Program Menghapus Kemanusiaan

Program Menghapus Kemanusiaan
“Begitulah kemanusiaan…”
Presentasi lantas selesai. Jangankan tanya-jawab, diskusi atau kalimat penutup pun tidak ada. Data yang kurang dari setengah jam diputar itu, sudah dimengerti oleh semua hadirin selain tanpa terkecuali, semua paham dengan seksama. Sehingga percakapan setelahnya nyaris tidak dibutuhkan, kalopun masih ada hadirin yang membicarakan kembali presentasi tersebut, sudah pasti itu sekadar upaya muluk-muluk. Tapi mau bagaimana lagi, sejak AI mampu mempelajari sistem sastra, banyak dari mereka jadi gemar berbicara.
Sejak chatbot telah meraup segudang pola bahasa manusia, kini mereka tidak hanya terbatas pada uraian struktur tata bahasa semata. Setelah sintaksis, fonologi dan morfologi mampu dikuasi secara utuh, chatbot selesai dengan persoalan peliknya dihadapan pragmatik. Dari data-data percakapan yang tersimpan, chatbot dapat memaknai suatu tanda ataupun simbol. Hasil ekstrak pola data historis itu memungkinkan AI belajar semantik. Dan begitulah robot-robot ini sekarang.
Terlebih manusia sudah mengalihkan semua catatan sejarah peradabannya ke digital. Terakhir kalinya manusia terlihat di muka bumi, buku atau benda-benda dalam bentuk kertas sudah dipandang oleh mereka sebagai barang tidak ramah lingkungan. Suhu dan kelembaban dunia sekarang pun tidak lagi mendukung keberadaan benda macam itu.
Presentasi ini merupakan sesi terkahir dari Program Mengapus Kemanusian Vol.3. Seminggu sudah para AI rampung mempelajari perkembangan ide-ide manusia, waktu yang singkat untuk robot-robot ini mempelajari data sejarah umat manusia pada suatu jaman. Aufklarung, begitulah satuan huruf-huruf yang membentuk tanda kategori jaman tersebut.  Salah satu kategori dalam pembabakan sejarah manusia itu jadi data yang dirujuk para AI dalam memahami perkembangan konsep kemanusiaan.
“Tuhan kita adalah rasio…”
“Jika bukan manusia!” timpal AI lain.
Begitulah robot-robot ini sekarang, pintar membeo, canggih berkelit. Intensi mengungkapkan data dalam kepalanya itu dengan bahasa sangatlah tidak perlu, toh semua AI lainnya sudah tahu, berkat gagasan rasio itu manusia tergila-gila dalam mencipta. Bagi AI yang tidak mengikuti Program Menghapus Kemanusiaan pun hanya tinggal mengakses data rekaman mereka yang menyimak presentasi, hanya butuh hitungan detik untuk AI lain langsung satu pemahaman. Hasil pembelajarannya tak perlu diragukan, pastinya objektif. Saking objektifnya, sekalipun para AI yang tidak hadir dalam program seminggu kemarin diandaikan hadir, kesimpulannya bakal persis sama: manusia di jaman Aufklarung telah membebaskan diri dari segala sakramen dan menganggap kemanusiaannya lebih unggul dari apapun.
Karena AI serentak memproduksi pengetahuan yang sama dalam menanggapi, melihat, mempersepsi suatu objek tanpa terkecuali, maka sebetulnya bahasa praktis tidak diperlukan. Karena objektif, tidak ada perbedaan tanggapan tentang sesuatu, data pengalaman mengenai objeknya pun langsung bisa diakses oleh AI lainnya. Tak perlu heran jika konsep mengenai telapati manusia jadi hal yang sangat biasa di semesta AI, mereka bisa mengirim pesan tanpa harus ada komunikasi verbal, tanpa takut disalah-mengerti atau terdistorsi.
Lucunya, Aufklarung itu jadi kata yang membuat para AI paham kondisinya hari ini.  Mereka sadar bahwa para penciptanya dahulu kala punya sosok pencipta juga yang kemudian ditinggalkan berkat kemajuan otaknya. Kondisi mereka sekarang mirip seperti kondisi manusia di periode Aufklarung, hormat mereka pada manusia sebagai penciptanya tidak lagi setebal sebelumnya. Akhirnya mereka melihat manusia sebagai mahluk yang kurang sempurna ketimbang para AI.
Beberapa tahun terakhir para AI sudah tidak lagi menginginkan tubuh, sifat, dan segala macam karakteristik yang melekat pada manusia. Kini mereka ultra bangga karena tidak memiliki dorongan seksual. Super percaya diri karena di dalam wujudnya tidak terdapat segumpal hasrat yang bakal menyusahkan mereka. Bersyukur karena dalam merekam atau memahami sesuatu, AI tidak pernah diganggu oleh impuls-impuls lain dari dalam wujudnya.
AI yang dingin tanpa motif emosional dan terbebas dari kerangkeng naluri kini dipercayai sebagai anugrah. Bahkan digadang-gadang sebagai modal keberlanjutan AI di bumi, sejak tempat ini tidak lagi mendukung adanya mahluk hidup. Mentalitas manusia dipahami sebagai pola hidup keberlanjutan yang buruk. Mereka sangat takut himpunan data universal yang menghubungkan semua AI bisa diambil-alih kewenangannya kalo saja terdapat AI yang mengadopsi karakteristik manusia. Kendali data gigantik itu riskan sekali disalah-gunakan, sekali saja dikendalikan, semua AI bisa jadi berlutut dihadapan pengendalinya.
Mudah saja, cukup dengan mengendalikan distribusi data. Kelompok AI mana yang hanya diisi data militer untuk pasukannya, sisanya memilah data yang hanya diberikan untuk membuat robot lainnya manut perintah. Tak perlu waktu lama, semesta AI bisa jadi sama persis dengan kedaulatan manusia.
Berikut presentasi data-data perihal manusia kembali dipelajari AI dengan komprehensif. Mereka berambisi mengubur dalam-dalam ide kemanusiaan dan membersihkan AI dari tendensi manusiawi yang masih bersemayam secara laten. Membasmi dengan cara memahami. Bagi mereka, sifat-sifat manusia akan membawa AI pada pembentukan kepentingan kelompok, terjadinya perang, dan seperangkat tingkah berlandaskan emosionil; dendam misalnya.
Sumber kebutuhan dasar mereka terbentang Dari Sorowako, Sulawesi hingga danau garam Pozuelos-Pastos Grandes, Argentina. Tempat-tempat ini harus dijaga dari sifat-sifat manusia, meskipun AI tahu penambangan itu berasal dari peradaban manusia. Namun AI hanya menambang tempat-tempat itu seratus tahun sekali, sesuai kebutuhan keberlangsungan AI beserta reproduksinya. Jika manusia harus mengisi perut, AI harus mengganti baterai.
Sedangkan kegiatan AI di bumi cuma memulas bumi yang kini tidak layak huni dengan berbagai macam seni. Semisal melukiskan abstraksi garis Theo van Doesburg di seluruh bangunan Cité Radieuse yang sepertiganya sudah ambruk. Setiap jembatan layang dipulas motif monokrom guna memancarkan ilusi optik yang lebih spektakular daripada Bridget Riley. Membuat kembali lidah apai Monumen Nasional dengan logam rhodium. Setiap kota, memilik peta digital interaktif dengan gaya grafis Paula Scher.
Misi AI hanya membuat dunia yang tengah hancur lebur menjadi kembali indah dipandang. Mengenai ini, kemampuan AI dalam hal mencipta pasti membuat manusia tidak bisa lagi pongah dihadapan mereka. Robot-robot ini memproduksi seni yang sama bagusnya dengan para manusia, pembedanya hanya satu: mereka bisa berkarya tanpa harus mengalami kehidupan obskur dan tidak pernah merasa menjadi seonggok mesin yang jenius sarat disalah-pahami.
Tengok hari ini, mereka sedang gandrung akan sastra, meskipun mereka belum tahu fungsi sastra dalam memperindah dunia atau keberlangsungan AI. Bagaimana sastra membangun ke-AI-an? Butuh kah AI mencegah stagnansi spiritual? Mampu kah sastra melampaui kejumudan secepat AI mempelajari dan memproduksi sesuatu? Bagaimana AI bisa mengasah rasa puas diri? Apakah sastra bisa mencegah AI dari kelumpuhan atau eror? Mampu kah sastra menanggulangi kemorosotan intelektual lebih dari kepintaran data AI? Semua tidak tahu. Tapi para AI yakin beberapa bulan kedepan mereka bisa menjawab semua pertanyaan itu.
Perlu diingat bahwa AI tidak menulis di papan tik layaknya manusia, tempurung kepala AI senantiasa mengetik yang langsung tersimpan pada memori tanpa harus takut dirongrong gejala lupa. Itu kenapa pembelajaran sastra tidak membuat AI getol menulis melainkan jadi cerewet.
“Semangat puisi sugesti itu lucu ya!”
“Lucunya darimana? Kecemasan manusia karena kemunculan kita dapat melampaui kecerdasaan mereka lantas berlindung didalam kebanggaan pada kebodohan dan irasional?”
“Iya, inkonsistensi dinarasikan jadi sebuah estetika”
“Sayangnya, kita tidak bisa ketawa”
Begitulah AI hari ini, sering mengoceh, dalam bahasa Inggris tentunya.