Perangi TBC dengan Pendekatan Manusiawi

Subtitle: Sebuah cerita dari praktisi TBC di Jakarta Timur

 

Hari Tuberkulosis Sedunia yang diadakan setiap 24 Maret menjadi momen refleksi dan pengingat bahwa perjuangan melawan TBC masih panjang. Di balik statistik dan angka yang mencengangkan, terdapat individu dengan cerita, impian, dan hak untuk mendapatkan akses terhadap perawatan yang berkualitas.

 

Per Global Tuberculosis Report (2023), TBC menjadi penyebab kematian tertinggi kedua di dunia setelah COVID-19 pada tahun 2022. Penyakit ini menjangkit lebih dari 10 juta orang setiap tahunnya dan menyebabkan 1,3 juta orang meninggal di tahun 2022. Seharusnya angka ini bisa lebih rendah, tapi pandemi COVID-19 membuat upaya penekanan penyakit ini terhambat. 

 

Sayangnya, Indonesia menduduki posisi kedua dalam negara dengan jumlah penderita TBC terbanyak di dunia. Lebih dari 724.000 kasus TBC baru ditemukan pada 2022 yang kemudian meningkat menjadi 809.000 kasus pada 2023. Jumlah kasus naik menjadi 1.060.000 kasus—tertinggi sejauh ini—dengan lonjakan kasus tertinggi ada di populasi anak-anak. 

 

Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi representasi dari nyawa dan keluarga yang kehilangan. Kematian akibat TBC bukan hanya kehilangan angka, tetapi tragedi bagi keluarga dan masyarakat. Sebagai praktisi TBC, saya telah menyaksikan bagaimana TBC menghancurkan fisik, emosional, dan finansial individu dan keluarga. Apalagi tempat saya praktek—Jakarta Timur—merupakan salah satu daerah dengan beban TBC terbanyak se-Indonesia. 

 

Untuk menekan tragedi ini, diperlukan pencegahan dan pengobatan yang tangkas, manusiawi, dan terjangkau harus menjadi fokus utama. Deteksi dini dan edukasi gejala TBC, seperti batuk berdahak selama lebih dari dua minggu, sangat penting dalam memutus rantai penularan. Namun, upaya ini tidak cukup tanpa peran keluarga. Dukungan keluarga menjadi kunci pemulihan pasien. Saya melihat sendiri bagaimana cinta dan perhatian keluarga membantu pasien TBC melewati masa sulit. Penting bagi keluarga untuk memahami TBC dan memberikan dukungan emosional, praktis, dan finansial kepada pasien.

 

Melalui Gerakan Indonesia Akhiri Tuberkulosis (GIAT) yang diluncurkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, kami mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersatu melawan TBC. Kolaborasi lintas sektor—pemerintah, lembaga kesehatan, LSM, komunitas, dan masyarakat umum—menjadi kunci utama dalam penanggulangan kondisi ini. Pemerintah perlu menyediakan kebijakan dan program yang mendukung, seperti akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau, serta edukasi dan promosi kesehatan yang masif. Lembaga kesehatan dan LSM dapat berperan dalam menyediakan layanan kesehatan dan pendampingan bagi pasien TBC. Komunitas dan masyarakat umum dapat berperan dalam meningkatkan kesadaran tentang TBC dan mendukung upaya pencegahan dan pengobatan.

 

Melihat pentingnya peran pelayanan kesehatan dalam menekan angka TBC, Kemenkes membentuk jejaring layanan TBC yang bersifat district-based public-private mix (DPPM) alias kerjasama antara fasilitas layanan kesehatan publik dengan swasta. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan penanggulangan dan pengendalian Tuberkulosis (TBC) di tingkat kabupaten. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan bagi penderita TBC, meningkatkan deteksi dini kasus TBC, serta meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang TBC

 

DPPM Jakarta Timur merupakan salah satu dari banyak inisiatif serupa yang dilaksanakan di berbagai wilayah di Indonesia, khususnya di wilayah Jakarta Timur. Sebagai sebuah program, DPPM Jakarta Timur melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, organisasi non-pemerintah (LSM), lembaga kesehatan, praktisi kesehatan, serta sektor swasta seperti perusahaan-perusahaan dan industri-industri yang terlibat dalam upaya penanggulangan TBC. Kami mendukung Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur untuk menemukan kasus sebanyak mungkin agar setiap penderita dapat segera diobati dan mencegah penularan kepada keluarganya maupun masyarakat sekitarnya dengan memperkuat contact tracing dan menggunakan pengobatan TPT yang rasional. 

 

Langkah-langkah kolektif ini bukan hanya untuk meringankan beban TBC di Jakarta Timur, tetapi juga untuk memberikan harapan dan dukungan bagi mereka yang terkena dampaknya. Bersama, kita bisa mengakhiri TBC dengan pendekatan yang lebih manusiawi. Kita harus terus berjuang dan bekerja sama untuk mencapai masa depan di mana TBC bukan lagi ancaman bagi kesehatan masyarakat.

 

Penulis

 

Ketua DPPM TB Jakarta Timur