Penggelapan Pajak & Terlalu Banyak Mualaf: Kejatuhan Bani Umayyah

Penggelapan Pajak & Terlalu Banyak Mualaf: Kejatuhan Bani Umayyah
Kalau iman berantem sama ekonomi, yang menang kira-kira siapa? 🤔

Kemarahan publik atas kasus hukum terbaru yang melibatkan pejabat pajak Indonesia telah menyoroti masalah kepercayaan yang dalam antara pemerintah dan masyarakat. Dalam dunia pemerintahan, kepercayaan publik ibarat nasi bagi orang Jawa–tak bisa digantikan. Dan jika kita ingin menghancurkan kepercayaan itu, tak ada cara yang lebih efektif selain skandal korupsi yang juicy–seperti korupsi di departemen perpajakan.

Karena uang dan masyarakat memiliki hubungan yang erat: mudah dipahami, tetapi sulit diterima 😛 

Intinya, ketidakpatuhan terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas dapat merusak fondasi dari tata kelola pemerintahan. Ini bukan cuma terjadi di Indonesia, tapi juga rupanya efektif mendorong Bani Umayyah ke jurang kehancurannya.

Banyak Mualaf Tak Selalu Menguntungkan Umat Islam

Pada tahun 700, serombongan besar petani Persia dari Khurasan melakukan perjalanan ke Irak untuk memeluk agama Islam. Mereka berniat menghadap gubernur Irak saat itu, al-Hajjaj ibn Yusuf al-Thaqafi, agar diakui sebagai mualaf. Dengan menjadi mualaf, para petani ini berharap akan memperoleh perlakuan yang setara dengan umat Islam lainnya dan yang terpenting: dibebaskan dari pajak jizyah.

Jizyah adalah pajak yang dikenakan kepada non-Muslim yang tinggal di wilayah kekuasaan Islam. Terdapat pandangan yang umum di kalangan para ahli hukum Islam bahwa penarikan pajak jizyah terhadap non-Muslim adalah sebagai bentuk kehinaan  mereka atas ketidakpercayaan terhadap agama Islam  dan sebagai jaminan perlindungan yang diberikan kepada mereka oleh umat Islam. Penarikan pajak jizyah sendiri sudah berlaku sejak masa Nabi Muhammad SAW.

Pada era Nabi, penarikan pajak jizyah dapat berupa kesepakatan antara Nabi dengan wilayah yang dikuasai dalam bentuk upeti berkala berupa barang atau uang. Sedangkan di beberapa tempat lainnya, pajak jizyah ditetapkan sebagai pajak yang harus dibayarkan oleh setiap orang dewasa di wilayah tersebut. Kelak di era Kekhalifahan terdapat beberapa variasi dari besaran maupun metode penarikan dari pajak jizyah ini.

Kembali ke Gubernur al-Hajjaj, ia akhirnya menolak orang-orang Khurasan buat masuk Islam.

AVATAR KUCING JURNO: Lho, bukannya semakin banyak orang masuk Islam semakin baik?
AVATAR HAIDAR: Ah, itu kesimpulan tergesa-gesa yang lahir dari sisi emosional dan kebanggaan umat Islam perasaan Dik Jurno sj

Pertimbangan al-Hajjaj menolak mualaf baru adalah dampak ekonomi yang mungkin terjadi pada pemungutan pajak jizyah. Hajjaj akhirnya, memerintahkan mereka kembali ke Khurasan dan tidak mengakui mereka sebagai Muslim. Sebegitu besarkah dampak pajak jizyah ini terhadap negara, sehingga seorang gubernur dari kerajaan Islam dapat mencegah sekelompok orang, memeluk Islam?

Baitul Mal: Dari Menolong Orang yang Membutuhkan Jadi Menolong Orang yang Kelebihan

Semua bermula dari bagaimana para khalifah Bani Umayyah mempergunakan uang dari Baitul Mal. Baitul Mal adalah sebuah bank sentral bagi umat Muslim. Baitul Mal tadinya dipergunakan  untuk memenuhi kebutuhan umat Muslim dan membuat mereka sehat secara ekonomi. Sumber pemasukan Baitul Mal di antaranya adalah jizyah, zakat dan harta rampasan perang. Distribusi Baitul Mal tadinya diatur oleh Nabi Muhammad kepada kaum Muslim dan selanjutnya oleh Khalifah. 

Sejak era Bani Umayyah, terdapat penambahan fungsi dari Baitul Mal yang disebut Baitul Mal al-Khas. Baitul Mal al-Khas dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan personal para pangeran dan dan orang-orang di lingkungan istana seperti: istri-istri khalifah, para penjaga istana dan hadiah yang diberikan oleh Khalifah kepada bangsawan asing. Hal ini jelas pada akhirnya memberikan beban keuangan baru bagi rakyat.

Bani Umayyah secara sembrono segera menguras keuangan Baitul Mal untuk membiayai gaya hidup mewah mereka. Dalam beberapa kasus, Bani Umayyah tampak mempertontonkan kemegahan layaknya kaum bangsawan non-Arab. Untuk mencegah kolapsnya Baitul Mal, tentu Bani Umayyah memerlukan adanya pemasukan pajak yang konsisten dan memadai bagi kebutuhan mereka. Maka dari itu, persebaran Islam dinilai dapat mengganggu jalannyan praktik hura-hura istana.

Penolakan al-Hajjaj mencerminkan kekhawatiran yang lebih luas dari para gubernur Bani Umayyah untuk mencegah perpindahan agama yang masif pada saat itu. Para gubernur ini berupaya menjaga para mualaf agar tetap berada di wilayahnya masing-masing dan disusul dengan pengawasan ketat atas tingkat keimanan para mualaf. Semua bentuk pada praktik peribadatan Islam sehari-hari seperti khitan, salat, dan puasa menjadi indikator penilaian penguasa Bani Umayyah.

Jika iman seorang mualaf dianggap lemah atau palsu, para gubernur akan kembali mengenakan mereka pajak jizyah dan memperlakukan mereka sebagai non-Muslim. Bahkan dalam taraf tertentu, orang Persia yang masuk Islam tidak diberikan pembebasan langsung dari pajak jizyah. Hal ini jelas merupakan bentuk diskriminasi ekonomi oleh sistem Bani Umayyah dan eksploitasi para petugas pajak (yang kebetulan kaum bangsawan Persia) terhadap bangsa mereka sendiri.

Islam, Pajak dan Revolusi

Rasa Ketidakpuasan merebak di Khurasan. Hal ini memaksa Bani Umayyah untuk menghapus beban jizyah dari para mualaf di Khurasan. Kebijakan yang rupanya, segera dianulir dikarenakan minimnya pemasukan pajak akibat jumlah mualaf yang membeludak. Keputusan asal-asalan ini membawa serangkaian pemberontakan yang pecah di Sughd sampai  gubernur Umayyah terakhir di Khorasan, Nasr ibn Sayyar, memastikan pemungutan jizyah hanya bagi kaum non-Muslim.

Reformasi pajak oleh Nasr ternyata belum cukup untuk meredakan situasi yang sudah kacau itu. Rakyat Khurasan, setelah sekian lama menderita oleh pajak, terlanjur menemukan juru selamatnya: Bani Abbasiyah. Rival dari Bani Umayyah ini memang sudah sejak lama mengincar tampuk kekuasaan. Bani Abbasiyah yang menemukan momentum lantas mengumbar janji setinggi langit pada mualaf Khurasan: pembebasan dari jizyah dan keterlibatan di dalam pemerintahan.

Bani Abbasiyah lantas memulai pemberontakan secara terbuka pada tahun 747 M. Bani Umayyah dengan cepat rontok di hadapan kekuatan Bani Abbasiyah yang disokong para mualaf Persia. Pada 749 M, para pemberontak berhasil mengangkat khalifah pertama dari Bani Abbasiyah. Setahun kemudian, jejak perlawanan terakhir Bani Umayyah kandas di Sungai Zab. Tampaknya, pajak dapat sebegitu memuakkan sampai-sampai orang mampu berpindah keyakinan atau menggulingkan sebuah rezim, atau dalam kasus Khurasan, keduanya.