Kolom Mesin Waktu: Perang Antara Emerson, Lake & Palmer Melawan Bill & Brod

PERANG ANTARA EMERSON, LAKE & PALMER MELAWAN BILL & BROD

Oleh: Hikmat Darmawan


Bubbletext QUOTE: Rezim Soeharto saat itu melihat ancaman terakhir bagi “stabilitas” kekuasaannya adalah kelompok Islam politik dan politik Islam. Ketika kebijakan “Asas Tunggal” diterapkan, kelompok Islam politik yang memang paling keras menentang.

Ada banyak hal yang tak saya ingat, di antara hal-hal yang saya ingat dari masa kecil dan remaja saya. Saya ingat bahwa di seluruh masa kecil dan remaja saya tinggal di sebuah rumah petakan lima rumah. Saya ingat, pada mulanya di depan rumah petak kami adalah kebon luas dengan pohon mangga kwini dan pohon kecapi menjulang. Saya tidak ingat kapan tiba-tiba saja pekarangan yang terasa luas itu jadi gang, karena seorang Pak Haji pemilik kebon itu mendirikan tembok tinggi begitu saja dan kami kehilangan pemandangan kebon itu. 

Penghuni rumah petak itu tak terlalu sering berganti. Di lima rumah petak yang saling menempel itu, keluarga saya mengontrak di rumah tengah. Lama-lama, Mamah atau Papap memutuskan untuk mengontrak juga rumah sebelah kanan, lalu menjebol sebagian dinding, sehingga rumah keluarga saya jadi paling besar di antara petakan itu. Bagian belakang bersambung semua, tapi sebagian dibangun oleh para pengontrak lama jadi dapur. Dulu ada sumur di belakang rumah kami. 

Saya tidak ingat siapa penghuni rumah sebelah kanan itu dulu, saat saya masih kelas satu SD. Tapi saya ingat, saya sempat seenaknya masuk ke rumah itu, dan ternyata penghuninya (saya lupa, apakah yang lelaki atau yang perempuan) sedang berpelukan dengan pacarnya. Kenapa saya masuk seenaknya, karena memang biasa main, dan mendengarkan kaset milik penghuni rumah sebelah itu. Salah satunya, kaset Ebiet G. Ade, seri lagu Camelia. Dasar rumah petakan. Relatif tak ada ruang privat. 

Saya juga tak ingat persisnya kapan, suatu ketika Papap (panggilan saya untuk Ayah) membeli satu set tape deck yang dalam lidah kampung kami disebut “tip dek”. Ayah saya memang agak hedon, sampai jelang wafat beberapa tahun lalu pun masih bandel senang jajan sembarangan setiap punya duit barang sedikit. Tapi, tip dek itu jelas penting buat saya, walau itu hasil obsesi jajan si Papap. Sebuah sekolah musik awal, melengkapi majalah Hai atau majalah Zaman yang kadang kami beli. Televisi hanya menyiarkan TVRI. Acara Aneka Ria Safari atau, favorit saya, Chandra Kirana adalah dua dari pilihan amat terbatas acara musik TVRI.

Apalagi nyatanya, untuk sekian lama, ada musisi yang dilarang tampil di TVRI. Misalnya, Rhoma Irama dan Iwan Fals. Rhoma Irama karena ia adalah juru kampanye partai non-pemerintah, PPP (Partai Persatuan Pembangunan) yang berorientasi Islam. Bertentangan dengan Golkar. Apalagi era asas tunggal, yang semakin kukuh setelah peristiwa Tanjung Priok di 1984. “Asas Tunggal” adalah ketetapan rezim Soeharto, semua ormas dan parpol (yang hanya tiga, masa itu) harus berasaskan Pancasila. Kebijakan ini terutama dirasakan sangat melumpuhkan PPP yang berasaskan Islam. 

Memang, rezim Soeharto saat itu melihat ancaman terakhir bagi “stabilitas” kekuasaannya adalah kelompok Islam politik dan politik Islam. Ketika kebijakan “Asas Tunggal” diterapkan, kelompok Islam politik yang memang paling keras menentang. Peristiwa Tanjung Priok, yang menurut sebagian saksi mata memakan korban sekitar 100 orang terbunuh (versi resmi, 19 terbunuh) jadi katalisator kebijakan itu: Tuh, kan, kalau mendasarkan politik pada ajaran agama (Islam), bakal terjadi kerusuhan. Rhoma Irama pada periode itu sedang dalam puncak popularitas dan mampu menggalang massa berjumlah besar. Dengan kata lain, ia dianggap mengancam rezim. 

Tapi, walau dilarang masuk TV, suara Rhoma Irama berkumandang di mana-mana. Di warung-warung, di radio tetangga, di angkot (angkutan kota). Saya sering luntang-lantung keliling kota sendirian, sekarang mungkin padanan katanya adalah “blusukan” sejak SD hingga men-DO-kan diri dari UI pada 1990-an. Suatu ketika, setelah jalan kaki di daerah Kemayoran, mungkin sehabis dari pameran buku IKAPI, kaki sudah pegal nggak keruan, lapar, makan sesuai bujet, di sebuah warung yang tegak di atas got bau. Radio bersuara sember melantun lagu Rhoma Irama, Syahdu. Saya yang masih angkuh mendaku penggemar hard rock dan progrock, diam-diam merasa lagu itu enak sekali. Mak nyes. Tapi, tak mungkin tip dek di rumah saya menyetel lagu-lagu Rhoma Irama. 

Tip Dek Papap akhirnya lebih banyak saya gunakan. Papap membeli kaset-kaset seperti Sweet Memories Vol. 1-6 terbitan Billboard dan Greatest Memories Vol. 1-2. Volume tip dek dipasang Papap biasanya tak lebih dari 4-5 dari 10. Saya kecanduan Rock, memutar volume “sampai 11” untuk lagu-lagu berisik seperti Gipsy Queen (Uriah Heep), Burn (Deep Purple), atau Karn Evil, 1st Impression, part 2 (Emerson, Lake & Palmer/ELP). Setelah dewasa dan tak lagi tinggal di kampung kota itu, saya pikir-pikir kasihan juga kampung saya, telah saya siksa dengan musik-musik yang secara sepihak saya anggap bagus dan “beradab” itu. 

Waktu itu tetangga agaknya melawan dengan menyetel tip dek mereka sendiri dengan volume “sampai 11” begitu tip dek di rumah saya senyap. Tetangga sebelah kanan saya, tentunya menyetel keras-keras lagu Ebiet G. Ade. Izinkahlah kukecup keningmu/Bukan sekadar hanya ada/di dalam angan. Dia mahasiswa (atau mahasiswi?). Saya lupa. Tetangga sebelah kiri, menyetel keras-keras lagu Madu & Racun dari Bill & Brod. Dan diam-diam, saya tidak tersiksa. Diam-diam, saya menikmati. Perang suara itu menguntungkan saya. Saya tak perlu beli kaset-kaset itu, dan toh bisa menikmati lagu-lagu tersebut secara maksimal. 

Pada 1990-an, guilty pleasure saya dari suara musik tetangga lain lagi. Waktu itu, saya jadi sering insomnia. Setelah suara radio terakhir, biasanya pada pk. 1, dan kamar saya senyap, malam merayap jadi pagi, saya terbenam dalam lamunan dan ide-ide, mencoba menulis apa saja, sayup terdengar suara radio tetangga. Radio siaran 24 jam, seingat saya RRI, dan pada jelang subuh menyiarkan klenengan. Penyiarnya mengantar dengan bahasa Jawa. Senimannya pun berbahasa Jawa. Adem. Walau, saya tak mengerti bahasanya.