waktu basa-basi dengan teman kerja, tempat kerja yang lebih nyaman bagi pekerja, dan fleksibilitas yang malah menaikkan jumlah jam kerja.  

Meski begitu, bos-bos masih ingin para pekerjanya kembali ke kantor. Mereka mengatakan kembalinya pekerja ke kantor penting untuk menumbuhkan kultur perusahaan, meningkatkan teamwork, dan juga meningkatkan inovasi. Menurut mereka, hal-hal ini hanya bisa dilakukan via WFO. Teamwork menjadi isu yang krusial karena pekerja yang memiliki hubungan yang erat dengan timnya merasakan tingkat kesejahteraan dan produktivitas yang lebih tinggi. 

Namun, keputusan para bos dan manajer ini mendapat banyak kritikan keras dari media dan para pekerja. Ed Zitron dari The Atlantic menganggap kerja modern dibangun dari pekerjaan yang harus dilakukan di kantor–dan ini termasuk kerja-kerja manajerial yang seringkali hanya berputar ke mendelegasikan tugas dan mengomeli pekerja. Ketika kerja berpindah ke ruang daring, para pekerja tak lagi membutuhkan perantara untuk bekerja karena mereka bisa mengkoordinasikannya sendiri via Slack atau Google Teams. Tak hanya itu, bekerja via aplikasi ini memaksa orang-orang untuk bersikap lebih baik dan bertanggung jawab ke teman kerja mereka supaya tidak diadukan ke HR. 

Jack Kelly dari Forbes juga mengamini pendapat Zitron. Kelly menyebutnya sebagai “the game”, dimana para pekerja harus memainkan kartu politik kantor untuk naik jabatan. Bekerja keras dengan hasil mengagumkan tak lagi cukup, pekerja juga harus berkoneksi dengan orang dalam yang tepat, membuat diri mereka dikenal, menjilat bos, dan menunjukkan kalau mereka bekerja dalam waktu panjang hanya untuk menunjukkan kalau mereka benar-benar bekerja. Ini bukan bualan Kelly semata, karena ia sendirilah yang menyuruh para pekerja untuk melakukan hal-hal tadi untuk memajukan karier. 

Terus, Jalan Tengahnya Apa?

Jika perusahaan mau mempertahankan pekerja, hybrid work adalah opsi yang perlu diambil. Tak hanya itu, perusahaan juga harus mendengarkan apa yang mereka inginkan. Ini penting karena banyak pekerja kerah putih tak lagi ragu pindah kantor apabila perusahaan memaksakan kebijakan yang tak menguntungkan mereka, seperti menyuruh pekerja untuk ke kantor setiap hari.

Tak hanya itu, perusahaan juga harus memperhatikan kemampuan staf-staf manajerial mereka dalam memimpin tim. Ketidakjelasan yang diakibatkan oleh pandemi membuat banyak pekerja merasa cemas. Di sinilah pemimpin tim dengan kemampuan kepemimpinan yang baik dibutuhkan: mereka tak hanya berfungsi untuk meyakinkan para pekerja kalau pekerjaan mereka baik-baik saja, tapi juga berfungsi untuk mengkomunikasikan masalah dengan efektif, mempererat hubungan tim, dan menavigasi masalah pekerjaan. Pemimpin yang efektif juga bisa menaikkan tingkat produktivitas pekerja. 

Untuk memaksimalkan kerja hybrid, perusahaan bisa  mengubah desain kantor mereka ke open floor—Google bisa menjadi acuan. Dengan membuang sekat-sekat antar kubikel kerja, para pekerja bisa lebih banyak berinteraksi dan berkolaborasi. Desain ini memang sering dikritik karena bisa menurunkan konsentrasi dan kebahagiaan pekerja karena ketiadaan privasi. Namun kantor masih bisa mengurangi efek ini dengan menggunakan dancing wall yang bisa digunakan sebagai tempat penyimpanan sekaligus pembatas.

Intinya, kerja remote tidak akan sepenuhnya hilang. Teknologi yang menunjang sekaligus pengalaman kerja remote membuat pekerja sadar bahwa kerja bisa fleksibel. Tinggal perusahaan saja yang mau mendengarkan dan menyesuaikan diri dengan kemauan pekerja atau tidak.