Pensi Udah Eksis Dari Zaman Hindia Belanda

Pensi Udah Eksis Dari Zaman Hindia Belanda

Beberapa waktu lalu, saya baru saja menghadiri acara pentas seni (Pensi) teater musikal yang diadakan oleh Sekolah Cikal setiap tahunnya. Tentu membanggakan melihat anak-anak berlalu lalang untuk menunjukan penampilannya diatas panggung. Mereka sangat antusias menunjukan keterampilannya dalam menari dan berakting. Tidak ada rasa malu untuk tampil di hadapan ratusan pengunjung teater. Acara berlangsung dengan sangat meriah. Sorak sorai pengunjung memberikan dukungannya kepada para aktor hingga akhir acara.

Melihat pentas seni itu, saya jadi teringat dengan acara tahunan yang biasa digelar teman-teman semasa sekolah dulu. Saya dan teman-teman Organisasi Siswa (Osis) setiap tahun menyiapkan acara pensi yang menyajikan pertunjukan musik. Pengadaan pensi tersebut ditujukan untuk memeriahkan acara sekolah setelah masa Ujian Tengah Semester (UTS) atau Ujian Akhir Sekolah (UAS). Selain mengundang  seluruh siswa-siswi sekolah, kami juga biasanya mengundang anak-anak dari sekolah lain.  

PENSI JADI AJANG SEKOLAH PARTIKELIR BIAR BISA EKSIS DI MASYARAKAT

Pensi atau Pentas Seni sendiri telah menjadi ajang tahunan yang diadakan oleh tiap sekolah di Indonesia. Eksistensinya menjadi ajang kreativitas dan hiburan bagi anak-anak setelah sekian lama berjibaku dengan pelajaran-pelajaran di sekolah. 

Melihat antusiasme anak-anak ketika pensi di sekolah, saya jadi berpikir, kapan sebetulnya pensi mulai dilakukan di sekolah-sekolah di Indonesia. Setelah ditelusuri lebih dalam, ternyata acara pensi sudah eksis dilakukan sejak masa Hindia Belanda loh! Coba kita simak lebih lanjut perbedaan pensi masa kolonial dan masa kemerdekaan.

Sebelum pensi eksis di kalangan sekolah, Pensi pada masa kolonial lebih ditujukan untuk memeriahkan acara organisasi pergerakan. Kegiatan pensi kala itu biasanya ditunjukan dengan pementasan teater, musik, dan tarian. 

Organisasi Pergerakan yang berkembang pada masa itu kemudian mendirikan sekolah-sekolah partikelir (swasta) untuk kalangan pribumi. Namun, karena sekolah yang mereka dirikan adalah sekolah swasta, maka tidak sedikit dari mereka yang tidak menerima dukungan secara “finansial” dari pemerintah. 

Makanya, organisasi pergerakan mencoba memperoleh dana tambahan untuk sekolah mereka dengan cara melangsungkan pertunjukan seni di masyarakat. Dana yang mereka peroleh berasal dari penjualan karcis bahkan menarik sumbangan untuk setiap orang yang mau menonton pertunjukan. 

Seiring berkembangnya organisasi pergerakan dan sekolah partikelir, maka kegiatan Pensi juga semakin marak dilakukan.

Selain untuk menggalang dana bagi sekolah partikelir, kegiatan pensi masa kolonial juga didorong karena panitia pertunjukan teater yang sedang berlangsung adalah mantri guru dari sekolah tersebut. Tak ayal kemudian orang-orang yang terlibat di pertunjukan adalah anak-anak sekolah.   

Disamping alasan dana, pengadaan pensi oleh sekolah partikelir juga ditujukan untuk meningkatkan eksistensi sekolah di masyarakat. Hal itu ditujukan untuk meningkatkan jumlah siswa yang mendaftar di sekolah partikelir tersebut.  

Biasanya cara yang dilakukan untuk meningkatkan eksistensi sekolah adalah dengan memasang iklan melalui koran. Namun, cara yang paling efektif untuk menunjukan eksistensi sekolah pada masa itu adalah dengan mengadakan pensi yang memang digemari masyarakat. Pendaftaran sekolah partikelir biasanya mengalami peningkatan setelah dilangsungkannya pensi di masyarakat.

Selain untuk menambah dana dan meningkatkan eksistensi sekolah, pensi pada masa kolonial juga dilakukan ketika acara kelulusan siswa. Salah satunya adalah acara perpisahan siswa-siswi HIK (Hollandsch Inlandsche Kweekschool), sekolah guru pribumi pada 1913.

Pada pensi masa kolonial, selain siswa-siswi sekolah yang menjadi pemeran dan tokoh utama dari pertunjukan pensi, panitia dari sekolah partikelir juga bekerja sama dengan organisasi toneel (teater) yang ada di masa itu. Salah satu organisasi yang bekerjasama dengan sekolah partikelir adalah Organisasi Dardanella yang pada 1934 bekerjasama untuk memberikan sumbangan dana pertunjukan bagi sekolah Hollandsch Inlandsche School (HIS) Tirtajasa yang ada di Serang.

Sebelum terjadinya kerjasama dengan Dardanella, HIS Tirtajasa beberapa mengadakan pensi di wilayah yang memiliki cabang organisasi dan sekolah Tirtajasa. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari koran Bintang Timoer (22 Mei 1931), HIS Tirtajasa mengadakan pensi yang pemainnya merupakan pelajar sekolah. Pensi tersebut dilakukan pada 6 Juni 1931 yang berlokasi di Banten Park, Serang. Disana, para pelajar menampilkan pertunjukan teater yang berhasil menarik hati para penonton di Serang. Selain pertunjukan teater, mereka juga kerap menunjukan musik dan tarian tradisional dari daerah Banten. Dari pertunjukan tersebut, mereka mengumpulkan dana yang akan digunakan untuk keperluan sekolah. 

Selain itu, Organisasi Pelajar Bandung juga mengadakan pensi pada 6 Februari 1937. Pensi tersebut berupa pementasan teater dengan genre komedi yang diberi judul  “De vliegende Feeks” yang artinya “Si Tikus Terbang”.  Setelah pertunjukan selesai, Organisasi Pelajar Bandung melanjutkan kegiatan dengan pesta dansa. 

Pada masa Hindia Belanda, pensi menjadi ajang untuk memperoleh dana tambahan bagi sekolah partikelir sekaligus menjadi iklan yang efektif untuk memperkenalkan sekolah partikelir. Minat masyarakat yang tinggi akan pertunjukan teater membuat banyak organisasi pergerakan dan sekolah partikelir yang mengadakan pensi.

PENSI MASIH TETEP EKSIS TAPI TUJUANNYA MULAI BERUBAH

Selain masa kolonial, pensi masih terus eksis di dunia pendidikan Indonesia. Namun, berbeda dari masa kolonial yang mengadakan pensi sebagai ajang iklan sekolah dan mencari dana tambahan. Pensi pada masa Indonesia merdeka digunakan untuk meredam kerusuhan dan perkelahian antar pelajar yang merajalela di tahun 1980-an.

Sebagai upaya meredam kerusuhan antar pelajar, pemerintah dan pihak sekolah berupaya mengalihkan fokus pelajar di kegiatan lain, seperti kegiatan kesenian. Maka, dibuatkan acara pentas seni dengan konsep awal “Pesta Pelajar”. 

Pesta pelajar mulai dilakukan di Jogjakarta dimana sekolah-sekolah SMA bekerja sama mengadakan pensi. Keberhasilan dan kemeriahan Pesta Pelajar yang digelar di Jogja membuat eksistensinya menyebar hingga ke wilayah-wilayah lain, seperti Malang, Bandung, hingga Jakarta. 

Meski pensi memiliki eksistensi di kalangan pelajar Indonesia, kegiatan dan tujuan pensi mulai mengalami pergeseran sejak masa Hindia Belanda. Pensi masa Hindia Belanda kerap mempertunjukan seni teater. Sedangkan pada masa kini, pensi lebih condong menunjukan seni musik, terutama band. 

Nilai-nilai pensi juga mengalami pergeseran dimana pada masa Hindia Belanda, pensi menjadi salah satu ajang untuk memperkenalkan budaya-budaya yang dibawa oleh organisasi pergerakan. Namun, pada masa kini, kegiatan pensi lebih condong kepada memeriahkan acara melalui pertunjukan band dan musik populer dari Indonesia maupun luar negeri. 

Selain itu, tidak sedikit dari pelajar yang menjadikan pensi sebagai ajang untuk bergaya atau menunjukan kepopuleran sekolahnya di kalangan pelajar lain. Tak sedikit dari mereka bahkan berusaha mengadakan pensi yang mewah dengan mengundang band nasional yang memerlukan biaya mahal. Akibatnya, tak jarang setelah pensi berlangsung, muncul masalah baru dimana panitia pensi jadi memiliki hutan yang besar hanya untuk mengadakan pensi mewah. 

Selain itu, acara pensi juga menjadi ajang pihak sekolah dan panitia yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan tindak korupsi. Dana besar yang dibutuhkan untuk menggelar pensi menyebabkan diperlukannya iuran dana dari seluruh pelajar sekolah yang dilakukan setiap tahun. Namun, tidak jarang uang iuran yang berhasil dikumpulkan malah di salah gunakan (korupsi) oleh pihak sekolah maupun panitia pensi. Salah satu kasusnya terjadi di SMAN 3 Muaro Jambi, dimana setiap tahun siswa-siswi selalu dimintai iuran Rp. 75.000 guna melangsungkan acara pensi. Meski begitu, acara pensi tersebut tidak pernah dilangsungkan. Ketika diusut lebih lanjut, terdapat penyalahgunaan uang iuran pensi oleh pihak sekolah. 

Dari segi penonton, penonton pensi pada masa kini pun terjadi perubahan. Pada masa Hindia Belanda, para pelajar melakukan pertunjukan di kalangan masyarakat. Sedangkan pada masa kini, para pelajar melakukan pertunjukan di sekolah dengan para penonton yang mayoritas juga anak sekolahan ataupun mengundang siswa-siswi dari sekolah lain dengan syarat harus membeli tiket untuk menonton pensi.

Meski terjadi pergeseran makna dari pensi masa kolonial ke pensi masa kemerdekaan. Pensi masih menjadi ajang efektif untuk siswa-siswi menunjukan kreativitasnya dalam berseni. Pensi juga dapat menjadi ajang hiburan untuk siswa-siswi yang sudah sibuk dengan kegiatan belajar di sekolah. Namun, perlu diingat bahwa pengadaan pensi harus disesuaikan dengan kemampuan yang ada sehingga tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.