Piala Dunia dan Perjuangan Kebebasan Perempuan di Iran

Piala Dunia dan Perjuangan Kebebasan Perempuan di Iran

 

Timnas Iran mulai merebut perhatian seya sejak Piala Dunia 2018. Di bawah asuhan Carlos Queiroz, mereka tampil meyakinkan dengan kemenangan 1-0 melawan Maroko dalam pertandingan pembuka. Ini membuat mereka sesaat memuncaki klasemen grup, sebelum kalah 0-1 dari Spanyol di pertandingan kedua. 

 

Meski kalah, Iran bermain sangat baik. Pertahanan dan lini tengah mereka solid menghambat aliran tiki-taka Spanyol. Salah satu momen tak terlupakan bagi saya adalah ketika gelandang Vahid Amiri mengolongi Gerard Pique dalam sebuah skema serangan balik cepat, sebelum mengirim umpan lambung yang berbuah peluang emas di menit-menit akhir dan hampir mengandaskan kemenangan Spanyol.  

 

Iran pun mampu menahan imbang Portugal dengan skor 1-1 Di pertandingan terakhir. Kiper Alireza Beiranvand berhasil menggagalkan tendangan penalti Cristiano Ronaldo.  

 

Iran pada akhirnya tak lolos ke fase 16 besar. Namun, penampilan mengesankan sepanjang fase grup itu membuat saya menunggu penampilan mereka di Piala Dunia 2022. Apalagi mereka menjadi tim zona Asia pertama yang memastikan diri lolos ke Qatar setelah mencetak delapan kali kemenangan, sekali imbang, dan sekali kalah. 

 

Skuad Iran kali ini tak banyak berubah dari Piala Dunia 2018. Mereka masih dilatih Queiroz dan diperkuat striker cepat dan haus gol seperti Mehdi Taremi dan Sardar Azmoun. Mereka pun berada di grup B dengan Inggris, Amerika Serikat (AS), dan Wales.

 

Di atas kertas, lawan terberat mereka adalah Inggris yang memiliki materi pemain jauh lebih baik. Tapi, bila berkaca pada performa empat tahun sebelumnya, masih sangat mungkin mereka mengimbangi Inggris. 

 

Tapi, sepak bola bukan cuma hitung-hitungan di atas kertas. Iran tampil buruk di laga pembuka Grup B, Senin (21/11) malam lalu. Mereka seperti bermain tanpa visi. Umpan-umpan mereka cepat kandas sebelum melewati garis tengah lapangan. 

 

Pertahanan mereka lemah dan sangat mudah dibobol Hary Kane dkk. Satu-satunya permainan terbaik mereka dalam laga itu, adalah dalam 20 detik serangan balik yang berbuah gol Mehdi Taremi pada menit 65’. 

 

Iran kalah 6-2 dari Inggris dan ini memberatkan langkah mereka untuk lolos, karena di pertandingan lain AS bermain imbang melawan Wales. Setidaknya, Iran butuh dua kemenangan berturut-turut dan ini tak mudah. Target Iran lolos fase grup, besar kemungkinan kandas lagi untuk keenam kalinya sejak mereka pertama kali ikut Piala Dunia pada 1978. 

 

Piala Dunia Sebagai Panggung Protes

 

Iran memang kalah dari Inggris, tapi pendukung Iran justru bersorak sorai atas hasil itu. Sampai-sampai pelatih timnas Iran, Queiroz, usai pertandingan berkomentar kecut atas sikap tersebut. 

 

“Mengapa mereka (pendukung Iran) datang ke sini (stadion) untuk tidak mendukung tim?” Lebih baik mereka tinggal di rumah. Kami tidak membutuhkan mereka,” kata Queiroz. 

 

Pernyataan Queiroz bisa dipahami sebagai seorang profesional yang berusaha memenuhi tanggung jawabnya menyukseskan target lolos fase grup. Namun, bagi pendukung Iran, pertandingan melawan Inggris malam itu dan barangkali seluruh pertandingan selanjutnya di Piala Dunia 2022, memang bukan lagi sekadar kompetisi sepakbola, melainkan arena perlawanan terhadap rezim Mullah di Teheran. 

 

Para pendukung Iran datang ke stadion bukan lagi untuk mendukung tim kesayangannya. Mereka datang dalam satu misi: memprotes represi rezim para Mullah terhadap demonstran di dalam negeri yang memperjuangkan hak perempuan dan menuntut keadilan atas kematian Mahsa Amini di tangan polisi moral. 

 

Meski ekspresi protes pendukung Iran tak mendapat ruang di tayangan platform OTT tempat saya berlangganan, cukup mudah menemukan gambarnya di lini masa Twitter. Misalnya, gambar seorang lelaki dan perempuan tanpa hijab memegang poster bertuliskan “Woman. Life. Freedom.”

(Sumber:https://twitter.com/brfootball/status/1594672260668874752?s=20&t=RAqouXo1SO9MH08aely8ng)

 

Yang sudah pasti tak bisa disensor dari aksi protes saat itu, adalah tindakan pemain timnas Iran sendiri. Mereka kompak menolak menyanyikan lagu kebangsaannya sendiri sebagai bentuk solidaritas terhadap para demonstran di Teheran.

 

Usai pertandingan, kapten timnas Iran Ehsan Hajsafi dengan tegas mewakili para pemain lain menyampaikan simpati terhadap para demonstran. Ia mengatakan, “kami harus menerima kondisi di negara kami tidak benar dan rakyat kami tidak senang. Kami di sini, tapi bukan berarti kami tidak boleh menjadi suara mereka atau kami tidak boleh menghormati mereka.”

 

Jauh sebelum pertandingan, pemain timnas Iran pun sudah secara terang berada di pihak demonstran. Striker Sardar Azmoun mengubah foto profil instagramnya menjadi hitam. Ia pun menyatakan, “malu bagi Anda yang membunuh orang dengan begitu mudah. Hidup wanita Iran.” 

 

Setelah aksi itu, tekanan berat datang dari pemerintah Iran agar Queiroz tak membawa pemain Bayer Leverkusen itu ke Qatar. Tapi, saat laga melawan Inggris, Azmoun tetap bermain meskipun masuk starting eleven. 

 

Tekanan kepada Queiroz hanya sebagian kecil dari cara buruk otoritas di Iran menyikapi gelombang protes. Federasi sepakbola Iran mengancam para pemain akan “ditangani sesuai dengan peraturan. Sesuai dengan peraturan Republik Islam Iran dan Kode Etik Olimpiade dan peraturan FIFA.”

 

Tak cuma itu, rezim Ibrahim Rasidi pun membatasi pemberitaan Piala Dunia di media lokal dengan cara meminta pemerintah Qatar menolak akreditasi jurnalis Iran. Tapi mereka lupa bahwa ini tahun 2022 dan kamera di mana-mana. Boleh saja berita dibatasi, tapi kabar itu bakal tetap menyebar lebih deras daripada yang bisa mereka bayangkan. 

 

Perjuangan Kebebasan Perempuan Iran

 

“Apa pun bisa menjadi politik di Iran, termasuk sepakbola,” tulis laporan The Economist berjudul Islam’s Political Football. Laporan ini terbit pada 11 Desember 1997, seminggu setelah timnas Iran memastikan lolos ke Piala Dunia 1998 di Prancis. 

 

Dalam laporan tersebut, The Economist menggambarkan warga Iran berpesta pora secara “liar” merayakan keberhasilan tersebut. Di stadion Azadi yang berarti kebebasan, laki-laki dan perempuan berkumpul bebas dalam satu tempat. The Economist menyebut momen ini “memberi wajah” pada rezim para Mullah yang saat itu sedang bersiap menjamu negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI). Seolah menunjukkan bahwa rezim Iran baik-baik saja menjaga kebebasan perempuan. 

 

Seperti ditulis Franklin Foer dalam How Soccer Explain the World (2004), sebetulnya rezim Mullah berharap timnas Iran tak lolos Piala Dunia 1998. Foer menggambarkan pemain Iran seperti “mengetuk-mengetuk bola” saja dengan kaki alias tak bermain serius. Kira-kira agak mirip dengan penampilan Iran di laga melawan Inggris pekan lalu. 

 

Namun, di 15 menit terakhir keajaiban terjadi dan Iran menjebloskan dua gol ke gawang Australia. Mereka pulang membawa kemenangan dan rezim Mullah tak bisa berkutik menghadapi kegilaan perayaan di Teheran setelahnya. Bahkan ketika perayaan tersebut melanggar aturan keras Mullah: perempuan dilarang menonton bola dan duduk satu tempat dengan lelaki. 

 

Rezim Mullah secara resmi melarang perempuan menonton sepakbola ke stadion pada 6 Juni 1981. Sejarawan Houchang Chehabi menyebut aturan ini sebagai salah satu wujud nyata pembatasan kebebasan perempuan di Iran pada masa Revolusi Islam. Karena, setelah aturan ini keluar, rezim Mullah melanjutkan pengekangan terhadap kebebasan perempuan di ruang-ruang lain. 

 

Perempuan bisa terjebak dalam dosa dan korupsi bila melihat aurat (bagian tubuh yang harus ditutup) laki-laki–demikian alasan resmi aturan tersebut, seperti ditulis Chehabi. Dalam Islam aurat laki-laki dari pusar sampai lutut. Sementara, kostum sepakbola modern ala Barat tak menutup sempurna bagian tersebut. 

 

Para Mullah juga menyebut menonton sepakbola adalah kesia-siaan yang mesti dihindari dalam Islam. Pandangan terakhir ini, seperti ditulis Chehabi, diamini para pendukung Mullah yang menyerukan supaya warga Iran tak menonton sepakbola dan mengalihkan dana besar pertandingan sepakbola untuk keperluan jihad Islam. 

 

Hasilnya, Ayatollah Khomeini yang mengaku menyukai olahraga justru menghentikan liga nasional Takhte Jamshid. Rezim menggantinya dengan Lig-i Azadegan pada 1988 dengan islamisasi sepakbola di dalamnya, seperti mengubah nama-nama tim bikinan koloni Inggris dengan bahasa lokal. Padahal saat itu Takhte Jamshid adalah salah satu liga sepakbola terbaik di dunia. Liga tempat pembibitan skuad timnas Iran juara Piala Asia 1968. 

 

Perlawanan demi perlawanan terhadap diskriminasi perempuan di ruang sepakbola berjalan selama hampir seluruh masa rezim Mullah. Salah satunya pada awal 1990-an, ketika Faizah Rafsanjani–putri Presiden Ali Akbar Rafsanjani–menghidupkan lagi olahraga untuk perempuan. 

 

Berkat Faizah, penonton perempuan sempat diperbolehkan menonton sepakbola di stadion dalam penyisihan Asian Youth Cup pada Juli 1994. Namun, para Mullah segera merevisi aturan itu setelah koran konservatif Risalat mengunggah laporan perempuan bertindak tidak pantas selama menonton pertandingan. 

 

Sejak saat itu, upaya perempuan Iran memperjuangkan kebebasannya di ruang sepakbola terus berlanjut. Tapi selalu gagal dan gagal lagi di tangan fatwan para Mullah yang terus menganggap kehadiran perempuan di stadion penyebab dosa dan korupsi. Peraturan diskriminatif itu tetap bertahan. 

 

Saat merampungkan tulisan ini, Iran sedang melakoni pertandingan kedua melawan Wales. Para pemain Iran menyanyikan lagu kebangsaan mereka dengan wajah murung. Sementara, para pendukung Iran meneriakkan “huuu” dan di layar kaca beberapa terlihat menangis. 

 

Perjuangan belum usai dan justru bergaung lebih kencang dari sebelumnya di Piala Dunia Qatar. Bukan hanya untuk kebebasan perempuan Iran di ruang sepakbola, tapi juga di ruang bernegara yang lebih luas agar tak ada lagi Mahsa Amini lain. 

 

Timnas Iran pun menang 2-0 atas Wales di pertandingan kedua.