Teknik pembuatan garam di Nusantara, khususnya di Jawa dan Bali pada abad ke-19 dipengaruhi teknik pembuatan garam kuno dari Provinsi Fujian (dalam dialek lain disebut juga Fukien). Wilayah yang terletak di bagian selatan China ini menjadi salah satu wilayah penyumbang garam nasional terbanyak. Sebesar 61% garam nasional China pada akhir abad ke-14 berasal dari Provinsi Hwainan, Liangche, Shiantung, dan Fujian.
Salah satu provinsi penghasil pertama garam di Tiongkok adalah Fujian di abad ke-16. Ia menjadi provinsi pertama yang berhasil mengubah metode pembuatan garam dari perebusan menjadi penguapan matahari penuh. Caranya, garam yang didapat dari air laut ditangkap dengan abu alang-alang atau jerami yang disebar di tanah dengan kedalaman kurang lebih satu inci. Selain itu, pasir vulkanik berwarna hitam yang biasa ditemukan di pantai juga bisa digunakan.
Gumpalan yang dihasilkan dari percampuran keduanya lalu disaring secara berulang menggunakan air laut. Proses penyaringan ini menghasilkan air garam yang kemudian dituangkan ke wajan besar. Proses kristalisasinya memerlukan waktu beberapa jam menggunakan teknik penjemuran dengan sinar matahari langsung.
Tingkat salinitas air garam yang cukup tinggi membuat proses kristalisasi garam bisa dilakukan dalam waktu singkat. Ditambah Fujian mengalami mengalami musim panas lebih panjang daripada wilayah lain, membuat daerah ini sebagai penyumbang garam terbesar di Tiongkok.
Industri garam di China mulai mencapai pengendalian penuh pada masa pemerintahan Dinasti Ming (1368-1644). Pajak garam bahkan menjadi bagian penting pada masa pemerintahan tersebut. Kekaisaran dapat mengumpulkan pendapatan tahunan hingga empat juta tael perak yang mana separuhnya didapat dari pajak garam. Monopoli perdagangan garam yang telah dilakukan pada masa Dinasti Ming itu kemudian diadopsi pada masa Ch’ing atau Qing (1644-1911).
Pada masa Dinasti Ming, dibangun sebuah pusat kota baru yang bernama Yuncheng yang secara harfiah berarti “Kota Komisi Distribusi Garam.” Kota itu menjadi pusat administrasi baru dari monopoli garam. Kota itu berada di utara situs candi kuno yang dikenal dengan sebutan Kuil Dewa Danau Air Asin. Salah satu dewa yang menempati kuil itu adalah sosok bernama Guan Yu. Ia berbeda dengan dewa-dewa lain yang disembah di tempat itu.
Guan Yu dikenal sebagai seorang panglima perang yang hidup pada Zaman Tiga Kerajaan. Nama Guan Yu tercantum dalam Sanguozhi (Sejarah Tiga Kerajaan) yang ditulis oleh Chen Shou sekitar enam puluh tahun setelah kematian Guan Yu. Ia menuliskan kisah persahabatan dan pengabdian Guan Yu kepada Liu Bei yang berasal dari keluarga kekaisaran Han.
Bersama dengan tukang daging bernama Zhang Fei, kedua sahabat itu mengucapkan “Sumpah di Kebun Persik” yang mengikat mereka untuk melindungi satu sama lain sampai mati. Kemudian Guan Yu menjadi jenderal dan gubernur dari sebuah provinsi. Keahlian Guan Yu dalam berperang menarik perhatian Cao Cao, musuh dari keluarga Liu Bei. Ia diminta untuk memihak Cao Cao dengan imbalan kekayaan dan gelar namun ia memilih tetap setia pada sumpahnya itu. Pada tahun 220 M Guan Yu ditangkap musuh dan dibunuh. Karir Guan Yu sebagai dewa pelindung kuil diluncurkan oleh umat Buddha dan mulai biasa digunakan pada masa Dinasti Song (960-1279). Tidak butuh waktu lama bagi kuil-kuil Taois untuk mengadopsi sosok Guan Yu sebagai dewa pelindung mereka.
Di Yuncheng, Provinsi Shanxi, tempat Guan Yu dilahirkan, terdapat danau air asin yang sangat terkenal. Pada masa Dinasti Song, sebuah kuil Taois didirikan untuk Guan Yu di danau air asin itu. Menurut mitos, di sana telah berdiri sebuah kuil Kaisar Kuning yang legendaris yang awalnya dibangun di tepi danau. Namun, tidak lama kemudian muncul iblis bernama Chi You, pemimpin suku Miao yang berhasil dikalahkan oleh Kaisar Kuning yang mulai mengancam daerah tersebut.
Pemimpin Taoisme, Zhang, diinstruksikan oleh istana kekaisaran untuk menemukan cara mengakhiri penodaan kehormatan kekaisaran karena produksi garam di danau itu terhenti. Sang Guru memanggil bantuan Guan Yu yang kemudian mengirimkan tentara bayangan (yin) untuk melawan dan menaklukkan Chi You. Setelah pertarungan panjang di atas danau, Guan Yu berhasil mengalahkan sang iblis. Darah iblis yang tumpah ke danau kemudian menyegarkan air sehingga air danau kembali dapat memproduksi garam. Maka kemudian kuil ini juga didedikasikan untuk mengucapkan terima kasih kepada Guan Yu dan untuk memperingati peristiwa ini.
Nama Guan Yu sangat dijunjung tinggi pada masa Dinasti Ming. Para komandan Ming yang pernah berperang melawan Jepang di Semenanjung Korea percaya bahwa pemujaan terhadap Guan Yu akan menginspirasi semangat militer para prajurit, karena ia secara luas dianggap sebagai perwujudan keberanian dan kemenangan. Guan Yu kemudian menjadi tokoh sejarah yang dianugerahi gelar kehormatan yakni pangkat kaisar pada tahun 1615.
Pada akhir Dinasti Ming pula, Guan Yu dianggap menjadi dewa dengan kepentingan trans-regional. Sejak saat itu, reputasinya tersebar sebagai Dewa Garam (Salt God). Oleh pedagang area Shanxi, ia bahkan dianggap pula sebagai Dewa Kekayaan dan Dewa Pelindung yang mampu menjaga danau air asin, obyek vital bagi produksi garam di wilayah tersebut.
Kuil-kuil yang dibangun untuk Guan Yu kemudian disebut dengan nama Kuil Guandi. Salah satu kuilnya juga dibangun di Dongshan, Provinsi Fujian yang juga menjadi kuil penting sebagai pusat simbolis gerakan anti Qing. Kuil ini juga menjadi kuil benih bagi banyak Kuil Guandi di Taiwan dan Asia Tenggara yang tersebar melalui hubungan perdagangan maritim.
Meskipun tidak berhubungan secara langsung, keberadaan Guan Yu sebagai Dewa Garam turut berpengaruh pada pembuatan garam di Indonesia. Kepercayaan penduduk China pada Dewa Garam lahir karena keterikatan mereka pada alam yang mampu menghasilkan air asin dan matahari yang membantu proses pengkristalan. Beberapa petani garam di Indonesia masih menggunakan teknik kuno dari Fujian ini terutama di kawasan Pantai Kusamba, Kecamatan Klungkung, Bali.
Teknik serupa juga masih digunakan oleh sebagian petani garam di Semenanjung Noto, Jepang. Garam yang didapat dari proses panjang yang sangat bergantung pada alam ini bahkan sangat terkenal sebagai salah satu oleh-oleh khas Semenanjung Noto. Pembuatan garam dengan teknik kuno dari Fujian yang telah berusia ratusan tahun itu kini mulai hilang di Indonesia. Namun apakah Indonesia mampu melestarikan warisan yang hampir punah ini?