Program Makan Siang Gratis Bukan Solusi Untuk Siswa Indonesia

Subtitle: Refleksi seorang guru Banten soal isu siswa-siswinya.
Di tengah panasnya masa kampanye pemilu Februari lalu, presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming menyatakan mereka akan mencanangkan program makan siang gratis. Salah satu sasarannya adalah anak SD-SMA. Program ini digadang-gadang sebagai cara terbaik mewujudkan Indonesia Emas 2045 dengan tujuan; mengatasi masalah stunting, meningkatkan gizi dan nutrisi, meningkatkan prestasi, dan mengentaskan kemiskinan. 
Sebagai guru SMA, isu soal makanan ini memang penting. Sudah beberapa kali saya menemukan siswa menahan lapar di sekolah. Saya pernah menemukan siswa yang diam saja di kelas ketika jam istirahat. “Kamu tidak ke kantin? Bawa bekal ya?” Dia menggeleng karena tidak punya uang dan tidak membawa bekal. Ada pula yang sakit sampai pingsan karena riwayat sakit lambung yang diakibatkan terlalu sering menahan lapar. Penyebabnya? Tentu saja kemiskinan. 
Kemiskinan dan kesulitan belajar memang punya ikatan yang kuat. Otak membutuhkan energi yang banyak untuk berfungsi—jadi bagaimana bisa mereka mengikuti pelajaran dengan baik dengan perut kosong?
Ada alasan kenapa tokoh pendidikan Paulo Freire begitu gigih memperjuangkan pendidikan untuk orang miskin. Kemiskinan membuatnya terlambat lulus sekolah dua tahun, itu pun dengan nilai pas-pasan. Syukur, ekonomi keluarganya membaik sehingga ia bisa melanjutkan pendidikan sampai jenjang universitas, tepatnya Fakultas Hukum Universitas Recife. Dalam buku Pendidikan Kaum Tertindas diceritakan bagaimana Freire yang terpaksa meninggalkan sekolah karena kelaparan, dan pada usia sebelas tahun menyatakan tekad untuk mengabdikan hidup untuk perjuangan melawan kemiskinan, sehingga tidak ada lagi anak yang merasakan kelaparan ketika sekolah. 
Freire menyoroti pentingnya memberikan empati ke murid yang berasal dari keluarga miskin. Pendidikan, menurutnya, bisa memberikan harapan agar mereka yang miskin dan tertindas bisa mengubah nasibnya. 
Mari kita kembali ke program makan siang gratis Prabowo-Gibran. Saya mengapresiasi program ini, tapi harus diakui program ini punya banyak masalah. Pasalnya, tidak semua murid punya masalah kekurangan makan. Seharusnya program ini ditargetkan khusus untuk anak-anak miskin alih-alih ditargetkan ke semua anak. 
Alasan Dibalik Makan Siang Gratis
Ketika programnya dipertanyakan, Prabowo malah menangkisnya. “Kita akan kasih makan siang untuk semua anak-anak Indonesia, yang tidak setuju mungkin sebaiknya belajar lagi, yang tidak setuju anak-anak Indonesia dikasih makan siang, kebangetan!” ujar Prabowo. 
Berkaca dari ucapan itu, mungkin saya memang perlu belajar lagi. Alasan utama saya tidak setuju adalah karena program ini membutuhkan uang yang banyak dan logistik yang rumit, mengingat Indonesia sangat luas. Padahal utang negara sedang membengkak. Program makan siang gratis apabila, telah berjalan penuh membutuhkan anggaran yang ditaksir sebesar Rp 450 triliun—setara dengan 13,5% APBN yang berjumlah Rp 3.325 triliun. Sementara Kompas memperkirakan dana yang dibutuhkan sekitar Rp 150 triliun. Kalau benar dicanangkan, program ini akan menjadi program dengan anggaran terbesar setelah pendidikan dan kesehatan.
Anggaran pendidikan direncanakan pada tahun 2024 Rp 660,8 triliun atau 20 persen pada  APBN 2024. Sementara anggaran untuk Kementerian Pertahanan pada RAPBN 2024 sekitar Rp 135 triliun dan Kementerian PUPR yang menganggarkan belanja pada tahun ini sekitar Rp 147 triliun. Jadi anggaran untuk makan siang gratis melebihi anggaran beberapa kementerian.
Harian Kompas menghitung biaya untuk program makan siang gratis Rp 22.126 perhari atau Rp 663.791 per bulan. Anggaran sebesar itu sudah termasuk asupan susu bubuk, berdasarkan standar komposisi gizi Healthy Diet Basket (HDB), yang juga digunakan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia, FAO. 
Nominal Rp 22.126 itu merupakan perkiraan biaya makan bergizi sehari per kapita dengan standar nilai harga pada akhir tahun 2022. Rata-rata penduduk Indonesia konsumsi makanan per hari sebanyak tiga kali, biaya sekali makan tiap orang sebesar Rp 7.375. Sementara bila mengacu pada hitungan Indonesia Food Security Review (IFSR), program makan siang gratis memerlukan uang sekitar Rp 450 triliun per tahun dengan acuan Rp 15.000 per porsi.
Bila peserta didik diberi jatah hanya makan siang atau sekali makan, dengan hari efektif 260 dibutuhkan sekitar 1,9 juta per tahun. Bila mengacu pada hitungan IFRS dibutuhkan sekitar Rp 3,9 juta per murid.


Judul: Rancangan Makan Gizi Sehat Per Hari. Sumber: https://www.kompas.id/baca/riset/2024/03/07/mengalkulasi-nilai-program-makan-siang-gratis 
Sebab itu, ketika Menko Perekonomian Airlangga Hartarto melontarkan pernyataan program makan siang gratis akan dibiayai dari dana BOS langsung memancing tanggapan negatif dari pengamat dan organisasi guru.  Seperti dijelaskan oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) total Dana BOS yang digelontorkan pemerintah ke sekolah-sekolah se-Indonesia, sekitar Rp 59,08T/tahun dengan rincian untuk SLB 3,5 juta/orang per tahun, SMA sebesar Rp 1,5 juta/orang per tahun, SMP sebesar Rp1,1 juta/orang per tahun, SD 900 ribu/orang per tahun, dan PAUD Rp 700 ribu/orang per tahun. 
Bila dana BOS yang digunakan untuk program makan siang gratis untuk SMA ada kekurangan sekitar Rp 400.000 per murid dengan harga Rp 7.375, dengan catatan semua dana BOS dialokasikan untuk makan siang gratis. Bila mengacu pada harga Rp 15.000 maka ada kekurangan sekitar Rp 2,4 juta per murid. Kekurangan semakin besar bila mengacu kepada besaran yang diterima oleh murid SMP, SD, dan PAUD.    
Masih mencermati pernyataan Tim Kemenangan Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Drajad Wibowo, yang menyatakan program makan siang gratis akan diupayakan menggunakan sumber pendapatan baru. Pendanaannya bukan menggunakan dana dari program-program yang sebelumnya sudah ada dalam APBN, termasuk tidak akan mengotak-atik dana Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP).
Mengapa makan siang gratis cukup yang benar-benar selektif hanya untuk peserta didik yang membutuhkan? karena anggaran pendidikan 20% dari APBN saja masih menyisakan persoalan. Sebagai guru di SMA saya melihat persoalan pendidikan yang harus segera diselesaikan bukan hanya soal memberi makan kepada sebagian peserta didik, namun penting juga mengatasi persoalan lain seperti biaya transportasi. 
Sebagai guru yang mengajar di Banten Selatan, dengan kebanyakan orang tua bekerja sebagai buruh, petani dengan luas lahan tidak terlalu luas, buruh serabutan, saya sering mendapat pesan dari murid seperti; “Mohon maaf Pak, izin sekolah motornya mogok,” kata salah seorang anak. “Mohon maaf Pak, tidak bisa berangkat ke sekolah, motornya tidak ada bensin,” kata salah seorang anak lagi selang beberapa hari. Sementara jarak dari rumah ke sekolah bisa sampai belasan kilo, dan belum ada angkutan umum yang melewati kampung atau desa mereka. 
Apakah persoalan transportasi banyak peserta didik, tidak mendesak juga untuk diselesaikan? Apakah kasus seperti ini bisa diselesaikan dengan memberi makan mereka di sekolah? Ini soal pilihan intervensi mengatasi masalah. Kecuali kita memang benar-benar mampu. Tiap anak, tiap sekolah, tiap daerah, memiliki masalah mendesak yang berbeda untuk segera diselesaikan. Persoalan anak beragam, selaras dengan kerumitan permasalahan pendidikan.
Belum bicara sarana dan prasarana. Berdasarkan data PISA 2022, mayoritas guru di pedesaan mengaku kekurangan dalam ketersedian infrastruktur fisik, seperti bangunan, lapangan olahraga, penyejuk ruangan, pencahayaan, begitu pun dengan ketersedian perangkat digital seperti desktop atau laptop, akses internet, learning management system, dan platform pembelajaran sekolah. Meningkatkan kualitas pendidik dan tenaga pendidik juga jangan dikorbankan, demi program makan siang gratis. 
Bila hanya peserta didik yang membutuhkan yang akan menerima program makan siang gratis, pemerintah bisa saja memperluas cakupan penerima Program Indonesia Pintar (PIP). PIP merupakan bantuan berupa uang tunai, perluasan akses, dan kesempatan belajar dari pemerintah yang diberikan kepada peserta didik yang berasal dari keluarga miskin atau rentan miskin untuk membiayai pendidikan. 
Tahun 2024, penerima PIP 18,5 juta siswa dengan total penyaluran Rp 13,4 Triliun. Besarannya, untuk peserta SMA Sederajat Rp 1,8 juta/orang per tahun. Program PIP lebih efektif karena langsung diterima oleh peserta didik, dan bisa disesuaikan dengan kepentingan mereka untuk penggunaannya, mungkin dibelanjakan untuk makan, biaya transportasi, buku, alat sekolah, asal sesuai dengan tujuan membiayai pendidikan. 
Jadi, mewujudkan Indonesia Emas 2045 tidak sesederhana dan seolah-olah terselesaikan oleh program makan siang. Program makan siang gratis untuk semua peserta didik bisa mengganggu program-program pendidikan yang lain yang tidak kalah penting, karena anggaran makan siang gratis menyedot anggaran besar. Belum bicara masalah  strategi pendistribusian, dimana bantuan berupa barang rentan dikorupsi, sehingga disarankan mengalihkan distribusi bantuan sosial melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT) 
Mengentaskan Kemiskinan
Memberikan makan gratis, salah satu cara menyelesaikan masalah kelaparan anak, namun, bila tidak dibarengi dengan upaya memberdayakan orang tua mereka, program makan gratis tidak bisa menyelesaikan masalah yang ada di hulu, hanya membenahi persoalan yang ada di hilir.
Pengalaman Paulo Freire, menunjukan, perbaikan ekonomi keluarga dapat menyelesaikan permasalahan pendidikan yang sempat mandek. Ada begitu banyak anak-anak mengalami kelaparan, karena terlahir dari keluarga miskin, ada orang tua yang mengalami kejatuhan finansial seperti yang dialami oleh keluarga Paulo Freire, atau persoalan seperti anak didik saya karena orang tuanya terkena PHK, perceraian orang tua, dan seterusnya. 
Kemiskinan bisa disebabkan oleh kondisi alamiah dan ekonomi, kondisi struktural dan sosial, serta kondisi kultural (budaya). Strategi untuk mengentaskan kemiskinan dilakukan dengan cara; menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan, dan memperbaiki distribusi. Pemerintah, dapat menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat. Perlindungan sosial penting dilakukan untuk pengentasan kemiskinan. Salah satu kerangka kerja adalah Perlindungan Sosial Adaptif (PSA), dengan mengembangkan kapasitas masyarakat miskin dan rentan dalam menghadapi guncangan. 
Memberi makan secara langsung, hanya salah satu cara agar anak dapat belajar dengan tenang di sekolah, tapi itu tidak terlalu banyak manfaatnya kalau anak datang ke rumah, kemiskinan masih menjadi masalah keluarga mereka. Selesaikan masalah kemiskinan di hulu dengan memberi makan anak yang membutuhkan, dan jangan lupakan permasalahan di hilir dimana keluarga mereka yang membutuhkan pemberdayaan. 
Program makan siang gratis atau memberi bantuan untuk makan bagi sebagian anak penting, tapi memberi makan untuk semua anak adalah pemborosan. Setiap anak punya masalahnya masing-masing, dan pemerintah harus bisa memastikan pendekatan yang tepat untuk menyelesaikannya. Sehingga, mewujudkan Indonesia Emas 2045 dapat tercapai.