Transportasi publik adalah sarang utama perempuan ‘merasa tidak aman’ di ruang publik. Transportasi publik adalah opsi murah sekaligus berisiko mendapat pelecehan. Walhasil, banyak perempuan memilih kendaraan pribadi atau taksi daring. Tapi sialnya, di taksi pun masih mendapat pelecehan; dari ucapan tidak senonoh, ancaman dari supir, supir sengaja memilih jalan yang jauh, dan masih banyak lagi.
Untuk menanggulangi hal ini, Grab dan Gojek menerapkan protokol keamanan, seperti memonitor perjalanan penumpang dan memberikan opsi membagi lokasi ke teman atau keluarga. Tapi tindakan ini dianggap masih kurang. Jadilah di Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret lalu, Grab meluncurkan ‘Grab for Women’ di 7 titik Bandung. Grab mengklaim pengemudi yang terpilih harus mengerjakan psikotes dan pelatihan psikologis supaya bisa melayani penumpang perempuan dengan lebih maksimal. Pengemudi juga dilarang merokok dalam mobil dan diberikan parfum khusus.
Terlihat menjanjikan bukan? Sampai akhirnya konsumen melihat harganya yang… 25% lebih mahal daripada Grabcar biasa. Bayar ekstra cuma supaya dapat kenyamanan yang seharusnya sudah menjadi standar. Sayangnya langkah bisnis seperti ini sudah lazim. Saking biasanya, ia sampai punya nama sendiri: pink tax.
Bayar Mahal Karena Kebetulan Perempuan
Meski namanya pink tax, bukan berarti barang perempuan dipajak lebih besar daripada barang laki-laki. Justru istilah ini mengacu pada diskriminasi harga, di mana barang-barang yang dipasarkan ke perempuan punya harga yang lebih tinggi. Fenomena ini berawal dari penelitian Assembly Office of Research yang menemukan 64% binatu di lima kota besar memasang harga lebih tinggi untuk mencuci blus perempuan dibanding kemeja laki-laki. Setahun setelahnya, California mengesahkan UU Pencabutan Pajak Gender yang melarang toko untuk mendiskriminasi harga berdasarkan gender.
Tapi UU ini tidak sepenuhnya menghilangkan pink tax. Toh, negara bagian lain harga barang dan layanan untuk perempuan masih lebih mahal. Namun, berhubung isu ini meresahkan, pemerintah dan peneliti Amerika Serikat terus mencari tahu penyebab perbedaan harga ini.
Pada tahun 2015, walikota New York City Bill de Blaiso memprakarsai penelitian soal pink tax. Hasilnya adalah…
Skuter dari merk sama warna merah harganya $24,99, sementara skuter warna merah muda harganya $49,99.
Harga rata-rata kaos perempuan $29,23, sementara harga rata-rata kaos laki-laki $25,51. Beda harga 15%.
Yang lebih menyebalkan lagi adalah pakaian dalam. Pakaian dalam perempuan 29% lebih mahal daripada pakaian dalam laki-laki.
Perbedaan harga untuk produk perawatan diri paling tinggi di produk shampoo dan kondisioner. Rata-rata harga produk perempuan $8,39, sedangkan laki-laki hanya $5,68.
Disparitas harga yang lumayan besar ini sampai membuat perempuan harus mengeluarkan $1.300 lebih banyak dalam setahun. Sudah gajinya lebih kecil daripada laki-laki, diperas lagi dengan harga barang yang lebih mahal pula. Kurang sedih apa?
Penasaran, saya mencoba mencari tahu apakah perbedaan harga ini juga terjadi di Indonesia. Penelusuran pertama saya adalah toko baju Uniqlo. Umumnya pakaian laki-laki dan perempuan dari merk ini punya harga yang sama
Kaos
WANITA T-SHIRT KERAH BULAT LENGAN PENDEK UNIQLO U | UNIQLO ID
PRIA T-SHIRT KERAH BULAT LENGAN PENDEK UNIQLO U | UNIQLO ID
Celana
WANITA CELANA SMART ANKLE | UNIQLO ID (Celana Smart Ankle, Rp599.000)
PRIA CELANA SMART ANKLE KATUN | UNIQLO ID (Celana Smart Ankle, Rp599.000)
Tapi perbedaannya ada di bahan.
Perbandingan Bahan Celana Perempuan dan Laki-laki
Bahan celana perempuan
66% poliester
29% viskosa
5% elastan
Bahan celana laki-laki
96% kapas
4% elastan
Kalau bukan bahannya yang ‘dikorupsi’ padahal harga sama, ya, harga barangnya lebih mahal. Seperti harga shampoo Clear Men yang harganya Rp26.900, lebih murah dari Clear Hijab yang harganya Rp 36.000. Padahal dua-duanya punya klaim sama: membasmi ketombe dan mengontrol minyak kulit kepala. Perbedaan harga yang paling bikin geleng-geleng kepala terlihat di alat cukur: Gillette Blue 3 isi 4 Rp45.900, sedangkan Gillette Venus isi 3 Rp 77.200.
Itu baru harga produk perawatan diri dan pakaian. Belum membahas soal kebutuhan khusus perempuan yang wajib dibeli, seperti pembalut, tampon, dan menstrual cup. Penelitian BBC soal kebutuhan menstruasi menunjukkan rata-rata perempuan Indonesia akan menghabiskan Rp16.877.467 untuk produk menstruasi seumur hidupnya. Ini setara dengan 1,7% upah rata-rata bulanan.
Sedihnya, fenomena ini juga terjadi di negara-negara lain. Kolektif feminis Perancis, Georgette Sand, sampai membuat kampanye untuk membuat harga produk perempuan setara dengan produk laki-laki. Tapi tuntutan ini dilepeh dan ditampik habis-habisan oleh perusahaan manufaktur dan supermarket. CEO L’Oreal berkata bahwa para aktivis ini mengada-ada. Monoprix, supermarket Perancis yang menjadi target para aktivis, mengatakan perbedaan harga ini bukan diakibatkan oleh gender konsumen, tapi karena “ada perbedaan intrinsik karakter dan volume penjualan”. Lucu sekali, mengingat arti nama supermarketnya adalah ‘Satu Harga’!
Target lain Georgette Sand adalah salon yang memasang harga lebih mahal untuk perempuan. Tuntutan ini juga ditolak oleh direktur jejaring salon Perancis, Fabien Provost. Menurutnya, harga salon perempuan tidak bisa disamakan dengan laki-laki karena memotong rambut perempuan butuh kemampuan lebih.
Misogini yang Mengakar
Tak hanya Provost saja yang mengatakan barang dan layanan untuk perempuan harus dibuat lebih mahal karena “lebih kompleks”. Produsen produk perawatan diri perempuan juga kurang-lebih mengatakan hal yang sama. Perempuan, menurut mereka, punya kebutuhan yang berbeda dibanding laki-laki sehingga membutuhkan riset yang lebih. Klaim ini yang kerap menjadi justifikasi mereka.
Namun, kita harus lebih kritis menilai fenomena ini; betulkah perempuan punya kebutuhan yang sangat berbeda sampai produsen harus menaikkan harga?
Soal klaim Provost yang mengatakan memotong rambut perempuan lebih kompleks kurang bisa diterima. Karena toh sudah ada beberapa salon yang menerapkan harga berdasarkan panjang rambut, seperti salon Edinburgh dan London. Printilan seperti blow dry, curl, vitamin, dan lain-lain bisa ditambah berdasarkan permintaan konsumen. Sedangkan untuk produk perawatan diri, banyak produk perempuan yang dipasarkan dengan kemasan berwarna merah muda atau ungu dan memiliki wangi manis. Ini berarti tambahan biaya tak perlu yang tidak menambah nilai dari produk itu sendiri.
Kalau bukan akal-akalan produsen untuk semakin memeras perempuan, saya nggak tahu apa namanya.
Toh, praktik-praktik ini juga didasarkan pada persepsi misoginis yang menganggap kemasan produk perempuan harus dibuat beda untuk menarik konsumen. Padahal tanpa pengemasan yang berbeda pun, perempuan juga akan membeli produk itu karena perlu.
Itu baru berbicara soal kemasan produk. Belum lagi produk-produk yang memang sengaja dibuat untuk perempuan, seperti krim dan lotion pemutih, obat penurun berat badan, dan krim anti penuaan. Keberadaan produk-produk ini, beserta pemasarannya, semakin memperparah kesenjangan lewat standar kecantikan yang brutal. Perempuan yang tak bisa mengikuti standar ini akan dianggap rendah, sehingga mereka dipaksa untuk menaruh fokus lebih ke penampilan mereka. Jadilah lingkaran setan yang makin hari makin kuat.
Di atas saya juga menyinggung soal pakaian perempuan yang dibuat dengan kualitas lebih rendah dari laki-laki. Penyebabnya? Fast fashion dan tren artifisial yang mereka buat sendiri untuk menjual lebih banyak pakaian. Tren pakaian yang dulunya muncul tiap 2 kali setahun, bertambah menjadi 4, lalu bertambah lagi menjadi tren mikro (micro trend) yang bisa kita lihat di TikTok dan Instagram. Berhubung tren akan berubah dalam hitungan minggu, buat apa membuat pakaian berkualitas tinggi dan bisa tahan lama?
Menjadi perempuan di dunia yang tak ramah dengan mereka memang susah. Sudah harus bayar lebih untuk bisa hidup nyaman dan diterima masyarakat, bayarannya juga disunat karena dianggap tak seproduktif laki-laki.