PNS Boomer Era Hindia Belanda Ogah Lihat Indonesia Merdeka

Pada awal-awal kemerdekaan, Republik Indonesia terlihat tidak bermasa depan. NICA Belanda lebih menarik bagi bekas PNS kolonial.

Proklamasi kemerdekaan dilakukan dengan sangat sederhana di teras rumah Sukarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, yang sekarang sudah dibongkar. Saat itu cuma segelintir rakyat yang tahu apa yang terjadi pada 17 Agustus 1945. Kurikulum sejarah di sekolah tidak pernah mengajarkan bahwa ada saja penduduk lokal yang tidak ingin merdeka.

Menurut kurikulum ini, negara Hindia Belanda—saat ini disebut zaman penjajahan—adalah masa-masa yang tidak enak bagi bangsa Indonesia. Ini tidak berlaku buat segelintir elit pribumi yang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan sejumlah perwira tentara kolonial (Koninklijk Nederlandsche Indische Leger alias KNIL) yang penghasilannya besar. Bagi mereka, Hindia Belanda adalah Zaman Normal, zaman ketika mereka hidup mapan.

Kenyamanan para PNS dan perwira KNIL pribumi lenyap ketika Jepang mendarat di Hindia Belanda. Mereka kehilangan upah dan harus hidup prihatin per 8 Maret 1942, ketika Belanda menyerah tanpa syarat ke Bani Nippon.

Tiga tahun kemudian, setelah rezim Jepun lengser, Belanda tidak langsung datang sehingga para PNS boomer (pada zamannya sudah disebut boomer) ini batal party-party. Masalahnya, Sukarno-Hatta dkk malah merusak mimpi-mimpi mereka untuk hidup tenteram seperti pada zaman Belanda.

Begini pengakuan Didi Kartasasmita sebagai letnan KNIL dalam Didi Kartasasmita: Pengabdian Bagi Kemerdekaan (1993:49).

Kata Anton E. Lucas dalam Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi (1989:14) gaji seorang bupati adalah 1.250 gulden setiap bulan. Sugih kan?

Anggaplah pegawai kantoran yang lebih rendah dari mereka diupah sekitar 100 gulden. Dengan uang 100 gulden, seorang PNS bisa makan enak tiap hari bersama keluarga dan menyekolahkan anak.

Bukan cuma orang dari beberapa etnis tertentu yang tak mau Indonesia merdeka. Bukan hanya PNS dan perwira dari Manado atau Ambon. Banyak juga yang berasal dari Jawa, misalnya Trenggono Surjobroto atau Soeriosantoso, atau yang terhitung keturunan Arab seperti Sultan Hamid II.

Negara baru bernama Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 1945 oleh Sukarno-Hatta, dkk. itu jelas sangat tidak menarik bagi mayoritas bekas PNS dan perwira KNIL. RI bisa dibilang merdeka modal dengkul karena tidak punya pemasukan untuk mengupah pegawai. Sebelum 1950, banyak pendukung RI bekerja tanpa digaji.

Di sisi lain, Belanda—kali ini dengan nama Netherlands Indische Civil Arministration (NICA) dan KNIL—datang dengan tawaran yang sulit mereka tolak: gaji besar dan janji kenaikan pangkat.

NICA jauh lebih bisa memberi kesejahteraan dibanding RI yang miskin. Bukan hanya rombeng, kekuatan militer RI pun payah. Sebagai negara baru, kekuatan militernya hanya menang di jumlah personil tapi kalah dalam persenjataan. Tentara RI hanya bisa gerilya tapi sulit memenangkan pertempuran melawan tentara Belanda. Tak heran jika banyak yang berpihak kepada Belanda selama 1945-1949.

Antara 1945 hingga 1949, periode yang kita kenal sebagai Revolusi Kemerdekaan Indonesia, adalah masa-masa pertarungan antara pendukung RI melawan pendukung Belanda di bekas Hindia Belanda yang sekarang jadi Indonesia.

Pertarungan ini mirip adu otot dan adu bacot tiap pilpres. Dalam pilpres, masing-masing pendukung itu yakin kandidat pilihannya akan bikin ekonomi makmur—meski baru sekedar janji. Nah, dalam revolusi 1945-1949, yang jelas paling bisa memberi kesejahteraan ekonomi ya hanya NICA Belanda—ini bahkan bukan janji.

Beruntung RI punya banyak pendukung. Bahkan ada bekas PNS kolonial dan anggota KNIL yang ikut merah putih meski RI miskin. Banyak dari mereka adalah orang muda yang tumbuh sebagai remaja pada era Depresi Ekonomi Dunia (1929) dan Perang Dunia II (1939-1945).

Banyak dari pemuda ini yang kelak diangkat mejadi komandan batalyon atau kepala jawatan dalam pemerintahan RI. Tapi kehidupan mereka tak lebih sejahtera daripada seorang sersan KNIL atau lurah yang bekerja pada NICA. Mereka mengulangi perjuangan Sukarno-Hatta dan kaum pergerakan pada umumnya di era Hindia Belanda: hidup dengan bayangan masa depan yang kabur.

Para calon mertua pribumi pada zaman Hindia Belanda memandang orang seperti Sukarno sebagai orang gila pengganggu Rust en Orde, ketertiban dan keamanan. Orang tua yang ingin mapan di zaman Hindia Belanda, zaman revolusi, bahkan zaman sekarang, pada dasarnya sama saja dan hanya beda bendera. Mereka tentu menginginkan kesejahteraan diri dan keluarganya. Walhasil, mereka selalu menjadi pendukung rezim-rezim yang bisa menjamin rekening mereka terisi tiap bulan.

Boomer era 2020 cuap-cuap ”NKRI harga mati” di kolom komentar Youtube. Boomer edisi 1945 memelihara nostalgia perut kenyang di bawah rezim Tjarda van Starkenborgh.