Politik Singkong di Tanah Hindia Belanda:

Politik Singkong: Dari Tanaman Pangan ke Alat Dagang di Hindia Belanda

Singkong adalah salah satu tanaman yang memiliki peran besar dalam sejarah Indonesia, terutama pada masa kolonial. Tanaman ini dikenal dengan berbagai nama, seperti kaspe, pohung, sampeu, dan ubi kayu, tergantung pada daerahnya. Meskipun diperkirakan telah dibudidayakan selama lebih dari 5.000 tahun, asal-usul singkong masih menjadi perdebatan. Namun, pada akhir abad ke-19, para peneliti sepakat bahwa singkong berasal dari Amerika Selatan dan menyebar ke seluruh dunia berkat pedagang Portugis.

Namun, siapa sangka bahwa singkong ternyata memiliki keterkaitan erat dengan perlawanan kepada Hindia Belanda? Politik singkong bukan sekadar tentang pertanian, tetapi juga bagaimana tanaman ini menjadi alat ekonomi dan politik yang memengaruhi jalannya sejarah.

Singkong Adalah Tanaman yang Sulit Diterima di Hindia Belanda

Pada awalnya, singkong adalah tanaman yang sulit diterima oleh masyarakat pribumi. Seorang ahli botani Belanda, Teysmann, mencatat bahwa singkong sudah lama dikenal di Jawa dan kemungkinan besar diimpor dari Tiongkok sebelum abad ke-19. Van Overstraaten, seorang gubernur di Pantai Timur Laut Jawa, mencoba memperkenalkan singkong dari Mauritius ke Batavia. Sayangnya, usaha ini gagal karena varietas yang dibawa tidak mampu beradaptasi dengan baik.

Namun, upaya untuk mengembangkan singkong terus dilakukan oleh pemerintah kolonial. Salah satu tokoh penting dalam sejarah politik singkong adalah Daendels, yang memperkenalkan tanaman ini secara luas di Jawa dengan nama "telo jendral." Namun, karena masyarakat masih enggan mengonsumsinya, singkong banyak dibiarkan tumbuh liar di pagar-pagar rumah.

Titik terang terjadi pada tahun 1852 ketika bibit singkong dari Karibia berhasil sampai ke Pulau Jawa. Bibit ini dikembangkan di Balai Penelitian Tanaman di Buitenzorg dan mampu menghasilkan singkong yang lebih manis. Sejak saat itu, tanaman ini mulai diterima oleh masyarakat dan dikembangkan lebih lanjut untuk kebutuhan pangan dan industri.

Perlawanan kepada Hindia Belanda Melalui Komoditas Singkong

Pada akhir abad ke-19, kebutuhan singkong di pasar internasional melonjak drastis. Singkong adalah komoditas yang mulai digunakan untuk berbagai kebutuhan industri, seperti pakan ternak dan bahan baku minuman beralkohol. Peluang ini dimanfaatkan oleh pengusaha perkebunan di Hindia Belanda, terutama di Pulau Jawa. Banyak pabrik pengolahan singkong didirikan, dan sebagian besar dimiliki oleh orang Tionghoa.

Namun, menariknya, ada satu pabrik pengolahan singkong di Kediri yang dimiliki oleh penduduk bumiputera. Meski hanya menghasilkan tepung singkong kasar, keberadaan pabrik ini menjadi simbol perlawanan kepada Hindia Belanda dalam sektor ekonomi. Ini menunjukkan bahwa pribumi mulai berusaha mandiri dalam mengelola sumber daya alamnya sendiri.

Politik Singkong dan Timnas Hindia Belanda: Hubungan yang Tak Disangka!

Siapa sangka bahwa politik singkong juga berkaitan dengan Timnas Hindia Belanda? Pada awal abad ke-20, Hindia Belanda mulai dikenal di dunia sepak bola, dan salah satu kebijakan kolonial terkait pangan ikut memengaruhi performa atlet pribumi. Dalam beberapa laporan sejarah, pola makan para pemain Timnas Hindia Belanda pada saat itu didominasi oleh pangan alternatif seperti singkong karena keterbatasan akses terhadap beras.

Keberadaan singkong dalam pola makan para pemain bisa dilihat sebagai bagian dari strategi kolonial. Pemerintah Belanda berusaha mengurangi ketergantungan pribumi pada beras, sehingga mereka mendorong konsumsi singkong secara luas. Dengan demikian, politik singkong bukan hanya berkaitan dengan ekonomi, tetapi juga berdampak pada dunia olahraga.

Pasang Surut Politik Singkong di Hindia Belanda

Seiring meningkatnya permintaan ekspor, budidaya singkong di Hindia Belanda semakin berkembang. Dari tahun 1900 hingga 1920, luas area panen meningkat drastis dari 132 ribu hektar menjadi 812 ribu hektar. Produksi singkong melonjak dari 1,05 juta ton menjadi 6,45 juta ton.

Namun, kejayaan ini tidak berlangsung lama. Perlawanan kepada Hindia Belanda dalam berbagai aspek mulai meningkat, termasuk dalam sektor pertanian. Banyak penduduk pribumi yang sadar bahwa sistem ekonomi kolonial hanya menguntungkan pihak penjajah, sementara mereka tetap hidup dalam kemiskinan.

Pada tahun 1920-1930, stagnasi terjadi akibat pembangunan infrastruktur besar-besaran oleh pemerintah kolonial. Jalur kereta api, jalan raya, dan proyek lainnya menyebabkan banyak lahan pertanian berkurang. Ditambah dengan cuaca buruk, produksi singkong mulai menurun.

Namun, saat dunia mengalami krisis ekonomi pada 1930-an, singkong kembali menjadi primadona. Singkong adalah solusi pangan murah yang dapat diakses oleh masyarakat luas, sehingga permintaannya meningkat. Area panen kembali meluas, terutama di Jawa dan Madura, yang menjadi pusat produksi singkong terbesar di Hindia Belanda.

Dari Politik Singkong hingga Kebijakan Pangan Modern: Pelajaran dari Masa Lalu

Meskipun telah berabad-abad berada di Indonesia, singkong tidak pernah bisa menggantikan beras sebagai makanan utama. Salah satu alasan utamanya adalah kandungan protein singkong yang lebih rendah dibandingkan beras, sehingga kurang diminati sebagai sumber pangan utama.

Namun, sejarah menunjukkan bahwa politik singkong bukan sekadar urusan pertanian, tetapi juga strategi kolonial yang memengaruhi ekonomi dan perlawanan kepada Hindia Belanda. Bahkan hingga saat ini, kebijakan pangan terkait singkong masih sering menjadi perdebatan, seperti proyek food estate singkong yang digagas oleh mantan Presiden Joko Widodo, yang akhirnya berakhir tanpa hasil.

Lalu, apakah kita akan terus mengulangi kesalahan dengan menggantungkan diri pada kebijakan pangan yang tidak berpihak kepada rakyat? Ataukah kita akan belajar dari sejarah dan mengembangkan sumber daya pangan lokal yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat?

 

 

Politik Singkong di Tanah Hindia Belanda:

Dari Produk Pangan Menjadi Produk Dagang


 

Singkong (Manihot utilissima), salah satu tanaman pangan di Indonesia yang dikenal dengan berbagai macam nama. Orang Jawa menyebut tanaman itu dengan nama budin, kaspe, pohung. Berbeda dengan orang Sunda yang menyebutnya sampeu. Sementara itu, orang Melayu menamainya sebagai ubi kayu, singkong, dan ketela pohon. 

Meski kemungkinan tanaman ini telah dibudidayakan sejak 5000 tahun yang lalu, tempat asal singkong tumbuh masih banyak diperdebatkan. Namun pada akhir abad ke-19, para peneliti sepakat bahwa genus Manihot ini berasal dari Amerika Selatan. Singkong kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia berkat para pedagang Portugis.

 

Masa Pengenalan 

Tanaman dengan akar yang dimanfaatkan secara luas ini berhasil ditanam di tanah Hindia Belanda setelah melalui proses pengenalan yang cukup panjang. Seorang ahli botani asal Belanda, Teysmann, mencatat bahwa singkong sudah dikenal di Jawa cukup lama dan kemungkinan diimpor dari Tiongkok jauh sebelum abad ke-19. Van Overstraaten, seorang gubernur Pantai Timur Laut Jawa (1791-1796) diperkirakan menjadi sosok yang memperkenalkan penanaman singkong yang dibawanya dari Mauritius ke Batavia. Sayangnya usahanya itu kurang berhasil karena varietas yang dibawanya tidak mampu beradaptasi dengan baik. 

Usaha mengadaptasikan singkong ini terus dilakukan oleh Belanda di tanah jajahannya terutama sepanjang abad ke-19. Hal ini memberi indikasi seolah-olah singkong memiliki potensi besar sebagai bahan pangan penyangga ketika gagal panen yang kerap melanda tiba. Seorang pejabat VOC bernama Dirk van Hogendorp mengklaim ia telah berhasil mengenalkan singkong di Surabaya. Namun klaim tersebut dibantah oleh lawan politiknya dalam kontestasi kursi jabatan sebagai gubernur VOC di Pantai Utara Jawa pada tahun 1802 dan 1805. 

Lebih luas, budidaya singkong secara resmi dimulai oleh Daendels. Berkat sang gubernur jenderal itu, singkong meluas di tanah Jawa dengan nama “telo jendral.” Sayangnya upaya itu masih belum memberikan hasil yang maksimal. Pasalnya, penduduk masih enggan mengkonsumsinya sehingga banyak singkong yang justru berakhir tumbuh liar di pagar-pagar tanaman.

Sementara itu, Junghuhn, botanikus terkemuka, untuk pertama kali pada tahun 1838 mengidentifikasi singkong tumbuh di tanah Jawa, tepatnya di Buitenzorg (sekarang Bogor) dan Cianjur. Wilayah itu memiliki lahan kering dan miring yang tidak cocok untuk ditanami padi. Di sana ia menemukan banyak singkong ditanam oleh penduduk dalam jumlah kecil. Mereka menyebut tanaman pangan itu dengan nama “ubi dangdeur.” 

Terdapat kemungkinan bahwa singkong yang dibawa ke Asia tidak cocok dengan selera pribumi yang gemar mengonsumsi makanan manis. Hal ini dikarenakan singkong yang tumbuh tidak dapat beradaptasi dengan baik sehingga menghasilkan cita rasa yang cenderung pahit. Untuk memperbaiki kualitas itu, Pemerintah kolonial mencoba mengirim bibit singkong dari Suriname. Sayangnya, sebagian besar bibit tersebut tiba di Pulau Jawa dalam keadaan mati. 

Titik terang mulai didapat ketika bibit dari Karibia sampai dengan selamat di Pulau Jawa pada tahun 1852. Bibit-bibit tersebut dikembangkan di Balai Penelitian Tanaman di Buitenzorg dan mampu menghasilkan singkong yang lebih manis. Varietas itu dikenalkan kepada para residen di Jawa dan Palembang yang diundang untuk mempelajari penanaman singkong di Balai Penelitian Tanaman itu pada tahun 1854. 

 

Periode Pasang Surut

Pada akhir abad ke-19, kebutuhan singkong di pasar internasional meningkat. Bagi penduduk Eropa, singkong adalah bahan penting untuk membuat berbagai macam olahan, seperti pakan ternak hingga minuman beralkohol yang berharga. Peluang tersebut dimanfaatkan dengan baik, terutama di pulau Jawa yang banyak menghasilkan bahan mentah komoditas pertanian. Singkong juga umumnya diolah menjadi bahan setengah jadi seperti tepung tapioka sebelum diekspor ke berbagai negara. 

Budidaya singkong perlahan mulai meningkat berkat perusahaan-perusahaan perkebunan yang mencoba peruntungan dari komoditas tersebut. Sebagian besar pabrik pengolahan tersebut dimiliki oleh orang Tionghoa di Hindia Belanda. Kecuali di Kediri, terdapat pabrik pengolahan singkong yang dimiliki oleh penduduk bumiputera. Namun pabrik itu hanya menghasilkan tepung singkong kasar yang hasilnya kemudian disetor ke pabrik pengolahan milik orang Tionghoa.

Kepopularitasan singkong terus stabil hingga abad ke-20. Bersama dengan negara lain yang meliputi Semenanjung Malaya, Brazil, Madagaskar, Reunion, Hindia Barat, Amerika Utara, Afrika Barat, Hindia Belanda khususnya Jawa berhasil menjadi negara baru eksportir singkong bagi pasar dunia. Inggris dan Amerika juga turut mengimpor singkong dari Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Hal ini mendorong munculnya pusat eksportir olahan singkong di tanah jajahan itu yang meliputi wilayah Priangan, Kediri, dan Batavia.

Permintaan ekspor yang terus meningkat tersebut mendorong terjadinya pertumbuhan budidaya singkong terutama sepanjang tahun 1900 hingga 1920 di Hindia Belanda. Area panen singkong yang hanya seluas 132 ribu hektar pada tahun 1900, berhasil meningkat menjadi 812 ribu hektar pada tahun 1920. Begitu pula pada hasil panen yang terjadi peningkatan mencapai 600%, dari 1,05 juta ton pada tahun 1900 menjadi kurang lebih sebanyak 6,45 juta ton pada tahun 1920. Sayangnya tahun-tahun emas itu harus terhenti pada tahun 1920 hingga 1930. Pada periode tersebut, Pemerintah Kolonial banyak melakukan pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalur kereta api, jembatan, jalan raya, dll. Stagnasi budidaya singkong juga terjadi didorong cuaca buruk dan berkurangnya lahan kering untuk penanaman singkong pada periode tersebut. 

Periode keemasan budidaya singkong kembali terjadi pada tahun 1930 hingga 1940. Masa ketika zaman malaise terjadi berhasil membawa Hindia Belanda, terutama Jawa, menjadi kantung penting bahan pangan dunia terutama yang berasal dari singkong. Krisis ekonomi sangat parah yang menimpa seluruh dunia pada periode tersebut mendorong kebutuhan akan bahan pangan alternatif dengan harga yang murah terus meningkat. Di Jawa dan Madura, area panen yang semula hanya 653 ribu hektar pada tahun 1930 menjadi 1.041 hektar pada tahun 1940. 

Selain dijual mentah atau dijual setelah menjadi tepung tapioka, singkong dari Hindia Belanda juga biasa dijual dalam bentuk gaplek dan tepung gaplek. Ekspor kedua produk tersebut sempat menurun namun berhasil kembali meningkat pada tahun 1935 dengan jumlah ekspor hampir 200 ribu ton pada tahun 1937. Hal tersebut mendorong Hindia Belanda menjadi negara eksportir gaplek dan tepung gaplek terbesar di dunia. Beberapa penduduk di wilayah Hindia Belanda juga mengolah singkong menjadi gaplek untuk konsumsi pribadi terutama ketika kemarau panjang tiba dan harga beras naik. Wilayah tersebut antara lain Kedu, Semarang, Malang, dan Vorstenlanden.

Meskipun telah beberapa abad datang di tanah Indonesia, singkong tidak mampu menempati posisi pertama sebagai bahan pangan. Tanaman ini dianggap inferior karena memiliki protein yang lebih rendah daripada beras sehingga harganya lebih rendah di pasaran. 

Meskipun mampu hidup dalam segala kondisi, tanaman yang bisa dipanen sepanjang tahun ini dikenal sebagai tanaman yang menguras banyak nutrisi pada tanah sehingga dapat menurunkan produktivitas tanah itu sendiri. Namun lagi-lagi seolah memiliki masa depan yang cerah, Pemerintah Indonesia juga masih gemar membangun proyek food estate singkong yang ujungnya berakhir mangkrak seperti yang digagas mantan presiden Joko Widodo. 

Jika untuk kebutuhan alternatif pangan, bukankah akan lebih baik jika menggenjot masyarakat untuk mengonsumsi bahan pangan lokal yang telah lama mereka kenal dan tentu ramah lingkungan daripada bahan pangan baru yang merupakan sisa politik dari para penjajah