Penggemar Musik Mellow Lebih Mampu Berempati

Apakah kalian termasuk orang-orang yang suka menghakimi orang lain dari selera musiknya? Kalau ya, jangan khawatir karena sebenarnya memang ada kaitan antara musik dan karakter kognitif seseorang. Kaitan ini ditemukan oleh lima orang peneliti dari Inggris dan Amerika Serikat, dan telah dipublikasikan dalam artikel jurnal berjudul "Musical Preferences are Linked to Cognitive Styles" yang terbit 2015 lalu. 

 

Kelima peneliti tersebut ialah David M. Greenberg, Simon Baron-Cohen, David J. Stillwell, Michal Kosinski, dan Peter J. Rentfrow. Greenberg, Baron-Cohen, Stillwell, dan Rentfrow mewakili Universitas Cambridge, sementara Kosinski mewakili Universitas Stanford. Artikel jurnal yang mereka terbitkan itu sudah bisa diakses secara penuh lewat tautan ini.

 

Para peneliti mengakui bahwa sebenarnya penelitian untuk mencari hubungan antara selera musik dan sifat seseorang sudah banyak dilakukan. Musik bisa menggambarkan usia, kepribadian, dan nilai yang dianut oleh seseorang. Selain itu, selera musik juga bisa diprediksi lewat Big Five Personality Traits (Lima Ciri Kepribadian Utama).

 

Adapun, Lima Ciri Kepribadian Utama tersebut ialah Openness (Keterbukaan), Conscientiousness (Ketelitian), Extraversion (Ekstraversi), Agreeableness (Mudahnya Seseorang Setuju atau Tidak), dan Neuroticism (Neurotisisme).

 

Kendati penelitian sudah kerap dilakukan dengan hasil yang konsisten, Greenberg dkk. merasa bahwa itu belum bisa menjelaskan semuanya. Belum pernah ada penelitian untuk mencari kaitan antara selera musik dan karakter kognitif. Di sini, karakter kognitif yang dimaksud adalah empathizing dan systemizing. Dua karakter kognitif ini dicetuskan oleh Baron-Cohen yang sepanjang karier akademiknya memfokuskan diri pada studi autisme.

 

Empathizing adalah kemampuan seseorang untuk memahami, memprediksi, serta merespons kondisi mental orang lain. Systemizing adalah kemampuan memahami, memprediksi, dan merespons sifat dari sebuah sistem dengan menganalisis aturan-aturan yang mengikat sistem tersebut. Empathizing diukur dengan satuan EQ (Empathizing Quotient) dan systemizing dengan SQ-R (Systemizing Quotient-Revised).

 

Menurut temuan Baron-Cohen, orang dengan autisme memiliki SQ-R jauh lebih tinggi dibanding EQ-nya. Kemudian, perempuan cenderung memiliki EQ lebih tinggi ketimbang pria. Sedangkan, orang dengan skor EQ dan SQ-R berimbang masuk dalam kategori B alias Balance (Seimbang). Perbedaan "jenis otak" ini sendiri bersifat biologis. Misalnya, orang dengan nilai SQ-R tinggi punya hipotalamus dan basal ganglia ventral yang lebih besar. 

 

Sebelum ini, baru sedikit penelitian dilakukan untuk mencari kaitan selera musik dengan empati. Kemudian, sama sekali belum ada penelitian yang dilakukan untuk mencari hubungan antara musik dengan kemampuan analisis (systemizing) tadi.

 

Dalam penelitian ini Greenberg dkk. tidak menggunakan genre sebagai pembeda dalam musik yang mereka perdengarkan kepada responden. Dalihnya, genre sebenarnya hanya akal-akalan industri musik untuk kepentingan pemasaran. Sebagai gantinya, mereka mengklasifikasikan musik secara sonikal (karakter suara) lewat bantuan seorang ahli.

 

Ada lima dimensi sonikal yang digunakan yaitu MUSIC (Mellow, Unpretentious, Sophisticated, Intense, dan Contemporary). Musik Mellow memiliki ciri romantis, menenangkan, sedih, dan lambat seperti soft rock dan R&B. Unpretentious adalah musik yang simpel, menenangkan, lembut dan punya elemen akustikal seperti country dan folk.

 

Berikutnya, musik Sophisticated adalah yang kompleks dan dinamis seperti musik klasik, opera, dan avant-garde. Musik yang Intense adalah yang keras, agresif, dan kaya distorsi macam rock, punk, dan heavy metal. Terakhir, musik Contemporary biasanya perkusif, elektrik, dan tidak sedih seperti halnya musik elektronik, rap, atau acid jazz.

 

Meski setiap "genre" memiliki afiliasi sonikalnya sendiri-sendiri, sebenarnya karakter sonikal itu bisa ditemukan di semua "genre" tersebut sehingga contoh lagu yang diberikan kepada responden bisa lebih banyak. Dengan semakin luasnya area sampel, hasil yang didapatkan diharapkan bisa lebih valid karena bias genre secara tidak langsung akan terminimalisir.

 

Ada lima hal yang ingin dicari Greenberg dkk. dari penelitian ini, yaitu:

1. Menentukan apakah empathizing dan systemizing memiliki kaitan dengan selera musik.

2. Menguji apakah pola berulang bisa terlihat dalam preferensi genre, dalam hal ini rock dan jazz.

3. Menentukan bagaimana perbedaan selera musik ditentukan oleh jenis otak.

4. Mencari apakah preferensi psikologis dan sonikal ditentukan oleh jenis otak.

5. Menguji apakah temuan ini terbebas dari bias jenis kelamin dan ciri kepribadian.

 

Untuk menjawab lima pertanyaan tersebut, ada dua studi berbeda yang dilakukan oleh Greenberg dkk. Studi pertama khusus untuk mencari kaitan antara empati dan selera musik. Sedangkan, studi kedua difokuskan pada kaitan karakter kognitif dengan preferensi musik. 

 

Pada studi pertama, mereka menggunakan metode survei daring lewat kuis Facebook. Masing-masing responden diminta untuk menjawab tiga set kuesioner yang berfungsi untuk mengukur empati, ciri kepribadian, serta stimulus musik. Oh, ya, stimulus musik yang diberikan para peneliti di sini bukanlah musik yang biasa didengarkan di dunia luar melainkan musik yang mereka beli khusus untuk kepentingan riset. Tujuannya adalah untuk menghilangkan bias band atau artis favorit.

 

Ada empat sampel responden yang digunakan oleh Greenberg dkk. Sampel pertama hanya diperdengarkan 50 cuplikan dari 26 jenis musik berbeda. Sampel kedua diperdengarkan 25 cuplikan. Sampel ketiga hanya diperdengarkan musik rock, dan sampel keempat diperdengarkan musik jazz.

 

Hasilnya, Greenberg cs. bisa menyimpulkan bahwa selera musik memang memiliki korelasi dengan kapabilitas seseorang untuk berempati. Cara menghitungnya entahlah. Mereka memakai rumus matematika yang njelimet, jadi tidak perlulah dijabarkan di sini. Yang jelas, mereka setelah itu membuat tabel yang membuat hasil penelitian mereka sedikit lebih gampang dipahami.

 

Dalam tabel tersebut tampak bagaimana mereka yang skor empatinya lebih tinggi cenderung menyukai musik mellow. Sebaliknya, mereka yang lebih model kognitifnya systemizing lebih suka musik Intense. Ini terlepas dari genre, ya. Pada sampel 3 dan 4, di mana responden diperdengarkan musik rock dan jazz, yang paling berpengaruh tetaplah karakter sonikal lagu tersebut, apakah ia mellow atau intense.

 

Nah, dalam studi pertama ini, Greenberg dkk. juga berhasil mendapatkan hasil yang menunjukkan kaitan empati dengan selera musik tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin. Selain itu, lima ciri kepribadian utama tadi juga tidak berpengaruh ke dalam kaitan tersebut. Pasalnya, bagaimana angka EQ menentukan preferensi tetaplah konsisten.

 

Berangkat dari hasil yang ditemukan pada studi pertama, Greenberg dkk. lantas melanjutkan studi untuk mencari kaitan antara karakter kognitif dan preferensi musik. Metode risetnya sama, yaitu lewat kuesioner. Bedanya, kuesioner ini dilakukan via Amazon dan ada satu ukuran lain yang ditambahkan, yakni atribut musikal. Atribut musikal tidak sama dengan karakter sonikal karena ia mempertimbangkan pula aspek psikologis dari sebuah lagu.

 

Kendati ada faktor lain yang dimasukkan hitungan, studi 2 ini makin menegaskan konsistensi temuan dalam studi 1. Yakni, bahwa skor empathizing dan systemizing berkorelasi dengan selera musik secara berlawanan. Orang dengan jenis otak satu akan menyukai musik yang berbeda dari orang dengan jenis otak lainnya.

 

Bagi Greenberg dkk., tujuan utama dari penelitian ini, tentu saja, adalah untuk melakukan penelitian lain di masa depan, terutama dalam ranah autisme. Akan tetapi, bagi orang kebanyakan seperti kita, studi ini adalah "legitimasi" bahwa, jangan-jangan, anggapan kita terhadap seseorang berdasarkan selera musiknya selama ini memang benar.