Bukan Hanya Melawan Keringat yang Menetes, Pelari Perempuan Juga Berjuang Melawan Catcalling
Meski saya sering mengeluh akan ramainya Gelanggang Olahraga Bung Karno (GBK), toh saya tetap menghabiskan waktu luang saya untuk berlari di sana. Alasan paling utamanya adalah karena GBK tempat paling aman untuk berlari bagi perempuan yang suka berlari sendirian. Bukannya saya tidak pernah berusaha untuk mencari tempat yang nyaman sebagai alternatif tempat untuk berlari. Saya sudah tiga kali mencari rute baru tapi selalu berakhir di-catcall.
Adalah sebuah keberuntungan jika saat berlari saya hanya di-catcall dua kali. Angka ini, sayangnya, adalah angka rata-rata kejadian catcalling pribadi saya. Kadang-kadang bisa mencapai delapan kali. Jika di-breakdown, catcalling yang saya terima selama 5 bulan terakhir ada:
1) Rute Monas-Lapangan Banteng: di-catcall 5 kali.
2) Rute KS Tubun-S. Parman: di-catcall 8 kali.
3) Rute Taman Suropati-Stasiun Gondangdia: di-catcall 3 kali.
4) Rute Blok M: di-catcall 2 kali.
Yang lebih mengesalkan, saya lari bersama pasangan di blok M. Bayangkan kalau saya lari sendiri, kemungkinan saya akan mendapatkan jumlah catcalling lebih dari dua kali. Adapun bentuk catcalling yang saya terima bermacam-macam mulai dari diberikan siulan, suara ciuman dari jauh, diberikan teriakan dan komentar seksual, sampai yang lebih parah diikuti dan pura-pura akan ditabrak oleh pengendara motor.
Terus terang saya bukan tipikal perempuan yang dapat mengabaikan para lelaki cabul yang melakukan catcalling. Secara natural, respon badan saya langsung merasa terguncang dan gemetaran karena merasa dipermalukan di depan umum. Saya pun berlari kencang yang menyebabkan detak jantung mencapai ketinggian maksimum. Padahal detak jantung yang terlalu cepat dalam waktu yang lama bisa berbahaya bagi pelari.
Setelah berlari sebetulnya saya selalu berpikir keras. Apa salah saya sehingga lelaki-lelaki cabul tersebut memilih saya sebagai target catcalling mereka? Apa yang mereka harapkan dari perilaku mereka? Apakah mereka ingin mempermalukan saya? Ataukah mereka berharap saya merespons secara seksual?
Saya pikir pertanyaan-pertanyaan ini kerap terbit di benak para korban catcalling. Bagaimana tidak, perempuan jarang sekali bisa merasa aman di ruang publik. 4 dari 5 perempuan Indonesia melaporkan pernah mengalami pelecehan seksual—termasuk catcalling—di ruang publik.
Dari semua kegiatan publik yang dilakukan perempuan, berlari merupakan salah satu kegiatan yang paling rentan mengundang laki-laki cabul. Data Runner’s World pada tahun 2021 menunjukkan dari 2.000 pelari perempuan yang disurvei, sepertiganya mengalami catcalling saat berlari sendirian. Lebih dari 60% menyatakan mereka merasa cemas saat berlari sendirian. Hampir 50% menyatakan mereka memiliki ketakutan tersebut karena masalah keamanan pribadi. Akhirnya mereka memilih untuk berlari di tempat yang memang diperuntukan untuk berolahraga atau berlari secara berkelompok.
Namun, tetap saja, sulit untuk melihat hal ini sebagai solusi untuk masalah catcalling. Banyak perempuan (dan laki-laki) yang berlari bukan hanya untuk berolahraga, tapi juga untuk menjernihkan pikiran dan menyendiri. Belum lagi fakta bahwa berolahraga sendirian memberikan tingkat otonomi yang besar dalam hal rute, waktu, dan durasi.
Oleh karena itu pemerintah sudah melakukan hal yang benar dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), pada 9 Mei 2022 lalu. Dalam UU TPKS diatur bahwa catcalling atau pelecehan seksual verbal dapat dipidana. Menurut Pasal 5 UU TPKS, catcalling atau pelecehan verbal dan pelecehan nonfisik lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp10 juta. Bahkan sanksi pidana tersebut dapat ditambah dalam beberapa situasi atau keadaan tertentu misalnya terhadap anak, penyandang disabilitas atau perempuan hamil. Selain itu, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
Seharusnya dengan adanya regulasi yang sudah jelas mengatur sanksi pidana catcalling dengan jelas dapat membuat para pelaku catcalling hilang dari bumi ini. Namun kenyataannya penegakan hukum yang konsisten dan efektif terhadap catcalling masih kurang. Keterbatasan sumber daya, prioritas penegakan hukum yang berbeda, dan kendala administratif bisa menjadi hambatan. Beberapa kali kasus catcalling yang dilaporkan pun seringkali tidak ditindaklanjuti oleh para penegak hukum. Parahnya beberapa penegak hukum tersebut tidak terlepas dengan budaya yang mendukung pandangan bahwa pria memiliki hak untuk mengekspresikan keinginan seksual mereka secara terbuka tanpa mempedulikan perasaan dan keamanan perempuan.
Lagi-lagi sebagai pelari perempuan saya dipaksa untuk mengalah dengan berlari kelompok dan berlari di tempat berolahraga seperti GBK. Seharusnya bukan tanggung jawab saya dan pelari perempuan lainnya untuk mengubah hidup dan hobi kai untuk menghindari situasi yang membuat kami merasa tidak nyaman dan tidak aman. Sebaliknya, para pelakulah yang harus bertanggung jawab.