Punk “Sukatani”, Ajojing di Pusaran Krisis Agraria

Sukatani, Ajojing Punk di Pusaran Krisis Agraria

1. Punk-dance duo asal Purbalingga, Sukatani, rilis album debut “Gelap Gempita”.

2. Menggabungkan punk dan new wave, mereka angkat isu krisis agraria.

3. Album ini mendapat perhatian dari Bandcamp Daily dan Majalah Tempo.

 

“Are you really a punk?”

“Punk? No way I am punk. I’m new wave. Totally different head. Totally.”

Potongan dialog dalam serial Square Pegs (1982-1983) di atas pernah meramaikan jagat maya hingga menjadi templat audio di TikTok. Ada sejenis keniscayaan bahwa new wave dan punk tidak boleh berada dalam kalimat yang sama.

Pada era formatif punk di Inggris dan Amerika Serikat, sempat ada anggapan bahwa new wave hanyalah genre matre penjual subkultur dan citra subversif atas nama doku. Joe Strummer (The Clash) dan Johnny Rotten (Sex Pistols) bahkan menuduh new wave sebagai musik yang “jenuh”, “hampa”, dan “tak berenergi”.

Seiring waktu, persepsi itu “ditantang” oleh beragam rilisan pengoplos punk dan new wave, salah satunya album Second Empire Justice (1983) dari Blitz. 40 tahun kemudian, duo dance-punk asal Purbalingga, Sukatani, turut serta dalam menggeser persepsi punk vs new-wave lewat album debut mereka, Gelap Gempita pada Juli 2023.

Tak lama dari perilisan, Gelap Gempita langsung merampok perhatian kancah musik lokal. Mereka diapresiasi Bandcamp Daily dan kolektif pengarsip Sound From The Corner, disematkan gelar “Punk Agraris”, dan dipilih Majalah Tempo menjadi salah satu dari Karya Seni Pilihan Tempo 2023.

Kebanyakan bersepakat untuk menyanjung pilihan Sukatani membawa narasi sosial-politik lokal, terkhusus di urusan pertanian dan agraria, adalah nilai lebih.

“Musik dansa menjadi politis di tangan Sukatani,” tulis Kerry Cardoza dalam artikel rekomendasi bulanan Bandcamp.

Dinamika kehidupan petani, ruang hidup di Purbalingga, dan politik harian memang menjadi tema sentral dari Sukatani. Namun, Sukatani tidak dibuat sebagai corong gagasan dan representasi realitas untuk samudera khalayak.

“Sebenarnya bukan tujuan utama kami untuk kampanye, hanya saja media yang menangkap dan meng-highlight itu sehingga menjadi sebuah narasi yang seksi. Termasuk label post-punk yang disematkan juga bukan dari kami. Kami hanya memainkan street-punk dengan instrumen elektronik,” saksi Alectroguy.

Lha Siki Alase Ra Ana

Sukatani yang berdiri pada 2022 ini memulai perjalanan musikal dari kebiasaan Twister Angel (vokal utama) mencatat keresahannya atas kondisi sekitar dalam bentuk lirik. Ia memang sudah terbiasa menulis lirik hasil sebab sudah menjadi personel band sejak 2013. Lirik-lirik tersebut dikirimkan pada Alectroguy (gitar, synth, vokal latar) sebelum akhirnya mereka berdua susun menjadi lagu.

Awalnya, duo yang sengaja merahasiakan identitas personalnya ini mengambil inspirasi dari lagu-lagu street-punk saat menyusun musik. Namun, mereka hanya berdua saja tanpa personel di departemen ritmik (bass dan drum). Perangkat digital lalu mereka pilih untuk menyiasati kekurangan tersebut. Konsekuensinya adalah pergeseran sonik dan gaya musikal yang terjadi secara organik hasil benturan kondisi dan siasat.

“Hal ini yang membuat kami akhirnya terpancing untuk memasukan beberapa unsur synthesizer ke dalam layer instrumen,” tutur Alectroguy.

Hasil dari siasat itu adalah 8 nomor ajojing penuh sensibilitas punk nan anthemic dalam Gelap Gempita.

Namun, perjalanan Sukatani dimulai jauh dari sana. Upaya memahami Sukatani berarti juga mengunjungi ruang dan waktu lain; mundur ke tahun 2017 bersama kolektif petani muda Harvestmind asal Purbalingga.

Alectroguy dan Twister Angel adalah bagian dari kolektif petani muda Harvestmind atau juga dikenal dengan Black Farm Municipal.

Awalnya 11 muda-mudi dalam kolektif tani ini berhimpun dalam Perpustakaan Jalanan Purbalingga. Pada 2017, mereka berangkat ke Kulon Progo, Yogyakarta, untuk bersolidaritas dengan para petani lahan pantai yang terancam akibat pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA). Di Kulon Progo mereka bertemu dengan Gus Komar, petani yang juga mengelola Sekolah Tani Muda (Sektimuda) di Yogyakarta.

Dari pertemuan dan interaksi yang intens dengan para petani di Kulon Progo, muda-mudi Purbalingga itu memutar kemudi dan memilih untuk membentuk kolektif petani organik. Pada akhir 2018 akhirnya mereka menyewa lahan 4.200 meter di wilayah Kalimanah, Purbalingga dan memulai bunuh diri kelas mereka.

Ini bisa disebut bunuh diri kelas, atau apapun itu istilahnya, sebab tidak ada dari mereka yang memiliki latar belakang atau pengalaman menjadi petani. Banyak dari mereka malah sudah memiliki pekerjaan tetap sebelumnya. Mereka mempelajari segala tetek bengek pertanian organik dari nol, berjejaring dengan sesama penggiat pertanian organik, membangun jaringan distribusi, juga membangun koperasi tani dan energi. Dan setelah kurang-lebih dari lima tahun mengelola tanah secara organik dan mandiri, mereka menemukan beragam kontradiksi.

“Sebagai anak muda di jaman sekarang,” sebut Alectroguy, “logika menjadi petani pasti bertabrakan dengan banyak realitas yang menimbulkan banyak kontradiksi. Contoh misalnya, sulitnya mendapatkan akses lahan karena modal yang minim.”

Hidup dalam kapitalisme memang penuh kontradiksi dan ironi. Apalagi jika dibarengi upaya menggapai kemandirian, kolektifitas, dan imajinasi atas kehidupan yang lain (baca: layak). Mengais daya hidup dan kemandirian dalam kapitalisme adalah mengalami hidup yang terbentur, terbentur, dan terbentur terus.

Ironi dan kontradiksi adalah apa yang kita temukan dalam sekujur album Gelap Gempita.

Contohnya dapat ditemukan dalam 2 track dengan lirik berbahasa Jawa Banyumasan, “Sukatani” dan “Alas Wirasaba”. Dalam track pembuka “Sukatani”, duo ini menggambarkan ironi saat mengambil keputusan menjadi petani era kiwari lewat “Sukatani pengin dadi wong tani/ Sukatani tapi ra nduwe lemah” (Sukatani ingin menjadi petani/ Sukatani tapi nggak punya tanah).

Track “Sukatani” masih terhubung dengan track kelima di album mereka, “Alas Wirasaba, yang merujuk pada lokasi riil Bandara Jendral Soedirman (sebelumnya Lanud Wirasaba) di Purbalingga”.

Dalam track “Alas Wirasaba”, Twister Angel menuliskan memori masa kecilnya di Desa Wirasaba, Purbalingga. Memori bermain sundamanda (engklek dalam bahasa Banyumasan) dan brancakan, mencari tebu, juga memanjat pohon bersama teman-temannya.

Di desa tersebut ada Lanud Wirasaba, bandara militer yang berubah menjadi bandara komersil pada 2021 dan membabat lahan di sekitar untuk perluasan. Efeknya, banyak ruang yang hilang, termasuk tempat bermain anak-anak. Pada penghujung lagu, Twister Angle menulis pedih: “Jebul batir e mbarang wis pada ilang” (Ternyata kawan-kawan juga ikut menghilang).

Sukatani, melalui dua lagu tersebut, menggambarkan ironi dan kontradiksi krisis agraria di Indonesia. Ketika krisis regenerasi petani terus diratapi banyak orang, termasuk pemerintah, tetapi akses dan ketersediaan lahan semakin melorot akibat pembangunan. Lewat “Alas Wirasaba” juga Sukatani menuliskan bahwa kehilangan tanah bukan hanya kehilangan ruang fisik, tetapi kehilangan ruang hidup, memori, praktik hidup, dan relasi sosial.

“Di situ budaya dan logika masyarakatnya adalah bertani. Ketika ada bandara, mereka akan memacul aspal, bukan tanah. Mereka mentok-mentok cuma jadi OB di bandara,” tutur Alectroguy.

Sederhananya, kehilangan ruang akibat perampasan adalah kehilangan keseluruhan hidup.

Melalui kontradiksi dan ironi di sekujur album, kegelisahan bisa muncul dalam benak pendengar. Kegelisahan yang mungkin nantinya akan memunculkan pertanyaan di benak para pendengar dan mulai memikirkan ulang ragam realitas harian mereka. Namun, tentu saja, dipikirkan sambil berajojing ria.

Berdansa Menurut Kepercayaan Masing-Masing, Berdansa Dimulai!

Seperti yang ditulis di awal, apa yang Sukatani lakukan bukanlah yang pertama dan satu-satunya. Selain album Second Empire Justice dari Blitz, kemunculan subgenre dance-punk pada 1980-an adalah perkembangan dari perkawinan punk dan new wave.

Pada linimasa yang kurang lebih sama, ada Home Front asal Kanada yang menggunakan formula ajojing punk dalam EP Think of the Lie (2021) dan album Game of Powers (2023). Ada pula Lelakidivjvngtandvk yang menggunakan formula ajojing punk dalam rilisan-rilisannya sejak EP Risau (2019).

Sukatani muncul dalam gelombang bekas-anyar-punk; ketika beragam band muda menjadi arkeolog musik dan mengeskavasi subgenre-subgenre punk yang jarang tampil macam egg-punk dan dance-punk.

Dalam liputannya di majalah SPIN, Ben Salmon menyebut terdapat gelombang kedua dari egg-punk secara global. Kehadiran rilisan sepanjang 2023 dari band macam Sn​õ​õ​per (Amerika Serikat), Billiam (Australia), The Checkpoint (Australia), Prison Affair (Spanyol), dan rilisan-rilisan dari label Erste Theke Tontraeger asal Jerman menunjukkan riuhnya regenerasi penggemar Devo sang dedengkot egg-punk.

Di Indonesia sendiri pada 2023 egg-punk kembali menyeruak setelah TaRRkam merilis album Fresh Grad (Februari), Peel merilis album The Spectacle of Perpetual Motion (Juni), dan Viet Viet yang merilis EP Demo 2023 (Oktober). Sebelumnya kita mengenal Glyph Talk, The Kuda, dan Bizzit asal Padang.

“Satu yang menurutku menarik dari egg-punk adalah kamu bisa mengerjakan semuanya sendirian dengan drum elektrik dan ragam peralatan digital,” tutur Thomas Haug, pendiri Erste Theke Tontraeger.

Medan artistik yang disebut Haug adalah bagian penting dalam melihat kehadiran egg-punk, dance-punk, juga Sukatani. Kemerdekaan untuk meng-otak-atik-gathuk standar artistik sebuah genre dan memproduksi karya tanpa menihilkan individualitas sang musikus menjadi bagian penting dari aktivitas berkesenian mereka.

“Kami berbicara soal apa yang kami rasakan dan itu bisa membuat kami lega. Ketika orang menganggap apa yang kami bicarakan adalah sebuah wacana, ide, pemikiran, kritik, dan sebagainya, silakan saja,” tutur Alectroguy.

Di tangan Sukatani musik dansa bukan (hanya) menjadi politis dalam urusan konten lirik, tetapi menjadi bagian dari daya hidup orang-orang di dalam dan di sekitar Sukatani.