Perjalanan Industri Prostitusi di Indonesia
Di tengah huru-hara kehidupan, warganet semakin dibuat heboh oleh rumah produksi film porno di Jakarta Selatan. Tentu mereka yang terlibat dijadikan tersangka. Permasalahan pun semakin merembet ke urusan legalitas dari keberadaan rumah produksi itu. Kok bisa ya, studio bokep bisa lolos?
Ada sebuah film besutan rumah produksi ini yang juga mengisahkan tentang Kramat Tunggak, salah satu tempat prostitusi yang termasyhur di Indonesia. Rasa-rasanya, mendengar Kramat Tunggak yang legendaris membuat saya menjadi gemas ingin mengulik dunia prostitusi dari zaman baheula sampai sekarang di Indonesia.
Berdasarkan penelitian, prostitusi di tanah Indonesia tercatat pertama kali muncul di tahun 1755. Saat itu kerajaan Mataram yang berdiri di tengah Jawa sedang berada di puncak kesohorannya. Semuanya adalah milik raja, termasuk para perempuan. Raja bebas menjadikan perempuan yang dia inginkan untuk menjadi selirnya.
Selir biasanya diambil dari kalangan bangsawan, tapi ada pula yang dari masyarakat kelas bawah. Biasanya perempuan kelas bawah ini diperjualbelikan agar keluarganya punya keterikatan dengan istana.
Hal serupa juga terjadi di Kerajaan Bali. Misalnya, ada seorang janda dari kasta rendah, maka perempuan itu otomatis menjadi properti milik raja. Apabila raja tak menginginkannya, perempuan itu akan dikirim keluar pulau untuk diperjualbelikan jasa seksualnya dan penghasilannya akan masuk ke kas kerajaan.
Praktik feodalisme ini menjadi fondasi dari perkembangan industri seks sampai saat ini. Perkembangannya semakin melejit kala penjajah Belanda menduduki Indonesia.
Banyaknya bujangan dari negara kincir angin membuat permintaan terhadap layanan seks meningkat. Permintaan ini dipenuhi oleh masyarakat pribumi yang menjual anak perempuannya demi imbalan materi.
Dinamika semacam ini terus berlanjut hingga 1650. Pemerintah Hindia Belanda membuat House of Correction for Women, yakni tempat rehabilitasi bagi perempuan yang bekerja sebagai pemuas kebutuhan seksual orang-orang Eropa. Namun upaya pemerintah dianggap gagal karena saat itu, perempuan pekerja seks tetap banyak yang keluar masuk pelabuhan tanpa izin.
Pada 1852, pemerintah pun mengeluarkan peraturan yang melegalkan prostitusi. Dalam aturan itu, para pekerja seks disebut dengan 'Wanita Publik'. Wanita Publik mendapat pengawasan ketat dari polisi serta kartu kesehatan. Mereka secara rutin diperiksa kondisi kesehatannya. Jika ada yang sakit, perempuan itu akan dibawa ke lembaga penyembuhan.
Supaya polisi tak kesulitan melacak kegiatan mereka, maka dibuatlah rumah bordil untuk para Wanita Publik melakukan transaksi seksualnya. Memasuki 1870, peraturan pemerintah Hindia Belanda terkait prostitusi dicabut dan dialihkan ke peraturan per daerah.
Kewalahannya pemerintah pusat dalam mengatur kegiatan jual-beli seks membuat mereka mengizinkan pemerintah daerah untuk mengelola wilayah prostitusinya sendiri. Di Surabaya misalnya, pemerintah daerahnya membuat 3 desa menjadi wilayah lokalisasi.
Ketika Undang-Undang Agraria dibuat pada 1870, penanaman modal asing terbuka lebar di Hindia Belanda, tentunya hal ini membuat para pengusaha dan pekerja dari berbagai negara berdatangan. Maka, meningkatlah kegiatan prostitusi.
Kompleks pelacuran paling banyak di daerah pembangunan dan industri, misalnya di dekat stasiun kereta api, pelabuhan, dan kamp serdadu Belanda. Ambillah contoh Bandung, rumah bordil berdiri di sekitar stasiun Kebon Jeruk, Kebon Tangkil, Sukamanah, dan Saritem. Sementara di Yogyakarta, prostitusi tumbuh subur di Pasar Kembang, Mbalokan, dan Sosrowijayan. Wilayah yang paling subur adalah Surabaya, sebab Tanjung Perak menjadi pelabuhan terkemuka di abad ke-19.
Di sana, ada warung-warung kecil untuk menampung pekerja seks kelas bawah. Ada pula night club (tempat untuk berpesta) yang diisi oleh pekerja seks kelas atas. Pembeda pekerja seks kelas atas dan bawah bisa dilihat dari etnisnya. Pekerja seks kelas atas biasanya adalah perempuan-perempuan blasteran pribumi dan Belanda. Sementara, pekerja seks kelas bawah adalah pribumi atau etnis Tionghoa.
Berdirinya berbagai bisnis dan perkebunan di kota-kota besar di Hindia Belanda membuat para perempuan asal desa merantau untuk jadi pekerja seks. Yang semula diperjualbelikan oleh keluarga, sekarang banyak yang sukarela.
Roda prostitusi terus berjalan hingga tahun 1920-1930-an. Prostitusi dituduh sebagai penyebab utama banyak laki-laki Eropa mengidap sifilis. Para pekerja seks yang disalahkan. Bahkan ada yang mengandaikan pekerja seks sebagai “drakula yang meracuni, menghancurkan, dan menghisap kehidupan para lelaki muda”.
Walau kolonialisme Belanda sudah runtuh tahun 1942, industri prostitusi tak ikut mati. Pendudukan oleh Jepang di masa Perang Dunia II justru membuat industri ini semakin kuat dan brutal ke perempuan. Para tentara disediakan ‘Jugun Ianfu’— perempuan blasteran, Belanda, Tionghoa, dan pribumi dijadikan pemuas kebutuhan seks mereka.
Jepang mendirikan rumah-rumah bordil di dekat kamp-kamp tentara Jepang yang disebut sebagai Ianjo. Pada mulanya, para Jugun Ianfu ini diberi kupon yang dapat ditukarkan dengan uang setelah melayani serdadu Jepang. Tapi lambat laun, prostitusi itu sudah tak lagi bisa disebut transaksi seksual karena isinya hanya pemerkosaan dan perbudakan seksual saja.
Setelah Indonesia merdeka, perkembangan industri seks tak lantas mandeg. Pasca penjajahan, kemiskinan masih menjadi hal utama yang diderita masyarakat Indonesia. Kesempatan kerja terbatas, sedangkan laki-laki dan perempuan sama-sama bermigrasi ke kota besar. Di sini, perempuan mengalami kekalahan dalam mendapatkan pekerjaan dibanding laki-laki. Kalaupun dapat pekerjaan, mereka biasanya hanya diberi upah rendah.
Pekerjaan-pekerjaan itu tentunya berbanding terbalik dengan prostitusi yang menjanjikan uang lebih besar dan instan. Hal inilah yang memicu para perempuan tadi untuk menjadi pekerja seks. Tak jarang mereka bekerja di perusahaan, toko atau kapster di salon-salon kecantikan tapi sembari membuka jasa sebagai call girls (perempuan panggilan) yang beroperasi di panti pijat atau diskotik.
Di era itu berbagai sebutan untuk pekerja seks beragam, mulai disebut dari yang paling ‘sopan’ yakni wanita tuna susila hingga sebutan paling kasar sekalipun seperti perek.
Masuk ke era Orde Baru, dunia semakin gemerlap dengan kemewahan. Dari sini prostitusi bukan lagi hanya dari kalangan rendah. Para artis--yang notabene sudah mendapat pekerjaan menggiurkan--saja ikut terjeblos dalam prostitusi.
Era 1960-an sampai 2000-an awal adalah kondisi dimana prostitusi memiliki beragam rupa. Dari prostitusi artis, prostitusi yang dilokalisir, prostitusi di pinggiran jalan, dan masih banyak lagi..
Memasuki era melek teknologi, bentuk prostitusi mulai bergeser. Kini dikenal dengan fenomena pekerja seks online yang menawarkan jasanya lewat media sosial.
Terlebih, semenjak Kementerian Sosial mengharuskan Indonesia bebas dari prostitusi di tahun 2019, seluruh lokalisasi berakhir ditutup. Apakah para pekerja seks berhenti dari profesinya? Tak semuanya, banyak yang beralih dari prostitusi konvensional menjadi daring. Lagipula, selagi ada manusia, di situ akan ada prostitusi.