Program KIP Kuliah Salah Sasaran, Banyak Mahasiswa yang Lebih Membutuhkan Menjadi Korban

Program KIP Kuliah Salah Sasaran, Banyak Mahasiswa yang Lebih Membutuhkan Menjadi Korban
 
Saya adalah salah satu dari banyak pelajar di Indonesia yang beruntung karena lolos ke perguruan tinggi negeri melalui jalur undangan. Namun, gayung tidak bersambut. Saya dan orang tua begitu terkejut melihat tagihan UKT yang harus dibayarkan. Meskipun tidak sampai dua juta rupiah per semester, saya tetap merasa keberatan. Orang tua saya hanyalah buruh tani yang bahkan sawahnya bukan punya sendiri, melainkan tetangga. Niat hati ingin mengundurkan diri, orang tua saya melarang dan berkata: “Pasti ada rezekinya. Kami akan usahakan.”
Saat itu, teman sekolah saya memberi informasi bahwa pendaftaran Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah telah dibuka. Lantas, saya kontan mendaftarkan diri tepat setelah menerima informasi tersebut. Sayangnya, dewi fortuna sedang tidak berpihak kepada saya. Saya gagal mendapatkan KIP Kuliah.
Sekilas Tentang KIP Kuliah
Program Indonesia Pintar (PIP) adalah program yang diatur di Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 10 tahun 2020. Program ini merupakan program pemerintah yang memberikan bantuan dana kepada calon mahasiswa, spesifiknya mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu, berasal dari daerah 3T, mengalami bencana, konflik sosial, atau kondisi khusus lainnya, serta penyandang disabilitas. Sebelum dinamakan KIP Kuliah, program ini bernama bidikmisi yang telah berjalan sejak tahun 2010. Program ini kemudian diganti menjadi KIP Kuliah pada tahun 2020, kemudian disempurnakan menjadi KIP Kuliah Merdeka tahun 2021. 
Walau berganti nama, Bidikmisi dan KIP Kuliah Merdeka tidak punya banyak perbedaan. Malah KIP Kuliah adalah perluasan dari program bidikmisi. Berdasarkan usulan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) pada tahun 2019, perbedaan bidikmisi dengan KIP Kuliah ada pada alokasi biayanya. Pada bidikmisi, biaya yang diberikan hanya untuk biaya hidup, sementara pada KIP Kuliah, biaya yang diberikan mencakup biaya UKT serta biaya hidup.
Syarat KIP Kuliah
Penerima KIP-Kuliah adalah siswa SMA atau sederajat yang akan lulus pada tahun berjalan atau lulus 2 tahun sebelumnya
Memiliki potensi akademik baik tetapi memiliki keterbatasan ekonomi yang didukung bukti dokumen yang sah
Lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru, dan diterima di PTN atau PTS pada Prodi dengan Akreditasi A atau B, dan dimungkinkan dengan pertimbangan tertentu pada Prodi dengan Akreditasi C
Keterbatasan ekonomi calon penerima KIP Kuliah dibuktikan dengan:
Kepemilikan program bantuan pendidikan nasional dalam bentuk Kartu Indonesia Pintar (KIP)
Berasal dari keluarga peserta Program Keluarga Harapan (PKH)
Pemegang Kartu Keluarga Sejahtera (KKS)
Mahasiswa dari panti sosial/panti asuhan
Mahasiswa dari keluarga yang masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kemensos.
Jika calon penerima tidak memenuhi salah satu dari 4 kriteria di atas, maka dapat tetap mendaftar untuk mendapatkan KIP Kuliah Merdeka selama memenuhi persyaratan miskin/rentan miskin sesuai dengan ketentuan, yang dibuktikan dengan: 
Bukti pendapatan kotor gabungan orang tua/wali paling banyak Rp4.000.000 setiap bulan atau pendapatan kotor gabungan orang tua/wali dibagi jumlah anggota keluarga paling banyak Rp750.000;
Bukti keluarga miskin dalam bentuk Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang dikeluarkan dan dilegalisasi oleh pemerintah, minimum tingkat desa/kelurahan untuk menyatakan kondisi suatu keluarga yang termasuk golongan miskin atau tidak mampu.
Komponen Biaya Kuliah yang Ditanggung KIP Kuliah
Biaya pendidikan
Prodi dengan akreditasi unggul A atau Internasional maksimal Rp 8.000.000 dan khusus prodi kedokteran maksimal Rp 12.000.000

2. Prodi dengan akreditasi Baik sekali atau B maksimal Rp 4.000.000

3. Prodi dengan akreditasi Baik atau C maksimal Rp 2.400.000


Biaya hidup per bulan (dibagi berdasarkan klaster wilayah)
1. Klaster 1: Rp 800.000

2. Klaster 2: Rp 950.000

3. Klaster 3: Rp 1.100.000

4. Klaster 4: Rp 1.250.000

5. Klaster 5: Rp 1.400.000

Sumber: kip-kuliah.kemendikbud.go.id 
Anggaran untuk KIP Kuliah terus naik setiap tahunnya. Seiring dengan naiknya anggaran, jumlah penerimanya pun juga ikut naik. 

Statistik KIP Kuliah 2023
161.953 mahasiswa baru terpilih menjadi penerima KIP Kuliah Merdeka. Dari total mahasiswa tersebut, 55.660 (34%) merupakan laki-laki dan 106.293 (66%) perempuan. 
Sebanyak 71.149 (44%) mahasiswa kuliah di 123 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan 90.804 (56%) mahasiswa kuliah di 1.941 Perguruan Tinggi Swasta (PTS). 
Total perguruan tinggi yang menerima mahasiswa KIP Kuliah sebanyak 2.064 perguruan tinggi di seluruh Indonesia.
Sebanyak 133.619 (82,5%) mahasiswa kuliah pada jenjang S1, 10.179 (6,3%) mahasiswa jenjang D4, 18.007 (11,1%) mahasiswa jenjang D3, 131 (0,1%) mahasiswa  jenjang D2 dan 17 mahasiswa pada jenjang D1.
Penerima KIP Kuliah yang kuliah pada Prodi dengan Akreditasi A sebanyak 34.416 orang (21%), Akreditasi B 88.914 orang (55%), sedangkan Akreditasi C sebanyak 38.623 orang (24%).
Lima besar provinsi asal mahasiswa penerima KIP Kuliah Merdeka Tahun 2023 adalah Jawa Barat  sebanyak 20.774 mahasiswa (12,8%), Jawa Timur 19.127 mahasiswa (11,8%); Jawa Tengah 14.540 mahasiswa (9,0%), Sumatera Utara 13.647 mahasiswa (8,4%) dan Nanggroe Aceh Darussalam sebanyak 8.450 mahasiswa (5,2%).
Top 3 prodi tujuan mahasiswa penerima KIP Kuliah: prodi pendidikan (33.263 mahasiswa); prodi teknik (33.095 mahasiswa); dan prodi ekonomi (30.134 mahasiswa).
Sumber: Puslapdik Kemendikbudristek 2024
Kepala Puslapdik Abdul Kahar menyatakan jumlah pendaftar KIP Kuliah tahun 2023 sudah mencapai angka 1 juta lebih. Dari semua pendaftar, hanya 161.000 mahasiswa yang akan mendapatkan beasiswa ini. Besarnya animo mahasiswa membuat pemerintah menaikkan kuota penerima beasiswa KIP Kuliah tahun ini menjadi 200.000. Tentunya jumlah pendaftar beasiswa tahun ini akan meningkat. Sebagai gambaran, dari 191.151 siswa pelamar KIP Kuliah jalur Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP) 2024, hanya 39.056 yang mendapatkan KIP Kuliah dan lolos SNBP 2024. Sisa spot penerima sejumlah 160.994 akan diberikan ke calon mahasiswa yang lolos dari jalur lain. 
Kurang Sosialisasi, Rawan Penyelewengan
Walau anggaran, jumlah penerima, dan pendaftar terus naik, banyak calon mahasiswa yang tidak tahu-menahu soal keberadaan beasiswa ini. Sosialisasi mengenai KIP Kuliah ini saja tidak berjalan dengan merata. Salah satu mahasiswa Universitas Riau mengakui bahwa ia tidak menerima sosialisasi KIP Kuliah semasa sekolah dan baru mengetahui program ini melalui teman kuliahnya. Hal yang sama juga terjadi di Universitas Palangkaraya—implementasi KIP Kuliah sudah berjalan dengan baik, tapi sosialisasinya belum karena masih banyak mahasiswa tidak tahu-menahu soal program ini.
Namun, permasalahan paling fatal dari KIP Kuliah berasal dari prosesnya yang tidak transparan dan akuntabel. Hal ini bisa terjadi karena dua hal: pertama, kampus kekurangan sumber daya untuk melakukan proses verifikasi langsung ke rumah calon peserta dan kedua, karena pendataan untuk keluarga miskin yang tidak terintegrasi sehingga semakin rentan terjadi penyelewengan. 
Contoh kasus penyelewengan yang sedang hangat-hangatnya terjadi di Universitas Diponegoro. Kasus ini bermula dari tuduhan di sebuah cuitan di akun menfess X yang mengatakan salah satu penerima KIP Kuliah sebetulnya berasal dari keluarga mampu. Perburuan tertuduh (witch hunt) pun berlangsung. Kasus berakhir dengan tertuduh mengirimkan surat pengunduran diri dari KIP Kuliah ke instansi yang terkait. Pernyataan pengunduran diri ini juga diterbitkan di akun X-nya.
Setelah tuduhan penyelewengan ini naik ke permukaan, banyak netizen mengekspresikan kekesalan mereka terkait penerima KIP Kuliah yang dianggap tidak sesuai dengan standar mereka. Dari video TikTok sampai cuitan di X, semuanya mengekspresikan rasa geram, ketidakpuasan, dan bahkan iri, terhadap apa yang dimiliki oleh mahasiswa-mahasiswa penerima KIP Kuliah.  
Di TikTok, terdapat video yang diunggah berisi tulisan “Iri sama teman yang dapat KIP-K dan memakai Iphone.” Di sisi lain, salah satu warganet mengunggah cuitan di akun X berisi “Dia (penerima KIP-K) terlihat seperti orang yang berada, kok bisa menerima KIP-K, ya?” Terakhir, ada warganet yang memberikan pendapat di akun X-nya, “Orang yang dikategorikan miskin nggak akan sanggup untuk nabung beli Iphone, Mac, konser jutaan, jalan-jalan ke luar negeri, dan lain-lain. Jangankan yang miskin, yang middle class aja banyak yang nggak bisa meskipun sudah hemat banget.”
Kasus ini sampai menarik perhatian DPR. Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi meminta pemerintah dan pihak universitas untuk memastikan pemberian KIP Kuliah tepat sasaran lewat peninjauan tahunan. Ironisnya, selang beberapa hari dari pernyataan ini, muncul berita bahwa ada anggota DPR yang menerima KIP Kuliah. Menurut Penanggung Jawab KIP Kuliah Puslapdik, Muni Ika, pemberian kuota itu sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 10 Tahun 2020. Di sisi lain, anggota Komisi X DPR dari fraksi PDI-P Andreas Hugo Pareira mengklaim KIP Kuliah yang diterima anggota DPR adalah KIP Kuliah Aspirasi. Program ini diklaim didistribusikan melalui instansi negara, salah satunya Komisi X DPR yang membidangi pendidikan. 
Hal-hal ini yang seharusnya lebih disorot oleh masyarakat. Bagaimana bisa anggota DPR yang lebih mapan dari mayoritas masyarakat masih menerima bantuan negara? Apalagi di tengah kenaikan massal UKT perguruan tinggi negeri—contohnya, UIN Jakarta yang mengalami kenaikan 30-50 persen, USU yang naik 200 persen, dan UI yang naik 300 persen. 
Dihadapi kenyataan pahit ini, mahasiswa-mahasiswa yang merasa terjebak melakukan aksi protes. Ada pula yang berniat mengundurkan diri karena harganya dirasa berat. Sementara mereka yang memutuskan untuk tetap bertahan, mencari cara untuk menambal kekurangan biaya dengan magang berbayar atau bekerja paruh waktu. Hal ini kemudian melahirkan lingkaran setan baru dimana kuliah bukan lagi soal menimba ilmu saja, tapi juga mencari uang dan pengalaman kerja sebanyak-banyaknya. 
Tak sedikit mahasiswa penerima KIP Kuliah melakukan hal serupa, yang kemudian menuai cibiran warganet. Padahal yang tidak mereka ketahui, uang bulanan yang diterima bisa dibilang pas-pasan. Tak jarang pencairannya terlambat.
Akhir Kata…
Walau tak menerima KIP Kuliah, saya beruntung teman-teman sejurusan saya cukup berbaik hati patungan untuk membantu membayar UKT.  Ini semua demi saya agar tidak putus kuliah. Saya merasa senang karena memiliki teman-teman dan lingkungan yang suportif. 
Sayang, harus diakui tidak semua orang beruntung seperti saya. Banyak mahasiswa di luar sana yang terpaksa putus kuliah karena tidak mampu membayar UKT, gagal mendapatkan KIP Kuliah atau beasiswa lainnya pula. Bila pemerintah dan lingkungan mereka tidak peduli dengan mereka, lantas siapa lagi? Harus berapa banyak lagi pelajar di Indonesia yang harus putus sekolah atau kuliah karena tidak mampu membayar uang pendidikan yang berhak mereka dapatkan?