PHK Massal Startup Teknologi: Tekanan Ekonomi atau Latah?
Dengan rekam jejak mentereng dan julukan the lucky ship, Essex, kapal pemburu paus berbendera Amerika Serikat, berlayar dari markasnya di Pulau Nantucket, Massachusetts, menuju Samudera Pasifik pada Agustus 1819. Essex mengejar untung dari minyak yang dihasilkan paus buruan, kapal yang menjadi inspirasi Herman Melville menulis Moby Dick. Namun, ia harus menerima takdir buruk begitu sampai di tujuan: Essex terbalik dan tenggelam gara-gara dihantam paus sperma berukuran 25 meter. Seluruh awak kocar-kacir menyelamatkan diri dengan menumpang tiga sekoci yang kelak mendarat di pulau terpencil di sekitar Chile.
Perburuan paus yang sangat berbahaya tapi menggiurkan ini dimulai pada abad ke-16 oleh pelaut-pelaut Islandia dan dipopulerkan seabad kemudian oleh kapal-kapal Belanda. Pada abad ke-19, perburuan paus menjadi industri besar di tangan AS. Per 1850, tak kurang dari 650 kapal berbendera AS melanglang-buana di pelbagai titik di lautan untuk berburu paus. Tentu, seperti Essex, sebagian besar kapal bernasib buruk. Tak cuma karam dihantam buruannya, kapal-kapal ini juga pulang merugi bahkan tak memperoleh muatan apapun. Tercatat, 34,5 persen dari total kapal yang berburu paus di abad tersebut kembali ke pelabuhan asal tanpa membawa paus. Sebaliknya, hanya 1,7 persen total kapal yang pulang dengan membawa buruan melebihi target. Uniknya, keuntungan yang diperoleh dari 1,7 persen kapal ini lebih dari cukup untuk menutupi kerugian yang dialami mayoritas kapal pemburu paus, bahkan dianggap sangat menguntungkan. Buah dari skema pembiayaan kapal bertajuk "lay system of incentive payment."
Skema lay system of incentive payment digawangi oleh para penjudi’, hartawan atau pemilik modal yang ingin memperoleh keuntungan berkali lipat dari investasi. Dasarnya: keuntungan yang diperoleh sejurus dengan resiko yang dimiliki (high risk, high return). Skema ini dijalankan melalui perantara, agensi, sebagai penampung investasi untuk menyalurkan uang yang berhasil dikumpulkan ke banyak kapal pemburu paus. Dari banyak kapal yang dibiayai, hanya perlu secuil yang pulang dengan membawa keuntungan mumpuni demi menutupi kerugian mayoritas kapal. Dari 1,7 persen kapal itu, rata-rata pulang dengan membawa minyak paus senilai $100.000 (sekitar $3 juta dalam kurs saat ini). Angka yang begitu besar bila dibandingkan dengan total nilai investasi yang disebar sebuah agensi ke banyak kapal, yakni $20.000 hingga $30.000.
Kapal pemburu paus kini tergerus zaman. Namun, skema pembiayaannya bertahan. Sebagaimana dipaparkan Tom Nicholas dalam VC: An American History (2019), skema lay system of incentive payment bisa bertahan karena agensi pengepul investasi kapal pemburu paus bertransformasi dalam bentuk baru, venture capital (VC) atau kapital ventura. Kapal-kapal pemburu paus pun berganti rupa menjadi startup teknologi.
Kisahnya bermula dari keberhasilan VC bernama American Research and Development Corporation (ARD) yang memperoleh pendapatan eksponensial dari investasi senilai $70.000 melalui startup bernama Digital Equipment Corporation (DEC) pada 1957. Sejak itu pelbagai VC muncul ke permukaan untuk menggelontorkan cheap money alias recehan (dari perspektif pemilik modal, bukan rakjat jelata). Mereka hanya berharap satu atau secuil saja dari banyak portofolio startup yang dibiayai sukses di pasaran. Tercatat, hanya sekitar 6 persen dari total portofolio VC yang berhasil. Persentase ini mungkin sangat kecil tetapi menjadi dasar kemunculan perusahaan raksasa seperti Apple dan Google.
Sebaliknya, duit recehan dari VC pun jadi alasan mengapa sejak akhir tahun lalu pemutusan hubungan kerja (PHK) marak di dunia startup. Sebabnya sederhana, startup terlalu tergantung pada VC. Merujuk dokumen berjudul Laporan Tahunan 2021 yang dikeluarkan GoTo, misalnya, meskipun memperoleh pendapatan senilai Rp15,19 triliun, entitas di balik Gojek dan Tokopedia sebagai startup asli Indonesia yang heboh digembar-gemborkan khalayak tanah air ini memiliki ragam beban operasional sebesar Rp27,37 triliun. Hitung-hitungan sederhananya GoTo tekor Rp12,18 triliun. Berkat VC, kerugian ini ditalangi supaya GoTo tetap hidup. Terlebih, pada tahun ketika GoTo mengaudit diri, dunia digital sebagai tempat para startup bermukim tengah menggelora.
Sebagai respon pandemi Covid-19, negara-negara di dunia mengeluarkan ragam kebijakan untuk memaksa warganya hidup online, Work From Home (WFH) misalnya. Ragam layanan startup kemudian jadi pilihan masyarakat melanjutkan hidup.Saking lamanya virus SARS-CoV-2 bertahan, dunia startup mengira hidup online akan bertahan selamanya–atau setidaknya tetap jadi pilihan utama masyarakat dunia setelah Covid-19 punah suatu saat nanti. Hal inilah yang menggerakkan VC untuk kian menggelontorkan dana jauh lebih besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Merujuk laporan CB Insight, investasi senilai $621 miliar dikucurkan ragam VC ke ragam startup pada 2021. Tak cuma itu, investor non-tradisional pun bermunculan dan mencoba berspekulasi di dunia startup yang tengah bergairah. Contohnya banyak, dari Exxon Mobil hingga institusi dana lindung (hedge fund) Coateu dan Tiger Global.
Tercatat, muncul 528 unicorn atau startup bervaluasi lebih dari $1 miliar baru pada tahun itu. Startup pun berani jor-joran merekrut pegawai baru. Masa depan manusia adalah online, begitu pikir mereka.
Nahas, irama merdu dunia startup lalu berhenti perlahan (dan kemudian tiba-tiba) kala tahun berganti. Covid-19 berhasil diatasi di banyak negara. Sebagian besar masyarakat kembali ke habitat alamiahnya, dunia offline. PT Kereta Api Indonesia (KAI) Commuter mencatat hanya memperoleh 123,12 juta penumpang di 2021. Tahun berikutnya, kereta rel listrik (KRL) kembali bergairah dengan total penumpang mencapai 215,05 juta. Akibatnya, dunia startup kembali ke posisi pra-pandemi. Investasi yang diberikan VC pun jatuh ke angka 5 persen di awal tahun (Januari-Maret 2022). Situasi memburuk ketika mereka mencoba strategi penawaran saham perdana (IPO). Banyak startup berguguran di pasar modal. Inilah yang terjadi pada Zomato (food delivery, India), Paytm (fintech, India), Nubank (fintech, Brazil), dLocal (fintech, Uruguay), Bukalapak (ecommerce, Indonesia), Grab (ride-hailing, Singapura), dan GoTo (ecommerce dan ride-hailing, Indonesia).
Pada akhir 2022, lesunya dunia startup dikejutkan dengan keputusan bank sentral AS, The Fed, untuk menaikkan suku bunga acuan demi mengendalikan inflasi. Suku bunga naik dari 0,25 persen di awal tahun menjadi 4,5 persen. Akibatnya, VC seketika menginjam rem kencang-kencang. Mereka berpikir ulang tentang investasi yang dikucurkan kepada startup karena masa depan tak seperti yang diharapkan. VC kemudian sadar bahwa banyak startup yang ada di dunia memiliki nilai mereka terlalu tinggi dibandingkan kenyataan pasar. Grab, misalnya, harus rela valuasinya diturunkan dari $40 miliar menjadi $10 miliar. The Economist memperkirakan 12 startup terbesar dunia yang dulu bervaluasi $1 triliun sesungguhnya bernilai sekitar $750 miliar.
Kucuran dana VC kemudian menurun drastis. Karena terlalu tergantung pada VC, startup pun mencoba bertahan hidup dengan merasionalisasi diri. PHK adalah solusinya.
Per 2022, lebih dari 150.000 pekerja startup kehilangan pekerjaan.
Dalam kolomnya di The Atlantic, Annie Lowrey menyatakan kebijakan PHK startup ini keterlaluan. Ya, kucuran dana VC memang tak lagi semoncer dulu, tetapi ekonomi dunia baik-baik saja. Ekonomi AS tetap tumbuh (2,7 persen, dan ekonomi Indonesia tumbuh 5,31 persen) pada 2022. Di banyak perusahaan teknologi yang melakukan PHK, pendapatan mereka pun baik-baik saja. Facebook, yang melakukan PHK pada 11.000 karyawannya, misalnya, memperoleh untung senilai $23 miliar sepanjang 2022.
Lowrey menilai, keputusan PHK startup adalah tindakan latah semata. Persis seperti kelakuan Gen Z yang selalu tertarik mengikuti dan mencoba apa pun yang tengah viral di TikTok.
Hasan bin Maun