Petaka Pariwisata Itu Bernama Instagram

Deretan gedung bertema baroque dan rococo menghadap sungai yang bergerak pelan. Jembatan berwarna putih membelah sungai tersebut, menyambungkan dua trotoar besar yang diisi oleh pengunjung yang sedang berjalan santai. Apakah ini salah satu kota Eropa? Bukan, ini di PIK.

 

Tren membuat tempat wisata yang instagrammable sudah terjadi selama beberapa tahun terakhir. Biasanya para pengurus tempat wisata menginkorporasikan cat warna-warni yang justru bertabrakan dengan tema tempat wisata. Atau membuat tempat wisata yang mencoba untuk meniru kota-kota luar negeri. Tujuannya sebetulnya mulia, untuk menarik pengunjung. Namun, ujung-ujungnya malah membuat banyak anak muda garuk-garuk kepala dan mengeluh: “Buat apa sih?

 

Harga Wisata Instagrammable

 

Fenomena memaksakan tempat wisata untuk menjadi lebih instagrammable bukan cuma masalah Indonesia saja. Justru masalah ini lebih awal dirasakan di luar negeri, tepatnya di tempat-tempat panas wisata. 

 

Namun, masalah yang mereka alami lebih sering berkaitan ke hal-hal yang mencakup hajat penduduk lokal dan ekosistem lingkungan. Contohnya pada 2016, pengunjung taman nasional Yellowstone secara tidak sengaja membunuh bayi bison karena kesoktahuan mereka. Sementara pada 2019, penduduk Rue Crémieux menuntut pemerintah kota Paris untuk menutup jalanan tempat tinggal mereka di malam hari dan akhir minggu karena merasa terganggu dengan tingkah aneh dan kurang ajar para turis. 

 

Dua kasus tadi hanya sedikit dari banyaknya kasus tempat wisata yang dirusak Instagram. Fitur geo tagging Instagram dituding menjadi penyebab masalah ini. Pasalnya, fitur ini membuat tempat-tempat yang cenderung belum tersentuh oleh tangan manusia menjadi terkenal. Orang-orang yang terpesona dengan foto ciamik yang mereka lihat di Instagram berbondong-bondong pergi ke tempat tersebut, lalu foto-foto sebagai bukti bahwa mereka juga pernah ke sini. 

 

Saking seringnya orang-orang men-tag tempat-tempat wisata, beberapa pengurus meminta pengunjung untuk tidak melakukannya lagi. Kebijakan ini paling sering diberlakukan di tempat-tempat wisata alam, seperti taman nasional yang ekosistemnya perlu dilindungi. Hewan-hewan dan tanaman ini rentan diburu oleh pemburu gelap sehingga penting untuk merahasiakan lokasi dimana makhluk-makhluk ini berada. Foto-foto boleh, tag tempat dan lokasinya jangan. 

 

Meskipun aturan ini terlihat masuk akal, tak semua orang mau menerimanya. Mereka berdalih memberi tahu nama tempat di foto yang mereka ambil berfungsi untuk mempromosikan tempat wisata tersebut. Memang tidak salah; toh pariwisata juga mendukung perekonomian lokal. Tapi juga perlu diingat bahwa tempat-tempat ini biasanya tidak didesain untuk menampung banyak orang. Membatasi pengunjung, salah satunya dengan tidak menandai nama tempat tersebut, bisa membantu menjaga kelestariannya.

 

Selain itu, tidak menandai tempat juga berfungsi untuk mengurangi kerusakan yang diakibatkan oleh turis. Pada 2014, Amerika Serikat digemparkan oleh grafiti yang digambar di Western National Park. Usut punya usut, sang pelaku mendokumentasikan grafiti yang ia buat dan mengunggahnya ke akun Instagramnya, @creepytings. Para pegiat alam mengutuk perbuatannya karena dianggap merusak situs sejarah. 

 

Selain isu grafiti, ada pula isu sampah yang semakin membebankan kerja pengurus. Sudah gajinya kecil, dipaksa menjadi tukang sampah pula.

 

Itu baru efek Instagram terhadap kelestarian wisata alam. Bagaimana dengan kota-kota yang menjadi tempat utama destinasi turis? Nasibnya tidak kalah menyedihkan dengan wisata alam. 

 

Banyak kota kewalahan untuk menampung arus besar turis. Meskipun mendorong perekonomian, gelombang turis juga membuat masalah panjang untuk penduduk lokalnya. Gentrifikasi, kemiskinan penduduk lokal, sampah yang menumpuk, kelangkaan air, dan perpindahan penduduk lokal ke pinggir daerah karena pusat kota dikhususkan untuk turis sudah menjadi isu tahunan. Bali menjadi contoh utama dari isu ini. 

 

Bali bisa menjadi tempat wisata yang wajib dikunjungi berkat konten-konten yang dibuat oleh turis. Kenaikan turisme di Bali bisa dikaitkan dengan naiknya konten turisme yang diunggah oleh turis, pemerintah, dan juga warga lokal di media sosial, utamanya Instagram. 

 

Namun hal ini malah menyebabkan overturisme Bali. Ketergantungan terhadap turis, terutama turis mancanegara, membuat provinsi ini mengalami efek negatif pandemi paling tinggi se-Indonesia. Ekonomi Bali tak hanya hancur, tapi masyarakatnya juga menderita akibat efek dari overturisme tadi. 

 

Tak hanya itu, Instagram juga menyetir bagaimana gedung dan makanan didesain. Para pengunjung ingin tempat, makanan, dan hiburan yang memenuhi standar estetika tertentu untuk dipamerkan di akun mereka. Namun hal ini malah menimbulkan keseragaman dan menghilangkan keunikan–sesuatu yang ironisnya selalu dicari oleh para penggunanya.

 

Oase Validasi

 

Keinginan untuk mendokumentasikan tempat yang pernah dikunjungi sebetulnya bukan hal baru. Nenek moyang kita rutin mendokumentasi keseharian dan ritual mereka lewat lukisan di gua, lalu para pelaut Eropa mencatat kekayaan alam dan penduduk yang mereka jajah. Apa yang kita lakukan sekarang sebetulnya hanyalah sambungan dari apa yang mereka lakukan. Kebetulan saja teknologinya sudah berbeda. 

 

Dorongan untuk ini sudah dieksplorasi oleh Susan Sontag lewat esainya On Photography. Foto, tulisnya, menunjukkan eksistensi suatu tempat sekaligus memvalidasi diri kita. Tak hanya itu, foto juga menjadi bukti bahwa kita bersenang-senang–atau setidaknya memberikan ilusi bahwa kita bersenang-senang. Toh foto memberikan imaji suatu tempat yang telah terdistorsi sedemikian rupa sampai tidak menyerupai tempat aslinya lagi.

 

Lebih lanjut Sontag mengatakan memfoto sesuatu kala liburan memberikan sebuah kegiatan yang mirip dengan bekerja. Ini karena kita sudah dikondisikan untuk menilai harga diri kita lewat pekerjaan kita. Berhubung foto memberikan suatu kesibukan dan memberikan hasil yang cepat menjadikan hal ini mirip dengan aktivitas kerja kita. 

 

Namun aktivitas foto tak selamanya negatif. Foto mengabadikan memori dan mempererat hubungan sosial. Ia juga berfungsi sebagai bukti bahwa kita pernah eksis di dunia ini. 

 

Namun ia menjadi masalah ketika kita sengaja mengejar picture perfect moment sampai merusak tempat kita mengambil gambar.