Project Superia, Ruang Perempuan Bercerita Lewat Seni
Sepanjang saya mengenal nama Kartika Jahja, ia tak melekat pada musik belaka. Ia juga orang yang konsisten menggeluti isu perempuan.
Suatu waktu ia lantang menyanyikan lagu Tubuhku Otoritasku, di waktu yang lain ia berbicara soal perempuan Indonesia di forum-forum internasional. Dari konsistensi itulah kita mengenalnya sebagai seniman transdisiplin dan pegiat kesetaraan gender.
Di akhir bulan Januari, Kartika mengirim pesan WhatsApp dan bilang kalau dia terlibat dalam proyek baru bernama bernama Project Superia (Suara Perempuan Indonesia). Dalam undangan berformat flyer ini, Kartika mengundang saya menyaksikan pemutaran terbatas film pendek yang dikerjakan oleh Project Superia. Selain agenda nonton film bareng, acara tersebut juga menjadikan pembukaan audisi untuk Superia Stage Play, sebuah proyek teater dari Project Superia.
Dalam flyer tersebut, ada sedikit penjelasan tentang Project Superia. Ia adalah proyek seni yang bertujuan mengeksplorasi keragaman suara, perspektif, dan pengalaman perempuan-perempuan Indonesia melalui artistic storytellng di layar dan di panggung.
Wah, menarik dan bikin penasaran. Ada yang mau saya tanyain, tapi nanti saja deh, pikir saya.
“Ya saya akan datang,” begitu balas saya.
Sesampainya di lokasi yang berlangsung di Ruang Selatan, Sabtu 28 Januari 2023, Kemang baru saja diguyur hujan. Puluhan orang sudah berkumpul dan saling bercengkrama sebelum acara mulai. Tak berselang lama, seorang panitia mempersilakan tamu undangan untuk masuk. Pemutaran film akan dimulai.
Penonton mulai duduk. Panitia memutar film pendek yang menjadi proyek pertama Project Superia.
Film tersebut dibuka dengan adegan teatrikal tujuh perempuan dengan latar belakang cerita dan jalan hidup yang berbeda-beda. Dalam film pendek yang disutradarai oleh Rummana Yamanie ini, penonton bisa melihat dengan gamblang bagaimana pengalaman hidup perempuan yang tak mungkin saya bayangkan sebagai laki-laki–termasuk pengalaman Kartika yang kini sudah berani menyebut dirinya sebagai penyintas kekerasan seksual. Film ini membingkai problem perempuan di dunia milik laki-laki: sudahlah tak mudah, situasi makin diperburuk dengan stigma negatif yang melekat kepada perempuan.
Ini membuat saya berpikir kita perlu merevisi keluhan warganet ‘Jakarta keras, Bung!’ menjadi ‘Jadi perempuan keras, Bung!’
Salah satu pemain film ini, Ira Purnama berbagi kisah bagaimana cap ‘janda’ yang selama ini ia terima dan alami. Stereotipe di masyarakat kita, janda kerap dilekatkan sebagai perempuan genit atau dicitrakan “gampangan” dan stigma itu menyesakkan Ira.
Ia menerangkan, ia sering diganggu oleh laki-laki bajingan, terlebih saat dirinya masih bekerja di salah satu bank swasta di Jakarta. Laki-laki bengak yang sudah beristri itu mencoba merayu Ira dengan berbagai kalimat manis.
“Kalau kamu mau jadi pacar aku, kamu enggak usah kerja. Aku saja yang biayain,” ujar Ira menirukan gaya bicara laki-laki yang merayunya.
Ondeh mandeh, kenapa sih orang bengak itu merasanya dirinya bisa membeli segalanya hanya karena mereka punya duit?
Berbekal keberanian, Ira akhirnya meninggalkan profesi sebagai karyawan bank, tempat dirinya sering mendapat perlakuan tak enak. Keluar dari bank, Ira fokus mengejar mimpinya sebagai tattoo artist. Ira, dengan profesi barunya tersebut, ia yakin mampu menjadi ibu dan tulang punggung keluarga untuk anak semata wayangnya.
Cerita Ira adalah cerita ribuan perempuan lain yang mendapat stigma dan cap negatif karena status janda. Istilah ‘janda’ lekat dengan bahan gunjingan, olok-olok dan dipandang sebelah mata. Lain hal kalau pria yang yang bercerai.
“Wah ini mah duren, duda keren!” atau, “Gampang kalau cowok mah, gampang cari gantinya.”
Kita sering mendengar cerita ini, tetapi cara kerja stigma negatif seperti permen karet di rambut: sekadar tahu saja tidak cukup, upaya ekstrem perlu dilakukan untuk mengenyahkannya.
Menggelar Teater, Menjangkau Perempuan di Pantura dan Aceh
Seperti yang sudah disinggung di atas, ke depannya Project Superia juga menggelar pementasan teater. Semangatnya sama dengan film pendek yang sudah dirilis, yakni memberi ruang perempuan. Project Superia juga mengajak perempuan-perempuan terlibat dalam proyek ini.
Selain mengajak perempuan di sekitaran Jakarta, Project Superia juga akan membuka casting di daerah Pantura dan Aceh.
“Kita semua tahu, kita sering mendengar suara penyanyi-penyanyi dangdut di Pantura. Tapi kita ingin dengar suara hati mereka sebagai perempuan,” jelas Kartika saat saya tanya kenapa melibatkan perempuan-perempuan Pantura.
Tak usah jauh-jauh ke sana, cukup lihat berita di google, kita tahu jika sepanjang jalan Pantura hampir sebagian besar terdapat warung remang-remang yang menawarkan jasa ++.
Jenis prostitusi di Pantura mulai dari hotel, panggilan, layanan pijat plus, dan sebagainya. Selain pekerja utama dalam ruang prostitusi, ada juga peran lain yang menghasilkan keuntungan secara ekonomi. Sedangkan pemerintah dan pemuka agama, sering kali melihat kasus ini hanya dari kacamata kuda–melihat ini secara hitam atau putih, benar atau salah.
Lain Pantura, lain pula Aceh yang menyimpan cerita perempuannya sendiri.
Kita tak perlu capek-capek membaca literasi bahwa budaya patriarki, dalam adat budaya timur, khususnya Indonesia, perempuan selalu menjadi korban bagaimana posisi lak-laki yang mendominasi dalam segala aspek. Keadaan ini mengendap dalam waktu yang lama dan menjadi nilai yang hidup dalam masyarakat, menciptakan ilusi seolah hal itu alamiah.
Semua cerita perempuan, entah penyanyi dangdut di Pantura, pekerja seks di Jakarta hingga ibu rumah tangga di Aceh sekalipun selalu punya kisah hidup dengan segala dinamikanya. Kerja-kerja yang diinisiasi Project Superia hendak menampilkan kepada kita bahwa dunia bukan hanya milik laki-laki. Ruang bercerita, seperti yang dilakukan Project Superia kerjakan dan proyek-proyek serupa lain, adalah api-apai kecil yang, seperti kata pepatah: ketimbang mengutuk gelap, lebih baik menyalakan lilin. Sekecil apapun cahaya lilin itu, kita baiknya berusaha agar cahaya lilin itu tak padam.