Perdagangan Sirip Hiu yang Tak Ada Habisnya

Perdagangan Sirip Hiu yang Tak Ada Habisnya

 

 

1. Akibat perdagangan sirip hiu, populasi hiu dan pari global menurun 71% sejak 1970. Indonesia berkontribusi lebih dari 10% tangkapan hiu dunia, dengan sekitar 88.709 ton hiu dan pari ditangkap setiap tahun.

2. Raja Ampat menerapkan larangan penangkapan hiu dan berhasil meningkatkan populasi hiu namun tetap menghadapi perburuan ilegal.

3. Sirip hiu dijual dari nelayan lokal hingga pengepul besar, lalu diekspor ke berbagai negara seperti Cina, Hong Kong, dan Singapura, melalui pelabuhan-pelabuhan di Pulau Jawa.

 

Kementerian Keuangan setidaknya bisa mengambil jeda nafas terkait pengalihan hutang RI. Tak main-main, Indonesia seharusnya membayar Rp569 miliar kepada Amerika Serikat. Namun, dana itu akhirnya disepakati untuk memperbaiki terumbu karang di Indonesia. Meski fokus utamanya terumbu karang, tapi dana juga difokuskan untuk perbaikan seluruh ekosistem laut, termasuk habitat-habitat yang selalu terancam. Dalam hal ini, ada satu habitat yang tak bisa diabaikan yakni ikan hiu. Aktivitas penangkapan hiu secara berlebihan jadi ancaman untuk kepunahan hiu. Berarti, sejalan dengan misi pengalihan hutang RI, pemerintah juga harus lebih peduli terhadap nasib ikan hiu.


 

Nasib Hiu Akibat Perburuan Tak Terkendali

Sudah sejak 1970, secara global, populasi hiu dan pari menurun hingga 71%. Bahkan, Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) merilis laporan bahwa pada 2021, tingkat kepunahan hiu sebesar 32,6%. Padahal, sekitar 20 tahun lalu, tingkat kepunahannya masih 24%.

 

Indonesia menjadi salah satu negara yang bertanggung jawab atas kepunahan hiu tersebut. Indonesia menyumbang lebih dari 10% terhadap tangkapan hiu dunia, sehingga selalu menduduki posisi pertama dari paling tidak 40 negara penangkap hiu selama lebih dari satu dekade terakhir. Paling tidak, setiap tahunnya Indonesia menangkap sekitar 88.709 ton hiu dan pari per tahun. 

 

Padahal, Indonesia disebut-sebut sebagai rumah bagi hiu. Contohnya wilayah Papua dan Maluku yang jadi tempat favorit berkembang biak bagi hiu. Menurut Conservation International Indonesia, hingga saat ini hiu berjalan hanya ada sembilan jenis di dunia dan lima jenis diantaranya ada di perairan Indonesia.

 

Perburuan hiu di Indonesia melesat seiring dengan tingginya permintaan sirip hiu di Asia untuk hidangan. Di Lombok, NTB sendiri terdapat pasar lelang ikan bernama Pasar Ikan Tanjung Luar, dan hiu menjadi komoditas primadona di sana. Biasanya menjelang tahun baru Cina, permintaan sirip hiu melejit untuk santapan imlek. Hiu diyakini oleh masyarakat Tiongkok dapat membawa kemakmuran dan lambang kekayaan.

 

Ekspor sirip hiu paling besar ditujukan ke Hong Kong, Cina, Singapura, Jepang, dan Thailand. Tujuan ekspor sirip hiu paling banyak dirajai oleh Cina yang mencapai Rp626 miliar, disusul Thailand Rp356 miliar pada 2017.

 

Cuma Raja Ampat yang Punya Pelarangan Penangkapan Hiu

Besarnya pasar-pasar internasional untuk perdagangan hiu memunculkan oknum-oknum yang menangkap hiu secara membabi buta. Hal itu membuat pemerintah daerah Raja Ampat mengambil aksi untuk menyelamatkan hiu-hiu di wilayah mereka. Berdasarkan Perda Nomor 9 Tahun 2012, Raja Ampat dijadikan wilayah konservasi bagi hiu dan pari. Kalau melanggar, pelaku bisa dikenakan sanksi penjara paling lama 6 bulan atau denda sebanyak Rp 50 juta. Meski begitu, masih banyak perburuan ilegal di sana. 

 

Raja Ampat tercatat berhasil meregenerasi hiu-hiunya. Perburuan pun sempat menurun drastis. Dari penelitian The Nature Conservancy, dua wilayah Raja Ampat, yakni Misool dan Kofiau, populasi hiu meningkat tajam. Di Misool, pada 2011, jumlah hiu yang tadinya di bawah 10 ekor, naik jadi 30 ekor pada 2013, lalu 60-an ekor pada 2014. Kalau di Kofiau, pada 2011 semula berjumlah di bawah 20 ekor, lalu menjadi 30-an ekor pada 2013, dan 50-an ekor pada 2015. Meningkatnya populasi ini juga disebabkan karena Raja Ampat masih memiliki bibit hiu.

 

Sayangnya, keberhasilan regenerasi hiu ini juga memancing munculnya kembali perburuan liar. Para pemburu hiu mengetahui bahwa regenerasi ikan hiu di Raja Ampat berhasil, mereka datang kembali untuk menangkap hiu-hiu itu. Naasnya, terkadang perda hiu tadi tak cukup untuk menjerat pemburu, sebab mereka suka berdalih kalau hiu-hiu itu mereka tangkap bukan di kawasan Raja Ampat. 

Hal ini menjadi semakin pelik karena sukar dibuktikan apakah hiu-hiu itu benar ditangkap di luar Raja Ampat atau bukan. Jalan yang paling bisa ditempuh adalah melakukan tes DNA pada hiu-hiu tangkapan itu, namun prosesnya akan sangat lama. Maka dari itu, diperlukan perda pelarangan perburuan hiu bukan cuma di Raja Ampat, tapi di seluruh provinsi yang lautnya memiliki hiu.

Rantai Perdagangan Sirip Hiu

Sirip ikan hiu bisa tersaji di restoran mewah tentunya melalui proses yang panjang. Perdagangan ikan hiu dimulai dari nelayan-nelayan lokal, bisa perorangan maupun beberapa orang yang berlayar menangkap ikan hiu. Setelah mereka tangkap, hiu akan dijual kepada pengepul lokal.

 

Dari pengepul lokal akan dijual kepada pengepul besar–yang jaringan perdagangannya sudah tingkat nasional. Kadang, pada fase ini, pengepul besar akan datang ke pasar hiu untuk ikut pelelangan ikan. Pengepul besar lantas menjual hiu-hiu itu kepada pengekspor di Jakarta atau di Surabaya.

 

Hiu-hiu dibawa ke pelabuhan-pelabuhan di Pulau Jawa menggunakan kapal, lalu mereka diterbangkan oleh maskapai-maskapai yang menyediakan jasa kargo mengangkut hiu. Pesawat-pesawat itu akan terbang ke Tiongkok, Amerika Serikat, Taiwan, Hong Kong, Singapura, dan Korea Selatan. Setelah mendarat di negara tujuan, hiu-hiu dijual di pasar maupun supermarket.

 

Kalau melihat siklus perdagangan hiu yang tak ada habisnya–diregenerasi lalu diburu lagi–dan perda yang tak bikin pemburu jadi jera, mau sampai kapan gali lubang tutup lubang ini dilakukan? Lama-lama, hiu-hiu ini pasti akan habis juga.