Polemik Fanfiksi Laras di Dear David

[Tulisan ini mengandung spoiler untuk Dear David (2023)]

 

Film coming of age yang membahas tentang lika-liku hidup remaja seharusnya menjadi tontonan yang menghangatkan hati. Tapi tidak dengan Dear David. Penonton terbagi menjadi dua: mereka yang benar-benar suka atau tidak suka. 

 

Sumber konfliknya? Fanfiksi yang ditulis Laras (Shenina Cinnamon) soal David (Emir Mahira). 

 

Bagi mereka yang tak suka film ini, kelakuan Laras meluapkan fantasi seksualnya dengan David setara dengan pelecehan seksual. Mereka berargumen penulis film tak sepenuhnya paham soal consent dan pelecehan seksual, kelakuan Laras tak mencerminkan statusnya di sekolah, dan lain-lain. Yang menjadi pertanyaan, benarkah apa yang dilakukan Laras adalah pelecehan seksual?

 

Sebelum menjawab pertanyaan itu, saya mau mengatakan bahwa saya tak setuju dengan penilaian tersebut. Kalau kejadian Laras menulis fanfiksi dan cerobohnya mengunggahnya di komputer sekolah dibuang, maka film itu bukan lagi Dear David. Lebih pentingnya lagi, fanfiksi di sini tak hanya menjadi katalis konflik, tapi juga memberikan gambaran soal fantasi seksual remaja putri yang jarang dibahas.  

 

Fanfiksi: Ditakuti dan Disalahartikan

 

[meme Squidward bobo terus kebangun. Teks atas pas Squidward bobo: “Kenzo, 15 tahun, coli ke JAV yang dibagiin temennya”. Teks bawah pas Squidward melotot: “Kezia, 16 tahun, nulis fanfiksi Pembaca x V BTS di Wattpad”] 


 

Apa yang dilakukan Laras mengingatkan saya pada komunitas fan Star Trek beberapa dekade lalu. Bisa dibilang Star Trek adalah fandom modern pertama dengan aktivitas fans paling aktif–zine pertama mereka, Spockanalia, terbit di tahun 1967. Meskipun bersifat tak resmi,  produser Star Trek Gene Roddenberry menyebut fanzine ini wajib dibaca oleh tim produksinya untuk mengetahui apa yang dipikirkan dan diinginkan oleh para fans. Kehadiran Spockanalia mendorong fanzine-fanzine lain untuk terbit; puncaknya, pada tahun 1977 ada 431 fanzine aktif yang terbit di seluruh dunia. 

 

Isi fanzine ini bermacam-macam–dari tulisan opini, esai, gambar yang dibuat fans (fanart), sampai fanfiksi. Awalnya, fanfiksi ini mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang mungkin terjadi dari cerita yang sudah ada. Cerita yang melibatkan hubungan romantik antar karakter cukup jarang–kalaupun ada, biasanya hubungan heteroseksual dan ditandai dengan [nama karakter] & [nama karakter]. Barulah pada September 1974, Diane Marchant menerbitkan A Fragment Out of Time di fanzine Grup. Dalam cerpen sepanjang 500 kata itu, Spock dan Kirk tidak disebut dengan nama, melainkan dengan “he”, “the other”, atau “blond head” dan aktivitas yang mereka lakukan terlalu sensual untuk dibilang perlakuan wajar antara dua teman

 

Kehadiran fanfiksi ini cukup menggemparkan dunia Star Trek. Para fans laki-laki menganggap para fans perempuan yang menciptakan dan membaca fanfiksi Spock/Kirk merusak pengalaman fandom mereka. Tapi para penulis fanfiksi tidak peduli–mereka terus menulis fanfiksi Spock/Kirk. Tanda garis miring yang kerap mereka gunakan menjadi sub genre fanfiksi baru, yaitu slash fanfiction untuk mengacu ke fanfiksi dengan pasangan gay. 

 

Saking produktifnya, fans-fans ini membuat fanzine khusus untuk fanfiksi Spock/Kirk. Tapi berhubung homofobia pada masa itu masih sangat kental dan hukum hak cipta sangat ketat, mereka harus membagikan fanzine mereka secara sembunyi-sembunyi. Sikap ini terus terbawa sampai ke tahun 1990-2000an ketika internet mulai bisa diakses banyak orang. Para penulis fanfiksi–biasanya dari fandom Star Trek, Harry Potter, Percy Jackson, dan lain-lain–menerbitkan tulisannya di komunitas privat LiveJournal atau kalau tak punya malu/tak mau ambil pusing, di fanfiction.net.

 

Seiring dengan semakin berkembangnya fanfiksi di internet, beberapa penulis fanfiksi populer memutuskan untuk menjadi novelis profesional. Salah satunya adalah…

 

E.L. James. Novel 50 Shades of Grey-nya berawal dari fanfiksi Twilight yang nama karakter dan latar ceritanya diubah sedikit supaya terlihat seperti karya asli. 

 

Kemunculan novel tersebut, diikuti dengan novelis-novelis lain yang terbuka dengan konsumsi fanfiksi mereka membuat diskursus media soal fanfiksi memanas. Apa yang memotivasi mereka untuk menulis dan membaca fanfiksi? Apalagi fanfiksi-fanfiksi ini seringkali menggunakan karakter yang secara gender, penampilan, dan pengalaman hidup jauh dari diri mereka sendiri dan tak jarang menggambarkan skenario yang bersifat seksual. 

 

Jawaban utamanya tak jauh dari bagaimana fanfiksi memberikan ruang aman bagi perempuan muda untuk mengeksplorasi seksualitas dan gender mereka. Lewat fanfiksi, mereka bisa menjalani ‘hidup’ lewat karakter yang mereka sukai dan di skenario yang tak mungkin terjadi di kehidupan nyata. Efek dari ‘bagaimana kalau’ fanfiksi juga memaksa orang-orang untuk mengevaluasi kembali dan mengkontemplasikan ketertarikan seksual dan identitas mereka. Sebagian pembaca dan penulis akhirnya bisa mengakui bahwa identitas mereka bukanlah seorang perempuan cis heteroseksual. Tapi ada juga yang merasa mereka masih perempuan cis heteroseksual–mereka hanya butuh ruang untuk mengeksplorasi seksualitas mereka dengan aman tanpa dihantui peran gender dan patriarki. 

 

[INFOGRAFIS. Bagian awal “Kenapa perempuan dan minoritas gender lainnya suka fanfiksi?”

Judul bawahnya: Demografi pengguna Archive of Our Own, situs fanfiksi terbesar dunia. Data per tahun 2013.

 

Umur pengguna

15 or younger - 357 respondents. 3.6%

16 - 18 - 1588 respondents. 15.9%

19 - 21 - 2302 respondents. 23.0%

22 - 24 - 1949 respondents. 19.5%

25 - 29 - 1878 respondents. 18.8%

30 - 34 - 933 respondents. 9.3%

35 - 39 - 404 respondents. 4.0%

40 - 49 - 440 respondents. 4.4%

50 or older - 140 respondents. 1.4%

 

Gender pengguna

Laki-laki - 417 respondents. 4.2%

Perempuan - 9039 respondents. 90.3%

Transgender - 227 respondents. 2.3%

Queer - 242 respondents. 2.4%

Agender - 232 respondents. 2.3%

Genderqueer - 727 respondents. 7.3%

Neutrois - 62 respondents. 0.6%

Trans* - 191 respondents. 1.9%

Other: Textbox - 114 respondents. 1.1%

 

Apakah kamu bagian dari LGBTQ+?

Yes -5376 respondents. 53.7%

No - 4483 respondents. 44.8%


 

Tak seperti pornografi yang langsung to the point menggambarkan aktivitas seksual, fanfiksi mengutamakan penggambaran romantik dan intimasi. Pembaca tak hanya disuguhkan adegan panas, tapi juga memahami perasaan dan keinginan para karakter sehingga lebih imersif. Bagian ini pula yang mendorong para pembaca untuk memikirkan seks dan intimasi seperti apa yang mereka inginkan. Tapi masalahnya, banyak fanfiksi yang kurang tepat menggambarkan aktivitas seksual. Akibatnya, banyak pembaca yang dibuat kecewa dengan pengalaman intim pertamanya. Ya, seperti yang dirasakan Laras setelah ciuman dengan David–ekspektasi dari fantasinya ternyata tak seindah kenyataan. 

 

Sedari tadi, pembahasan soal fanfiksi masih berputar pada fanfiksi yang melibatkan karakter fiksi. Lalu bagaimana dengan fanfiksi yang melibatkan manusia nyata, seperti yang dilakukan oleh Laras? Fanfiksinya masuk dalam subgenre real person fanfiction (RPF). Umumnya, RPF melibatkan aktor, selebritis, idola kpop, atlet, atau–ini bisa dibilang jarang–gebetan kita sendiri. Bisa dibilang RPF merupakan manifestasi dari hubungan parasosial–para penulis menggunakan persona publik artis yang mereka sukai dan menempatkannya di berbagai skenario. Dan salah satu skenario paling umumnya adalah membayangkan sang artis berpacaran dengan pembaca–ya seperti fanfiksi Wattpad yang berjejer di toko buku itu. 

 

Dalam hal etika, RPF ada di area abu-abu. Di satu sisi, para penulis menggunakan persona publik para selebritis. Sisanya adalah fantasi si penulis yang disesuaikan dengan situasi yang mereka inginkan. Bisa dibilang apa yang mereka lakukan adalah mengubah tokoh-tokoh ini sebagai karakter yang punya hubungan minim dengan kepribadian dan kehidupan asli mereka. Stitch, penulis RPF dan kontributor Teen Vogue, menyebut memproduksi dan mengkonsumsi produk RPF adalah cara lain untuk bisa lebih dekat dengan artis yang dia sukai. Atau lebih dasarnya lagi, membuat mereka bisa lebih memahami kenapa mereka bisa menyukai artis tersebut.

 

Adanya internet juga membuat para publik figur mengetahui fanfiksi soal mereka. James McAvoy, Michael Fassbender, Hugh Jackman menganggap fanfiksi soal mereka lucu. NU’EST Minhyun tahu para fans memasangkannya dengan anggota grupnya atau idol lain. Ya ada sih yang menolak, seperti pemain baseball Andy Pettitte yang sampai mengirim surat cease and desist.  

 

Lalu bagaimana dari sisi fans yang menolak mentah-mentah keberadaan RPF? Alasan mereka tak jauh-jauh dari masalah privasi dan consent. Alasan pertama, karena mendehumanisasi mereka karena menganggap hanya mereka sebagai karakter. Alasan kedua, beberapa penulis menempatkan para orang-orang nyata ini di hubungan seksual yang ekstrim dan tabu. Dan alasan ketiga, penulis RPF mengusik kehidupan pribadi para artis–beberapa ada yang menuduh para penulis RPF menguntit tokoh kesukaan mereka karena kelewat terobsesi. Tapi lagi-lagi itu hanya tuduhan tak berdasar–sejauh ini belum ada kasus sasaeng yang hobinya menulis RPF. 

 

“Tapi Ann, Laras ‘kan menulis fanfiksi soal dirinya dengan David, teman masa kecilnya. Kalau begini bukankah ia mendehumanisasi dan mengobjektifikasi David sebagai pemuas seksualnya? Bukankah apa yang Laras lakukan itu juga sebuah bentuk pelecehan seksual?”

 

Saya kurang setuju dengan hal ini. Pertama, membayangkan diri di sebuah skenario seksual dengan seseorang yang kita sukai, terutama di masa puber, adalah hal yang normal. Kalau orang lain menonton bokep tapi mengganti pemeran di layar dengan dirinya dan gebetannya sendiri, Laras menuliskannya di blog privat. Perlu diingat tulisan-tulisan itu bukan untuk konsumsi publik–hanya sebuah cara bagi Laras untuk meluapkan fantasi sekaligus melatih kemampuan menulis kreatifnya. Soal keputusan bodohnya mengunggah tulisan tersebut di komputer sekolah yang berujung ke satu sekolah tahu soal fantasinya itu lain hal. Bahkan bisa dibilang Laras di sini adalah korban karena tulisannya dicuri dan disebarluaskan tanpa izin. 

 

Selama Laras tidak menuliskan fantasinya dengan David di ruang publik, lalu dengan sengaja memberikan tulisan tersebut ke David atau orang lain untuk dibaca, maka itu bukan pelecehan seksual. Karena salah satu butir pelecehan seksual menurut Equal Employment Opportunity Commission adalah “mendiskusikan hubungan/cerita/fantasi seksual seseorang di tempat kerja, sekolah, atau di tempat lain yang dirasa tak pantas”. Justru pelecehan seksual baru dimulai kala tulisan tersebut disebar ke sekolah oleh orang tak bertanggung jawab. Ini semakin jelas ketika teman-teman dan bahkan staf sekolah (!) Laras dan David membuat komentar melecehkan ke mereka berdua.

 

Melihat diskursus soal plot film ini, dimana penonton menunjuk Laras sebagai pelaku pelecehan seksual ke David karena menulis fanfiksi soal mereka berdua, membuat saya berpikir. Apakah masyarakat kita–mau yang konservatif maupun progresif–semakin mengamini pandangan puritanisme soal seks, bahwa hanya laki-laki saja yang bisa mengekspresikan hasrat seksual mereka? Menolak perempuan muda juga bisa punya hasrat seksual–seperti yang diucapkan oleh Laras di film tersebut? Atau lebih buruknya lagi, melarang berbagai bentuk ekspresi hasrat yang hanya diketahui dan dikonsumsi oleh pribadi seorang?