Pemuda-Pemudi Indonesia Jompo Karena Jarang Olahraga

Kuliah adalah masa kehidupan yang paling monumental. Ada banyak hal yang berubah: pertama kali tinggal sendiri, harus mengatur uang bulanan dari ortu yang tidak seberapa itu, dan… sakit 3P: perut, pinggang, punggung. Sakit perut karena makan sembarangan dan tidak teratur, sakit pinggang karena terlalu banyak duduk di kursi tidak ergonomis, dan sakit punggung karena kos tidak memberikan meja dan kursi kerja, jadi terpaksa mengerjakan tugas sambil bungkuk di kasur.

Saya—dan saya yakin semua pemuda-pemudi seluruh Indonesia—adalah pelanggan penyakit 3P ini. Ini yang mengherankan mengingat penyakit-penyakit ini biasanya diderita oleh manusia dewasa di atas 35 tahun. Alias populasi yang cenderung jarak bergerak karena dikerangkeng oleh bos di bilik kerja dari jam 9 sampai jam 5. Ada faktor U alias umur yang membuat tulang dan sendi tidak sekuat kita-kita yang masih di usia belasan sampai tengah 20an. 

Lalu apa penyebab banyak remaja dan dewasa muda—meminjam kosakata anak-anak Twitter—’jompo’?

Bangun, Rebahan, Tidur

Permasalahan ini sebetulnya tidak jauh-jauh dari betapa kurang bergeraknya kita sebagai manusia modern. Berkat teknologi, kita tidak lagi bekerja dan bergerak secara manual layaknya leluhur kita. Sialnya, jam kerja dan sekolah yang panjang membuat orang-orang semakin lelah untuk olahraga. Karena sudah kelewat lelah, jadilah akhir pekan dijadikan waktu untuk istirahat alih-alih olahraga.

Data BPS 2021 menunjukkan banyak anak muda Indonesia yang tidak berolahraga. Kesadaran untuk rutin berolahraga baru muncul di usia pra-lansia dan lansia. Padahal rutin berolahraga sejak dini bisa membuatmu lebih awet muda. Penelitian tahun 2018 menunjukkan orang-orang berusia 70 tahunan yang rutin olahraga punya tingkat kesehatan kardiovaskuler dan tulang lebih baik dibanding mereka yang tidak rutin berolahraga. Rutin berolahraga juga bisa membuatmu awet muda—tanya saja Sophia Latjuba dan Wulan Guritno.

Pandemi juga membuat orang-orang semakin jarang olahraga. Data statistik DKI Jakarta menunjukkan jatuhnya jumlah orang yang berolahraga di fasilitas olahraga publik di Maret 2020, lalu semakin turun di April 2020. Angkanya perlahan naik seiring dengan perkembangan infeksi Covid-19.  


Hal ini juga dikonfirmasi oleh penelitian BRIN. Orang-orang yang dulunya tidak pernah berolahraga, jadi mulai berolahraga karena pandemi. Alasannya macam-macam: dari karena bosan bengong di rumah karena WFH, ingin memulai gaya hidup sehat, sampai meningkatkan imunitas.


Sudah banyak dokter mewanti-wanti pentingnya olahraga untuk kesehatan. WHO menyarankan orang-orang berusia 19-65 tahun untuk melakukan 150-300 menit olahraga aerobik intensitas sedang atau 75-150 menit olahraga aerobik intensitas tinggi dalam seminggu. Itu juga harus ditambah dengan latihan otot minimal dua kali seminggu. Kalau sudah terlalu lama rebahan, WHO malah menyarankan untuk semakin meningkatkan intensitas dan waktu olahraganya.  

Kenapa? Karena terlalu lama rebahan atau duduk punya efek negatif ke kesehatan. Orang-orang tipe ini punya kemungkinan yang lebih tinggi untuk terkena diabetes karena resistensi insulin dan gula darah yang tak terkontrol, penyakit jantung, dan level trigliserida yang tinggi. Sialnya lagi, efek terlalu lama rebahan sulit dipulihkan, tulis Akins, dkk (2019). Para peneliti menyuruh 5 laki-laki dan 5 perempuan muda untuk tidak melakukan apa-apa alias duduk saja 13,5 jam sehari selama 4 hari berturut-turut. Di hari kelima mereka berolahraga selama 1 jam lalu dites. Hasilnya? Tingkat trigliserida dan gula darah mereka masih tinggi. 

Penelitian tadi belum bisa menjawab kenapa berolahraga setelah 4 hari bermalas-malasan tidak memperbaiki kondisi tubuh. Tapi mungkin ini menjadi alasan kenapa WHO menyarankan untuk berolahraga lebih intens bagi mereka yang sudah terlalu lama rebahan. 

Walaupun ancaman riil dari sakit jantung dan gula terlihat masih jauh bagi orang-orang muda seperti saya dan kamu, bukan berarti olahraga tidak penting. Kalau kamu sudah merasa sering sakit punggung dan pinggang, pusing, mudah lelah, sulit tidur, dan antek-anteknya, itu artinya kamu sudah merasakan efek langsung dari jarang berolahraga. 

Sayangnya, banyak yang sudah tahu hal ini tapi tidak kunjung olahraga. Banyak orang akan bilang mereka terlalu sibuk, makanya tidak punya waktu untuk olahraga. Alasan yang valid! Memang kapitalisme memeras sari kehidupan kita sampai titik terakhir. Tapi bagaimana dengan mereka yang… malas?

Perasaan malas ini dulunya juga menghinggapi saya. Ketika duduk di bangku SMA, entah kesambet apa, suatu sore yang masih terik bapak saya mengajak saya bersepeda keliling komplek. Awalnya mengayuh sepeda terasa berat. Sudah capek, panas pula. Tapi bapak saya terus mengajak saya bersepeda sampai saya melakukannya sendirian. Dari sepedaan di komplek, meluas menjadi sepedaan keliling kota. Saya pun berolahraga bukan lagi karena dipaksa, tapi karena sudah terbiasa dan juga senang. 

Kebiasaan bersepeda saya berakhir ketika pindah untuk kuliah. Jadilah selama 4 tahun saya hanya berolahraga secara sporadis. Akibatnya saya jadi sering terkena penyakit 3P. Masalahnya makin parah sejak saya mengerjakan skripsi. Saya semakin jarang keluar kamar kecuali untuk makan. Saya berusaha kembali olahraga, tapi gagal karena skripsi menghancurkan semangat hidup.

Saya baru benar-benar menseriusi olahraga ketika berat badan saya naik 20 kilogram, dampak dari terlalu banyak rebahan karena pandemi plus efek obat dokter. Perintah dokter sekaligus kemuakan melihat badan sendiri di depan kaca membuat saya mendaftar gym langsung setahun. 

Bulan pertama? Neraka. Bulan ketiga? Seru. Yang awalnya ingin berolahraga karena ingin kurus, berubah menjadi rasa senang karena akhirnya bisa meningkatkan volume otot.

Tapi masalahnya, kebanyakan orang berolahraga untuk menguruskan berat badan dalam waktu yang cepat alih-alih untuk tujuan kesehatan. Mereka biasanya akan berhenti di minggu atau bulan pertama karena tak kuat dengan efek samping olahraga yaitu pegal. Simptom ini biasanya baru hilang 2-3 hari setelah berolahraga yang membuat orang patah semangat. Padahal ini normal, mengingat tubuh harus mengkondisikan diri kembali setelah terlalu lama ‘tertidur’. Rasa sakit akan berkurang seiring dengan semakin seringnya tubuh diajak bergerak. 

Hal serupa juga dialami oleh mereka yang sudah terbiasa olahraga, tapi berhenti karena satu dan lain hal. Buat yang terbiasa olahraga aerobik seperti lari, berenang, dan bersepeda, penurunan kemampuan fitnes akan turun setelah 3 minggu tidak berolahraga. Untuk yang biasa angkat beban, kemampuan fitness baru turun setelah 8 minggu. Tapi untungnya, buat kembali ke kondisi semula hanya butuh beberapa minggu saja.

Masalah kedua, hanya karena kamu mulai berolahraga bukan berarti kamu bakal dapat hasil instan. Memang tiap orang akan punya hasil yang berbeda karena faktor genetik, diet, dan jenis olahraga. Tapi umumnya, orang-orang bakal bangun dengan lebih segar setelah 8-12 minggu olahraga rutin. Dalam 2-3 bulan itu belum tentu celanamu atau lenganmu bakal lebih mengecil. Karena lagi-lagi, menurunkan berat badan (secara sehat!) tidak secepat dan segampang itu. 

Perjalanan saya dengan olahraga sekarang sudah hampir dua tahun. Selama itu pula berat saya turun—itu pun tidak banyak. Tapi ada perbedaan antara kondisi mental dan fisik sebelum dan setelah saya berolahraga. Penyakit 3P yang dulu sering merayapi tubuh sekarang jarang terlihat. Kualitas tidur saya membaik, mood saya tidak sekacau dulu, dan konsentrasi saya membaik. Saya sekarang tidak begitu peduli dengan angka di timbangan. Perhatian saya sekarang ada di seberapa berat beban yang saya bisa angkat di gym nanti? Dan juga rasa senang setelah berolahraga.

Pengalaman ini juga yang membuat saya berpikir, mungkin alasan orang-orang untuk tetap rebahan ada dua. Pertama, karena masalah kesibukan yang tiada akhir dan kedua, karena melihat olahraga sebagai usaha demi membuat fisik terlihat lebih menarik. Berhubung kita masih menilai kesehatan lewat penampilan luar saja, akhirnya banyak yang merasa tidak perlu olahraga selama masih terlihat kurus. Padahal berat badan bukan satu-satunya indikator kesehatan. Alasan kedua juga bisa lebih mudah membuat patah semangat karena hasilnya tidak sebagus influencer olahraga di media sosial. 

Jadi ya, berolahraga dengan tujuan sehat dulu. Badan bagus atau tidak itu urusan nanti.