Qatar Kotor, Begitu Pula Sepakbola
Mahfud Ikhwan
Ketika saya, dan tampaknya banyak penulis sepakbola lain, mengatakan bahwa Qatar adalah negara tanpa sejarah sepakbola, itu jelas tendensius dan tak sepenuhnya benar. Baru tiga tahun lalu (2019) mereka merajai Piala Asia, mengalahkan Jepang. Di lemari mereka terdapat medali emas sepakbola yang mereka raih di Asian Games 2006. Di tingkat regional, tiga kali (1992, 2004, 2014) mereka menjuarai Piala Teluk. Untuk negeri yang baru mengenal sepakbola di tahun ‘70an, setelah lepas dari protektorat Kerajaan Inggris, yang beriring dengan ditemukannya cadangan gas alam cair di Dukhan, prestasi bangsa bekas nelayan kerang mutiara itu jelas cukup mentereng. Itu level prestasi yang barangkali tak akan dicapai oleh kita, Indonesia yang jaya, yang punya sejarah sepakbola panjang dan riuh ini.
Tapi tak ada sejarah sepakbola Qatar yang lebih besar dibanding Mohammed bin Hammam. Dan itu adalah sejarah aib.
Bin Hammam, putra Qatar asli, adalah orang terkuat di sepakbola Asia selama berpuluh-puluh tahun, sampai Sepp Blater menusuk dan membantingnya setelah ia berani menantang nama yang disebut terakhir untuk menjadi Presiden FIFA pada 2011. Bersama Jack Warner, ketua CONCACAF, Bin Hammam boleh jadi adalah orang paling penting dalam mempertahankan dan membesarkan rezim Blatter di Zurich yang memuai hingga lima periode. Bin Hammam dipaksa mundur dari pencalonan presiden FIFA dan kemudian dihukum larangan seumur hidup berkecimpung di sepakbola setelah dianggap terbukti menyuap para pemimpin federasi sepakbola negara-negara Karibia agar memilihnya.
Persis Bin Hammam, Qatar jelas-jelas menyuap para pemilik suara agar terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022, mengalahkan pesaing-pesaing yang jauh lebih diunggulkan seperti AS. Bedanya, jika Bin Hammam dihukum seumur hidup karena suap yang dilakukannya (yang tentu saja dibantahnya), pilihan pada Qatar tak bisa diganggu-gugat, karena memang demikianlah selama bertahun-tahun cara FIFA memilih tuan rumah Piala Dunia. Membatalkan pilihan atas Qatar jelas akan membuat “runtuhnya markas FIFA” (meminjam judul buku David Conn) rubuh sempurna.
Jadi, jika Qatar kotor, FIFA adalah biangnya kotor. Dan sepakbola, dengan berat hati mesti dikatakan, tak lebih bersih dibanding organisasi yang mengelolanya.
***
Ada dua cara pandang umum dalam mengidealkan sepakbola, yang keduanya saling bertolak belakang. Pertama, sepakbola itu suci-murni-tanpa-dosa, jadi sebaiknya jangan dicampuradukkan dengan hal-hal kotor seperti bisnis dan politik. Kedua, sepakbola terlalu penting dan terlalu besar untuk diasingkan dari upaya-upaya membuat dunia jadi lebih baik. Pada masing-masing titik ekstremnya, dua pandangan ini sama-sama menjauhkan kita dari melihat sepakbola dengan lebih apa adanya.
Di luar perdebatan tentang siapa yang pertama memainkannya, sepakbola modern jelas dibentuk dan disebarkan oleh kalangan bangsawan dan kelas menengah mapan Inggris. Mereka memuja semangat corinthian/amatirismenya yang sepenuhnya menginginkan sepakbola, sebagaimana olahraga lainnya, menjadi bagian dari upaya membentuk manusia kulit putih dengan kondisi fisik dan moral yang diidealkan. Mereka juga benci menghubungkan sepakbola dengan uang atau pekerjaan. Jelas terlihat sangat mulia, sampai kita mendapati bahwa sepakbola dengan semangat semacam ini menyingkirkan kelas buruh dari ambil bagian sekaligus melestarikan rasisme kulit putih. Semangat inilah yang, tak menunggu waktu lama, dihancurkan oleh mereka yang melihat sepakbola sebagai cara bersenang-senang dari penatnya kehidupan sekaligus menjadi tangga untuk mentas dari kubangan kemiskinan.
Semangat amatir yang kalis dari uang jelas masih terjaga hingga awal dekade ‘70an, ketika sepakbola dan FIFA masih diurus oleh orang-orang terhormat seperti Sir Stanley Rous, mantan wasit sekaligus anggota Freemason yang sangat disegani. Ia dengan tegas menolak politik mencampuri sepakbola. Tapi orang yang sama juga mendukung politik Apartheid di Afrika Selatan, dan jelas-jelas meremehkan orang dan sepakbola Asia-Afrika dengan hanya memberi dua benua tersebut satu tempat saja di Piala Dunia. Stanley Rous kemudian digulingkan oleh seorang mantan atlet pemenang medali Olimpiade dari Brazil bernama Joao Havelange, yang menjanjikan kesetaraan bagi sepakbola Asia dan Afrika sekaligus dengan lantang menentang politik Apartheid.
Sepenuhnya bertolak belakang dengan Rous, Havelange terang-terangan menjanjikan uang bagi dunia sepakbola, terutama untuk sepakbola di negara-negara berkembang. Ia juga menjanjikan pengembangan kompetisi di usia belia. Untuk dua hal itulah ia membawa Coca-Cola ke lapangan sepakbola, menggandeng seorang makelar sponsor sekaligus bos Adidas, Horst Dassler, dan akhirnya menjual apa pun yang bisa dijual dari sepakbola, termasuk ruhnya. Inilah awal sepakbola dan uang segendang-sepenarian. Lalu, di tangan Sepp Blater, yang oleh penulis Eduardo Galeano disebut sebagai dayang-dayang Havelange, sepakbola adalah sepenuhnya uang, uang, dan uang.
Sampai di sini, saya ingin katakan, sejarah sepakbola modern menunjukkan bahwa setiap upaya mulia atas sepakbola (entah menjaga kemurniannya atau, sebaliknya, menjadikannya alat perubahan) selalu memiliki sisi gelapnya. Semangat corinthian Rous jelas bergandengan dengan Eropasentrisme dan rasisme kulit putih. Sementara, “demokratisasi sepakbola” ala Havelange menjadi karpet merah bagi kapitalisme yang sangat rakus.
Tahukah Anda dari mana dimulainya tradisi suap dalam menentukan pemilihan tuan rumah Piala Dunia? Itu persis terjadi ketika Blatter, dalam kampanye pemilihan Presiden FIFA pada 1998, mengatakan dalam nada seorang pembebas yang heroik jika ia menjadi Presiden FIFA maka Afrika akan menjadi tuan rumah Piala Dunia! Kebangkitan sepakbola perempuan yang terjadi beberapa dekade belakangan, yang disambut sebagai salah satu langkah paling progresif dalam sepakbola, juga terjadi di bawah kepemimpinan Blatter. Tapi coba dengar jawaban Blatter ketika ditanya bagaimana cara ia hendak meningkatkan minat penonton terhadap sepakbola perempuan: “Mungkin celananya perlu dikecilkan lagi”.
Di luar keterkaitannya dengan FIFA, pada diri sendirinya sendiri, sepakbola menunjukkan dengan gamblang gambaran dunia yang bobrok dengan tingkat ketepatan yang luar biasa. Lewat bagaimana uang yang banyaknya sulit dibayangkan dihamburkan untuk transfer dan gaji satu-dua pemain bintang sementara pada saat yang sama sepakbola akar rumput terengah-engah karena kurangnya sumber daya, juga dari betapa jomplangnya dominasi beberapa klub dibanding ribuan sisanya, sepakbola adalah etalase yang terang-jelas tentang ketidakadilan dunia. Dan kita bahkan belum bicara tentang perbudakan modern dan perdagangan manusia yang membayangi apa yang dengan penuh optimisme kita sebut sebagai pencarian bakat. Orang-orang revolusioner mengimpikan sepakbola menjadi bagian terciptanya dunia yang lebih baik, tapi nyatanya sepakbola malah menegaskan betapa buruknya dunia.
Sepakbola, sekali lagi, tak seinosens sebagaimana selama ini kita kira.
***
Qatar adalah anak orang-kaya-baru yang ingin mendapatkan sebanyak-banyaknya teman dengan membawa mainan-mainan mahalnya ke sekolah. Semua yang disukai orang lain ingin dibelinya dan ia memang bisa membelinya. Kalaupun tak semua teman menyukainya, setidaknya seluruh kelas akan memperhatikannya.
Jauh sebelum Qatar membeli FIFA agar menunjuk mereka sebagai tuan rumah Piala Dunia pada 2010, pada 2004 mereka pernah mencoba membeli (betul-betul membeli!) Ailton, pemain kelahiran Brazil yang jadi top scorer di Bundesliga, untuk memperkuat timnasnya. Hanya setahun sejak mereka dipilih menjadi tuan rumah Piala Dunia, lewat Qatar Foundation, Qatar membeli dada depan seragam FC Barcelona, yang selama lebih dari 100 tahun diharamkan bagi sponsor karena disebut-sebut sebagai representasi bendera Bangsa Katalan—“kerjasama” yang kemudian dilanjutkan oleh Qatar Airways hingga 2017. Pada tahun yang sama juga, lewat Qatar Sport Investment (QSi), Qatar membeli PSG, dan memulai petualangan mereka di kancah elite sepakbola Eropa. Pada 2012, dipimpin oleh orang yang sama yang menjadi Presiden PSG, Qatar mendirikan BeIn dan membeli hak siar seluruh liga-liga besar Eropa dan menyiarkan sepakbola, yang disusul olahraga-olahraga lainnya, dan membuat seluruh dunia menonton mereka. Pada 2019, kemudian pada 2021, secara berturut-turut, tim nasional Qatar “diundang” untuk ambil bagian pada Copa America Brazil dan Piala Emas CONCACAF di AS; kita yang husnuzan mungkin akan menyangka bahwa Qatar diundang dalam kapasitasnya sebagai juara Asia, tapi yang cukup informasi akan dengan mudah menduga bahwa timnas Qatar ikut berkompetisi di benua Amerika dan Karibia karena Qatar Airways adalah sponsor utama kompetisi resmi CONMEBOL dan CONCACAF di tahun-tahun sekitar itu. Yang jauh lebih mudah disimpulkan, “pembelian-pembelian” yang bertubi-tubi, yang sebagiannya saya sebutkan di atas, adalah bagian dari upaya mereka memantaskan diri menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.
Tapi apakah “Qatar Affair” ini sesuatu yang sama sekali baru dalam sejarah sepakbola? Dalam ukuran skala barangkali ya, tapi dilihat jenis dan pola seluruhnya nyaris seperti de javu saja. Bahkan yang paling kontroversial sekalipun, katakanlah tentang kabar kematian ribuan buruh dalam proses pembangunan infrastruktur untuk Piala Dunia 2022, kita jelas punya padanan yang lebih gelap pada Argentina ’78.
Hal yang buruk tak akan menjadi lebih baik ketika dibandingkan dengan hal buruk lain. Tapi setidaknya itu membantu kita untuk tahu gambar besarnya: bahwa kita tidak tinggal di dunia yang sama sekali sempurna; bahwa kita mencinta olahraga yang jauh dari baik-baik saja.
***
Saya tidak punya catatan kriminal, tidak minum alkohol dan berjudi, bahkan tidak merokok. Tapi saya terlalu menyukai sepakbola. Bagi saya, itu cukup untuk menunjukkan bahwa saya punya cacat-cela. Sebab, sebagian besar waktu saya habis untuk menikmati dan memikirkan hal yang sia-sia. Juga, jelas, penuh kontradiksi.
Saya menjadi pendukung Madrid sejak Davor Suker bermain untuk tim putih itu, dan saya tak berdaya mengubah dukungan itu bahkan setelah tahu bahwa sebagian kejayaan Madrid bersandar pada kediktatoran fasis Francisco Franco. Saya menyukai Messi, karena… ya, siapa yang bisa tidak menyukai Messi? Dan saya tak perlu mengubah penilaian itu meski bisa dibayangkan bahwa sebagian pendapatan Messi, dari kariernya di Barcelona dan kini PSG, didapatnya dari duit yang berasal dari celengan yang sama yang sebelumnya dipakai untuk menyuap para pengurus FIFA, dan ia kelihatan baik-baik saja. Karena begitu membenci MU, saya pernah dengan bersemangat menyoraki City, meski tim tersebut jelas-jelas didekingi oleh para pangeran dari negeri yang sama kotornya dengan Qatar. Karena Liverpool sudah pasti tak bisa bersaing untuk merebut juara liga musim ini, barangkali saya akan menitipkan sedikit dukungan untuk Newcastle, meski mereka baru saja dikucuri uang dari negeri yang masih memenggal kepala manusia dan memutilasi wartawan.
Setelah berpuluh tahun, saya sudah terbiasa dengan kontradiksi dan standar ganda dalam menikmati sepakbola. Dan karena itulah, saya tahu, saya pasti akan menonton Piala Dunia Qatar. Barangkali dengan sedikit rasa bersalah. Tapi, seperti yang pernah saya tulis, rasa bersalah karena sepakbola adalah rasa bersalah yang paling mudah saya tanggungkan.
Anda tentu saja bisa berpendapat berbeda.