Pertarungan Gatotkaca dan Antareja dalam Pelarungan Dewi Sembadra

Pertarungan Gatotkaca dan Antareja 
dalam Pelarungan Dewi Sembadra
Faiz Musyaffa Akmaldika
Alat dan bahan-bahan:
Kertas A0 (84,1 x 118,9 CM)
1 buah pensil 2B dan penghapus
Kuas kaligrafi China
Tinta China 100 ml
Konsep Karya: 
    Karya ini merupakan manifestasi daripada wujud kepedulian saya terhadap budaya kesenian wayang di Indonesia. Saya sebagai generasi muda yang masih berumur 17 tahun dan berada di bangku SMA ingin sekali membuat gebrakan baru dengan memajukan seni rupa di Indonesia. Saya ingin mengangkat tema-tema seputar pewayangan dalam karya-karya saya agar anak muda zaman sekarang lebih mengenal budaya dari nenek moyangnya sendiri. Terlepas dari ajaran maupun kitab-kitab Hindu seperti Mahabarata dan Ramayana, kedua kisah tersebut menghadirkan nilai-nilai filosofis yang erat dengan kehidupan manusia saat ini. Kisah-kisah tersebut membawa nilai-nilai luhur bagi bangsa Indonesia untuk dijadikan pelajaran demi masa depan yang gemilang.
Ilustrasi ini adalah salah satu adegan dari cerita pewayangan Jawa, yakni lakon “Sembadra Larung”. Diceritakan bahwa Dewi Sembadra, istri Arjuna yang sedang sendirian diserang dan dibunuh oleh Burisrawa (salah seorang Kurawa) di istana Madukara. Pembunuhan tersebut terjadi dikarenakan Burisrawa sangat tergila-gila dengan Sembadra dan memaksa ia untuk melayaninya, namun Sembadra secara tegas menolaknya. Arjuna kemudian mendapati istrinya telah meninggal dunia. Pandawa mencari pembunuhnya dan Kresna menyarankan untuk meletakkan jenazah di perahu yang dihanyutkan di Sungai Gangga serta diawasi oleh Gatotkaca yang terbang di angkasa atas perintah Kresna.
Antareja, anak Bima dari Nagagini yaitu seorang putri keturunan Dewa Anantaboga dari ras ular dimana Antareja yang sedang mencari ayahnya menemukan seorang wanita cantik yang terombang-ambing di atas perahu yang ternyata itu adalah Dewi Sembadra. Ia dilarung di Sungai Yamuna atas perintah Prabu Kreshna. Dengan berniat baik untuk menyelamatkan nyawa seseorang ia menghidupkan kembali Sembadra dengan kesaktiannya yaitu percikan air Mustikabumi, warisan dari leluhurnya, Anantaboga. Ia tidak tahu bahwa itu adalah bibinya sendiri, akan tetapi karena niat baiknya itulah kemudian istri Arjuna tersebut menjadi hidup kembali. Selama kejadian tersebut berlangsung, Gatotkaca memantau keadaan dari atas langit dan menaruh kecurigaan pada gerak-gerik Antareja. 
Kemudian dari atas langit dan tanpa berpikir panjang Gatotkaca pun segera menyerang Antareja. Karena hal tersebut, terjadilah suatu perkelahian hebat antara Gatotkaca dan Antareja yang membuat air di sekitar Sungai Gangga menjadi berombak seperti di laut. Mereka sama-sama gagah, sama-sama kuat, dan sama-sama sakti. Yang satu bisa terbang di angkasa, yang satu lagi bisa amblas ke dalam bumi. Kadang-kadang Raden Gatotkaca memainkan tubuh Raden Antareja di udara, kadang-kadang Raden Antareja yang menarik tubuh Raden Gatotkaca masuk ke dalam tanah.
Pertarungan itu kemudian dihentikan Dewi Sembadra yang telah bangkit kemgali. Terungkap bahwa Burisrawa adalah pembunuhnya, sementara Antarejalah yang menolong Sembadra. Antareja kemudian diterima dalam keluarga Pandawa dan Gatotkaca menganggap Antareja sebagai kakaknya, sedangkan Burisrawa dikejar oleh Pandawa agar diberikan hukuman atas tindakannya. Dari cerita tersebut, kita dapat belajar bahwa janganlah berprasangka buruk terhadap orang yang baru kita temui dan janganlah menilai sesuatu dari fisiknya. Walaupun Antareja berupa mengerikan dengan sisik ular naganya, ia sebenarnya adalah tokoh pewayangan yang memiliki jiwa ksatria, jujur, dan taat kepada Sang Maha Pencipta.
Latar Belakang Karya
Karya ini saya buat dengan menggunakan tinta China sepenuhnya karena saya sendiri merupakan seorang kaligrafer huruf kanji Jepang maupun hanzi China. Saya sangat meminati kesenian oriental sebelumnya. Namun, akhir-akhir ini saya sangat terinspirasi oleh beberapa karya seniman Indonesia seperti Basoeki Abdullah, Affandi, maupun Ki Gamblang yang selalu mengedepankan budaya Nusantara dalam setiap karyanya. Maka dari itu, saya ingin membuat suatu gebrakan baru dimana menggabungkan seni tinta China dengan adegan-adegan pewayangan Jawa yang akan menghadirkan aliran realisme-ekspresionis yang membawa sentuhan emosi serta penjiwaan karya yang lebih kuat. 
Dalam proses pembuatan karya, saya mengawalinya dengan membuat sketsa terlebih dahulu dan mengencerkan tinta China menjadi beberapa jenis kekentalan. Ada yang pekat, sedang, dan tipis. Teknik melukis dengan menggunakan tinta China ini sebenarnya mirip dengan menggunakan cat air pada umumnya, dimana kita harus bersabar dan melukisnya dari beberapa layer dari tipis-tipis kemudian semakin pekat hingga menjadi suatu karya yang tuntas. 
Pertama-tama saya membuat sketsa pose dari Antareja yang melepaskan sihir ular naganya kepada Gatotkaca yang membuat efek getaran pada bumi. Kemudian saya membuat sketsa Gatotkaca  yang menangkisnya dengan kesaktiannya yang membuat air tenang di sekitarnya menjadi berombak secara dramatis yang membuat keadaan semakin menegangkan. Tahap sketsa terakhir saya menggambar Dewi Sembadra yang baru terbangun dari kematiannya dimana ia segera melerai pertarungan di antara mereka berdua.
Setelah tahapan sketsa, saya memberikan pewarnaan tipis-tipis dengan menggunakan tinta China di layer pertamanya dari mulai melukis ombaknya dan retakan pada bumi. Kemudian, saya mulai membereskan sosok Antareja dan shadingnya dengan menggambarkannya seperti wayang kulit dimana memiliki hidung panjang dan bersisik ular naga. Setelah itu, saya mulai memberikan shading yang lebih tebal lagi ke sosok Antareja setelah layer pertama kering. Sehabis kering, saya pun melanjutkan ilustrasi dengan membereskan sosok Gatotkaca dan Dewi Sembadra serta perahunya yang terguncang akibat kesaktian Antareja. 
Karya ini adalah bukti kecintaan saya terhadap kesenian Nusantara. Semoga dengan adanya karya ini, maka kesenian Indonesia dapat dikenali di seluruh dunia dan menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang menghargai kebudayaan leluhurnya.