Penggorengan dan Pelintiran Cancel Culture

Penggorengan dan Pelintiran Cancel Culture

 

Jika lima belas tahun lalu saya membaca berita bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin membela JK Rowling dalam pidatonya, ketika saya masih menggandrungi Harry Potter, tentu saya akan kebingungan. Tapi itulah yang terjadi sekitar setahun lalu: Vladimir Putin mengecam dunia ‘Barat’ yang ingin menghapus budaya Rusia dengan cancel culture, dan JK Rowling, sebutnya, juga menjadi korban cancel culture—sentimen yang terulang kembali hampir setahun kemudian di jagat twitter lokal.

Vladimir Putin bukan figur maupun pejabat publik pertama yang mengungkapkan pandangannya tentang cancel culture. Saking banyaknya figur publik bicara cancel culture baik di media sosial, di kesempatan wawancara, maupun di siaran televisi, ia menjadi topik politis yang cukup hangat—atau, di Indonesia, seringkali kita sebut dengan isu gorengan.

Awal kemunculan cancel culture memang tak bisa lepas dari konteks politisnya, yakni strategi resistensi kelompok minoritas dan/atau pendukung nilai-nilai sosial yang progresif untuk merebut kembali ruang aman. Cancel culture mendapat perhatian besar karena ia memanfaatkan ruang digital yang cair dan terbuka bagi ‘orang biasa’ untuk membentuk wacana. Sayangnya, perdebatan pro-kontra cancel culture melahirkan polarisasi politis yang diperalat oleh pihak-pihak sayap kanan.

 

Cancel Culture yang Dipelintir

 

Bahwa apa yang digadang-gadang sebagai “cancel culture” dapat menjadi perwujudan mentalitas gerombolan yang bisa membawa petaka di luar kendali memang tak bisa ditampik; melempar suatu permasalah ke wajah publik tentu akan menimbulkan reaksi-reaksi tak terduga. Sayangnya, ketakutan ini dipelintir tak sesuai proporsi oleh pihak-pihak yang merasa terancam dengan keberadaan cancel culture. Beberapa media kerap menggoreng cancel culture dalam bingkaian mentalitas gerombolan (mob mentality) yang main hakim sendiri dan mempermalukan, alat dominasi politik dan pembungkaman ‘oposisi’, penghapusan sejarah, persekusi sosial, sensor, dan hukuman atas opini berbeda yang mengancam kebebasan berekspresi serta kehidupan dan reputasi orang yang menjadi korban. Headline bombastis juga kerap digunakan untuk mendeskripsikan cancel culture: “gerombolan” yang “berbahaya”, “beracun”, dan “menakutkan”.

Selain media arus utama, media sosial juga berperan besar dalam kontestasi wacana. Pejabat dan figur publik banyak menyuarakan opini kontra cancel culture serupa dengan bingkaian-bingkaian media arus utama, mulai dari politisi, penyiar berita, pebisnis, dan figur televisi. Kontestasi wacana ini juga digaungkan di luar media sosial, seperti ketika para politisi di Konvensi Nasional Partai Republikan 2020 menyatakan keresahan mereka terhadap cancel culture sebagai fenomena politik yang membuat masyarakat dihantui ketakutan akan persekusi dan pengucilan.

Media dan pejabat publik sayap kanan yang mempolitisasi cancel culture sebagai kepanikan moral tercermin dalam polarisasi spektrum politik masyarakat, seperti yang ditunjukkan oleh hasil penelitian Pewresearch (2020). Merespons premis “apakah praktik call out di media sosial merupakan aksi main hakim sendiri atau menuntut akuntabilitas?” 59 persen responden Republikan konservatif menganggapnya sebagai aksi main hakim sendiri dan 78 persen responden Demokrat liberal sepakat dengan tuntutan akuntabilitas. Narasi bahwa cancel culture adalah “niatan buruk untuk menyakiti orang lain”, “bentuk sensor atas sejarah atau kebebasan berekspresi”, “upaya mengenyahkan semua orang yang berbeda pendapat”, dan “sebuah serangan terhadap masyarakat tradisional Amerika” banyak direproduksi dalam jawaban-jawaban responden berafiliasi politik Republikan.

Sentimen ini dibeokan oleh sebuah utas panjang di Twitter, menjelaskan tentang kasus “cancel culture” yang dialami oleh JK Rowling. Utas tersebut mendeskripsikan cancel culture sebagai “masing2 pihak hanya mau mendengar suaranya sendiri”, “masing2 pihak merasa paling benar (self-righteous)”, “hasrat pada semua pihak untuk menjadi kubu yg dominan seraya merendahkan yg lain”, di mana kata kunci tersebut bernada resonan dengan narasi responden berafiliasi politik kanan dalam riset Pewresearch di Amerika.

Cancel culture, yang seharusnya menjadi titik berangkat untuk mewacanakan akuntabilitas, kemudian dipelintir sedemikian rupa sebagai sesuatu yang berbahaya oleh kelompok kanan serta para pemegang status quo dan kuasa. Sadar atau tak sadar, yang mereka lakukan itu menguntungkan sistem yang melanggengkan kekerasan. Mereka memperalat ketakutan atas cancel culture untuk menghindari kritik, dan konsekuensi atas tindakan diskriminatif, yang seharusnya mereka hadapi.

 

Di Balik Cancel Culture

Seringkali, figur-figur yang hendak di-cancel adalah figur yang menyebarkan ujaran kebencian dan sarat kekerasan. Ujaran yang disebarkan JK Rowling, misalnya, sebagai orang yang dianggap korban cancel culture dalam narasi utas panjang tersebut, adalah ujaran kebencian yang mengancam kelompok transgender. Ujaran tersebut bukan hanya ‘opini’ yang bisa ‘didiskusikan’ dengan setara, tetapi ia punya konsekuensi terkait hidup (dan mati) kawan-kawan trans. Apa yang disebut sebagai cancel culture adalah upaya untuk menuntut akuntabilitas si penyebar ujaran kebencian, dan narasi paranoia soal cancel culture malah melindungi si pelaku.

Lagipula, jika cancel culture seberkuasa dan seberdampak yang mereka takutkan, bagaimana bisa JK Rowling masih mendapat panggung seluas-luasnya dan kapital sebesar-besarnya? Faktanya, pendukung JK Rowling di dunia maya tak hanya membelanya dari cancel culture, tapi juga turut berpartisipasi dalam ujaran dan pandangan transfobik. Laporan sebuah institusi LGBT+ internasional bahkan mencatat bahwa di beberapa bagian Inggris, “statistik laporan kejahatan berbasis kebencian terus meningkat …. dipengaruhi oleh meningkatnya bingkaian kebencian terhadap identitas dan komunitas trans di seluruh Inggris”. Toh, ada juga media besar yang merilis publikasi membela JK Rowling dan opini-opini transfobiknya.

Di Indonesia sendiri, ramainya kasus Gofar Hilman yang diadukan oleh delapan korban pelecehan seksual juga tak membuatnya minggat dari dunia hiburan. Ketika kasus tersebut naik, meski banyak yang meng-cancel, kontestasi wacana tentang kekerasan seksual tetap terbentur para pendukungnya yang membela dan mengungkapkan ujaran yang bernada victim blaming. Ketika salah satu korban mengaku ‘delusional’—dan lagi, pendukungnya langsung kembali beraksi—Gofar kembali menikmati panggung dunia maya. Tujuh korban lainnya seolah tak ada, dan perilaku melecehkan yang selama ini terpampang di konten-kontennya tak cukup ampuh untuk meng-cancel Gofar, apalagi menuntut akuntabilitas.

Faktanya, hanya sedikit orang yang di-cancel benar-benar menghadapi konsekuensi tindakannya sendiri, dan bingkaian sensasional atas cancel culture; dominasi, pembungkaman, persekusi, tak lebih dari tuduhan-tuduhan tak berdasar. Cancel culture ternyata tak memiliki kekuatan untuk menggulingkan seseorang dari posisi kuasa. Kapasitas cancel culture sendiri baru sebatas ‘menunjuk’ dan memperbesar suara, dibantu medium media sosial di mana informasi mengalir dengan cepat dan interaksi yang cair.

Namun, kapasitas ini pun terbentur kontestasi wacana. Aksi menunjuk dan memperbesar suara bisa menjadi efek bumerang, di mana pelaku kekerasan yang di-cancel juga dapat ‘menunjuk’ korban dan para pendukungnya memperbesar suara pelaku. Pelaku bisa saja memelintir tuntutan akuntabilitas publik dengan memposisikan diri sebagai korban cancel culture dalam rangka menghindari kritik dan konsekuensi. Cancel culture yang dipelintir paling berdampak pada, dan lagi-lagi menyisihkan, kelompok minoritas yang menjadi korban kekerasan, serta nilai-nilai progresif yang mereka perjuangkan.

Mengingat semangat awal cancel culture yang hendak berstrategi untuk menuntut akuntabilitas, cancel culture bisa menjadi alat mobilisasi untuk menuntut akuntabilitas–yang harus diikuti dengan advokasi. Namun, pelintiran wacana cancel culture membuat kita harus lebih jernih dan taktis, terutama ketika menilik lagi siapa yang diuntungkan dan disisihkan dalam kontestasi wacana tersebut. Pada akhirnya, yang kita semua sama-sama cari adalah keadilan.